Negeri Agraris, Impor Beras Bikin Miris

 


Oleh: Wenny Suhartati, S.Si.

 (Pegiat Literasi)


Muslimahvoice.com - Ibarat ayam yang kelaparan dalam lumbung padi. Seperti itulah gambaran nasib para petani di negeri agraris ini. Negeri yang subur dan kaya hasil pertaniannya tapi kehidupan para petani semakin terhimpit, bahkan jauh dari sejahtera. Petani banyak yang merugi akibat dari kebijakan pemerintah yang tak ramah ke kaum tani. Seperti baru-baru ini, wacana impor beras yang telah digulirkan oleh pemerintah di awal bulan Maret ini dinilai sebagai kebijakan yang menyakitkan petani. 


Bagaimana tidak, di tengah masa puncak menjelang panen raya hingga bulan April mendatang, pemerintah yang semestinya membantu petani untuk memperluas kapasitas penyerapan hasil panen padi petani malah mengeluarkan wacana bakal mengimpor beras 1 juta ton dengan dalih sebagai pengaman pangan di masa pandemi hingga 2021.


Tentu saja hal ini menjadi pukulan telak bagi petani. Meskipun impor beras masih dalam tahap wacana, tapi ternyata sudah mempengaruhi harga jual gabah kering petani. Sebab keadaan ini pasti akan dimanfaatkan oleh para tengkulak untuk memainkan harga, sehingga harga menjadi anjlok dan merugikan petani. Lagi-lagi petani yang harus menelan pil pahit dari keputusan pemerintah ini.


/Kebijakan Impor, Menyakitkan Petani/


Rencana impor beras ini, pertama kali dihembuskan oleh Menteri Perekonomian Airlangga Hartanto dalam rapat kementerian perdagangan awal bulan Maret lalu. Airlangga mengatakan penyediaan beras impor ini akan diperlukan untuk bantuan sosial berupa pasokan beras selama masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), antisipasi banjir dan pandemi. 


Sementara itu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan impor beras ini sudah disepakati antar kementerian. Tujuannya sebagai iron stock (cadangan) dimana pemerintah melalui Bulog bisa memastikan ketersediaan beras itu selalu ada. Mendag juga mengatakan jika kebijakan ini tidak akan menghancurkan harga gabah di tingkat petani.


Namun faktanya, sejumlah petani dari sentra produksi padi mulai merasakan harga jual gabah kering panen (GKP) anjlok di tengah wacana impor beras 1 juta ton. Dari harga jual gabah normal Rp 4500/kilogram kini turun mejadi Rp 3500/kilogram (BBC News Indonesia, 10/3/2021).


/Mengapa Harus Impor?/


Dilansir dari BBC News Indonesia, Rabu (10/03/2021), Ketua Umum Gerakan Petani Nusantara (GPN), Suryo Wiyono melaporkan bahwa tidak ada panen padi yang bermasalah di Jawa, Sumatra hingga Merauke. Selain itu, menurut salah satu petani di Subang, Jawa Barat, Deni Nurhadiansyah, mengatakan bahwa ia bersama petani lainnya pada awal April mendatang akan merayakan panen yang sekarang tampak mulai menguning dan gemuk. Lebih lanjut ia mengatakan rata-rata panen bisa di atas 7 ton padi per hektar.


Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, terjadi peningkatan produksi padi dari tahun 2019 ke 2020 hingga mencapai 45 ribu ton. Pada 2019 produksi padi mencapai 54.604.033,34 ton lalu meningkat menjadi 54.649.202,24 ton. Pada kuartal I tahun ini, BPS memperkirakan produksi beras akan meningkat 26%. Dengan kata lain, tahun 2021 produksi padi lebih tinggi.


Sementara itu, Dirut Bulog Budi Waseso memproyeksikan stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) hingga April 2021 dapat menyentuh angka 1 juta ton. Hingga 14 Maret tahun ini stok CBP tercatat 859.877 ton. Ketersediaan 1 juta ton beras tersebut akan diperoleh dengan memaksimalkan penyerapan hasil padi petani dalam panen raya pada Maret hingga April 2021 nanti (iNews.id/15/3/2021).


Dan menurut Budi Waseso stok tersebut dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan Bulog. Cukup untuk penjualan Bulog sebagai Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) dan tanggap bencana sesuai kebutuhan Bulog. Lantas jika stok sudah cukup buat apa impor beras?


/Impor Pangan Bukti Liberalisasi Perdagangan/

Sebenarnya fenomena impor beras ini bukan hanya terjadi pada saat ini saja. Pada 2018 pemerintah pernah juga mengadakan impor beras sebesar 1.785.450 ton. Dilansir dalam Republika.co.id (15/3/2021), Budi Waseso dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi IV DPR pada Senin (15/3) menyampaikan bahwa dari total impor pada 2018 masih terdapat sisa beras impor sebanyak 275.811 ton. Dari jumlah itu, sebanyak 106.642 ton telah mengalami turun mutu akibat penyimpanan dalam waktu lama.


Jadi sebenarnya, masalah impor pangan ini bukanlah masalah kelangkaan barang semata. Stok pangan dalam negeri sebenarnya bisa mencukupi kebutuhan pasar domestik. Ditambah dengan potensi kekayaan alam, lahan serta musim yang sangat mendukung untuk terciptanya ketahanan pangan tanpa harus tergantung impor. Yaitu dengan cara mengalokasikan anggaran yang cukup untuk pembangunan pertanian maka ketahanan pangan dan kedaulatan pangan bisa terwujud.


Namun sayang, potensi yang luar biasa ini tidak diimbangi dengan kebijakan pemerintah yang memihak rakyat. Ditambah lagi, semenjak pemerintah aktif di ACFTA pada awal tahun 2010 semakin nampak nyata liberalisasi perdagangan barang dan jasa dengan cara menerapkan sistem perdagangan bebas yang menghapuskan pajak barang yang masuk ke Indonesia.


ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) sendiri merupakan kesepakatan antara negara-negara anggota ASEAN dengan China untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para pihak ACFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China (http://ditjenppi.kemendag.go.id).

Akibatnya potensi yang luar biasa ini kalah dengan massifnya impor pangan yang masuk Indonesia. Maraknya kebijakan impor semakin diperkuat dengan Perpres No. 58 th 2020 yang mengatur tentang penyederhanaan impor untuk kebutuhan pangan pokok, cadangan pangan pemerintah serta bahan baku. Alhasil, kebijakan ini semakin berdampak negatif bagi petani. Produk dalam negeri tidak lagi mampu bersaing dengan luar negeri. Sehingga produk lokal menjadi mangkrak dan hargapun menjadi anjlok dan mematikan sumber ekonomi petani.


Inilah bukti dari kebijakan yang tidak berpihak dan tidak serius mengurusi rakyat. Kebijakan yang dilahirkan dari sistem ekonomi kapitalisme liberal yang digenggam negara saat ini. Sistem buatan manusia yang hanya didasarkan pada keuntungan materi semata. Memandang sektor ekonomi hanya fokus pada pasar bebas dan perdagangan bebas semata. Negara hanya sebagai regulator dan fasilitator untuk menghasilkan regulasi yang menguntungkan para kapitalis. 


Bahkan dalam sistem ini negara seringkali bertindak sebagai pedagang dalam membuat kebijakan. Hanya menimbang dari aspek untung rugi bukan kesejahteraan rakyatnya. Alhasil selama sistem kapitalisme liberal masih digenggam negara jangan pernah berharap kesejahteraan rakyat akan terwujud secara nyata.


/Islam Wujudkan Ketahanan Pangan/


Islam adalah way of life, tidak hanya sekedar berisi aturan tentang sholat, zakat, puasa, dan haji. Tapi Islam datang dengan seperangkat aturan yang lengkap yang mengatur seluruh sisi kehidupan manusia, dari kehidupan pribadi, bermasyarakat sampai kehidupan berbangsa dan bernegara semua diatur dalam Islam.


Orientasi kepemimpinan di dalam Islam adalah riayah su’unil ummah (mengurusi kebutuhan rakyat). Negara harus menempatkan dirinya sebagai pengurus dan pelindung rakyatnya yang terwujud dalam jaminan kesejahteraan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali. Yang meliputi jaminan pemenuhan kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan, serta jaminan pemenuhan kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan. Semua itu harus bisa diwujudkan oleh negara untuk seluruh rakyatnya.


Sebagai agama sempurna, yang berasal dari Yang Maha Sempurna, Islam mempunyai aturan  yang bisa digunakan untuk mewujudkan kedaulatan pangan sebagai salah satu komponen untuk terwujudnya kesejahteraan rakyat. Melalui dua cara, yaitu dengan mewujudkan kemandirian pangan dan jaminan pasokan pangan.


Pertama, kemandirian pangan dilakukan dengan cara mengoptimalkan daerah pertanian. Seperti peningkatan produktifitas lahan dan produksi pertanian melalui ekstensifikasi pertanian dengan cara menghidupkan lahan mati. Dalam Islam, tanah mati bisa dihidupkan oleh siapa saja. Tanah yang tidak ada bekas produktifitasnya bisa dengan cara dipagari untuk memproduktifkannya atau menanaminya kembali, maka tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya.


Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud). 


Jika tanah ditelantarkan lebih dari 3 tahun, maka kepemilikan seseorang atas tanah itu menjadi hilang. Tanah tersebut selanjutnya menjadi milik negara. Maka negara berhak untuk mendistribusikannya pada individu yang mampu untuk mengelolanya.


Selain ekstensifikasi, sistem Islam juga mendorong intensifikasi pertanian yaitu optimalisasi lahan pertanian dengan meningkatkan hasil pertanian melalui peningkatan kualitas benih, pemanfaatan teknologi pertanian, pembekalan petani dengan ilmu pertanian dan riset-riset di bidang pertanian yang bertujuan meningkatkan produktifitas hasil pertanian. Semua aspek yang dilakukan itu sepenuhnya didukung dan difasilitasi oleh negara.


Kedua, dalam hal menjamin pasokan pangan, Islam menetapkan dengan cara mekanisme pasar yang sehat yang bertujuan untuk mencegah terhentinya distribusi barang sampai ke masyarakat. Negara harus bisa memastikan distribusi barang sehingga semua orang bisa memperoleh barang dengan mudah dan murah.


Selain distribusi, harus ada juga mekanisme yang diawasi oleh negara untuk memastikan agar kekayaan tidak berkumpul di korporasi besar, karena Islam melarang praktik ihtikar (penimbunan barang), penipuan, praktik ribawi dan monopoli serta larangan mendistorsi harga pasar. Kemudian, untuk kebijakan pengendalian harga dilakukan dengan cara pengendalian supply dan demand terhadap jumlah pasokan barang yang beredar di pasar. Bukan dengan kebijakan pematokan harga, karena hal ini dilarang dalam Islam. 


Inilah seperangkat aturan dalam Islam yang komprehensif, sebagai bukti bahwa Islam juga memperhatikan urusan kesejahteraan masyarakat terkhusus urusan kedaulatan pangan. Namun, semua ini hanya dapat terwujud jika aturan Islam diterapkan secara menyeluruh (kaffah) dalam segala bidang kehidupan masyarakat dengan negara sebagai pengembannya. Jika demikian, maka kedaulatan pangan bukan hal yang utopi untuk diwujudkan. Wallahu a‘lam.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama