Solusi Islam Ampuh Atasi Nasib Petani Garam




Oleh: Dyan Ulandari


Muslimahvoice.com - Pemerintah lagi-lagi berencana impor garam untuk memenuhi kebutuhan nasional. Seolah jadi hal lumrah meski di tengah produksi cukup melimpah dan petani kesulitan menjual garam yang telah ada. Impor garam tahun 2021 bahkan dinyatakan sebagai impor tertinggi sepanjang sejarah Indonesia dibanding tahun-tahun sebelumnya yakni mencapai 3 juta ton (tirto.id, 17/3/2021), pada sumber lain menyatakan 3,07 juta ton.


Pada tahun 2020 selama satu tahun saja penghasilan petambak hanya mencapai 2 juta rupiah dari satu musim panen (Juli-Oktober), itupun masih dipotong ongkos angkut, panen, dan biaya lainnya. Impor garam ini dinilai Ketua Asosiasi Petani Garam Indonesia Jakfar Sodikin akan membuat petambak terpuruk dan harga garam di tingkat petani tertekan (tirto.id, 17/3/2021).


Mengapa Urusan Garam Tak Kunjung Berdaulat?


Menteri Perdagangan M. Lutfi menyatakan alasan pemerintah impor lagi garam sebanyak 3 juta ton karena kuantitas dan kualitas garam lokal belum sesuai dengan kebutuhan industri (kompas.com, 19/3/2021). Hal ini bahkan dibarengi dengan pembatalan swasembada garam yang pernah direncanakan pemerintah yang harusnya terealisasi sejak tahun 2015. "Masih rendah produksi garam nasional kita, sehingga yang kemudian dicari paling gampang yaitu impor garam. Dari dulu begitu terus dan tidak pernah ada penyelesaian," kata Presiden Jokowi pada 5 Oktober 2020 (kompas com, 15/3/2021).


Impor garam menjadi pilihan instan yang kian dimuluskan atas UU Ciptaker yang tak lama ini disahkan. Berdasarkan penjelasan dari Direktur Utama PT Garam Achmad Ardianto impor garam tak bisa terhindarkan karena Indonesia terikat Free Trade Agreement yang mana meniadakan tarif bagi barang yang masuk. Alhasil produk dalam negeri kalah saing harga dan kualitasnya karena kalah teknologi yang digunakan, padahal jika mau Indonesia bisa menghasilkan produk yang cukup dipenuhi dari dalam negeri tanpa tegantung impor. Di sini diperlukan good will goverment yang mendukung," katanya (kompastv, 19/3/2021).


Sistem Islam Mengatur Industri Garam


Pengambilan kebijakan dalam Islam berdasarkan syari'ah, bukan hanya mementingkan sekelompok orang. Maka tiap kebijakan yang menimbulkan bahaya di masyarakat harus dilarang. Adapun terkait industri garam, Islam sebagai mabda (ideologi) juga mempunyai tata aturan yang jelas dan tegas.


Industri harus diteliti terlebih dahulu apakah industri pribadi ataukah industri yang kepemilikannya secara umum. Apabila barang-barang yang diproduksi di sana tidak termasuk dalam kategori hak milik umum, maka industri tersebut adalah industri milik pribadi, semisal pabrik kue, pabrik tekstil, industri mebel, dan lain sebagainya.


Apabila industri tersebut untuk memproduksi barang-barang yang termasuk dalam kategori hak milik umum semisal industri pertambangan yang mengeksploitasi tambang-tambang yang tidak terbatas jumlahnya maka industri tersebut boleh dimiliki dengan pemilikan secara umum mengikuti barang yang dieksploitasinya seperti emas, perak, tembaga, dan sebagainya. Industri tersebut juga boleh dimiliki negara, dimana negara lah yang wajib melakukan eksploitasi tambang-tambang ini sebagai kaum muslimin serta untuk mencukupi kebutuhan mereka (Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam An Nizhom Iqtishody Fil Islam).


Sebagaimana dalam riwayat berikut: "Sesungguhnya dia (Abyadl bin Hammâl) mendatangi Rasulullah saw, dan meminta beliau SAW agar memberikan tambang garam kepadanya. Ibnu al-Mutawakkil berkata,”Yakni tambang garam yang ada di daerah Ma’rib.” Nabi SAW pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika, Abyad bin Hamal ra telah pergi, ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah anda, apa yang telah anda berikat kepadanya? Sesungguhnya anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir”. Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah SAW mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyadl bin Hammâl).” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban)


Selain itu jika ada kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi akan diutamakan produksi dari dalam negeri, sedangkan impor justru adalah pilihan terakhir ketika sama sekali dari dalam negeri tak bisa diproduksi. Hal ini sangat diperhatikan oleh negara Islam, karena ketergantungan impor bisa mempengaruhi tergadainya kedaulatan dan memperlemah negara. Negara pun mempunyai peran penting untuk melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produktifitas agar kebutuhan rakyat terpenuhi, memberikan sumbangan pengembangan teknologi, peningkatan skill, hingga hibah dana, dan lain-lain.


Negara pun tidak boleh mengikat perjanjian dengan negara harbi fi'lan atau pihak lain yang malah merugikan eksistensi negara dan umat. Negara wajib memproteksi industri di dalam negerinya. Hal ini sebagaimana salah satu hadist Nabi SAW:

إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ          

"Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai..." (HR. Bukhari dan Muslim)


Negara pun tak hanya menuntut pihak-pihak lain yang dianggap mempunyai pengaruh dalam industri ini agar bertanggung jawab terhadap kekondusifan secara keseluruhan. Apalagi melepaskan tangan ketika para petani garam sebagai bagian dari masyarakat mengalami kesulitan hidup. Di samping fasilitas publik gratis bagi seluruh warga, di dalam Islam seorang khalifah wajib memastikan kebutuhan pokok warga terpenuhi per individu. Maka petani garam tak akan takut karam karena harus berjuang bersama komunitasnya sendirian.


Inilah aturan dari Allah yang apabila kita laksanakan akan kita peroleh keberkahan di dunia serta kebaikan di akhirat. Namun sebaliknya apabila ditinggalkan akan mendatangkan keburukan, serta sangat disayangkan karena berarti mengisi hidup tanpa mengindahkan ajaran-Nya. Taat berarti baik, berpaling darinya berarti sebaliknya.

 وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِين

"... Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik..."


Allahua'lam bisshowab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama