Oleh : Ayu Anggita (Mahasiswi)
Muslimahvoice.com - Degap degup denyut kebijakan yang tersemat dalam UU Ciptaker semakin kencang melaju, bahkan sejak awal dirintis dan terus bertransformasi namanya dari istilah Cilaka, Cika, Ciker hingga saat ini telah disahkan menjadi UU Ciptaker walaupun menoreh berbagai penolakan dari rakyat sejak awal. Semakin kencang degup denyut kebijakannya, semakin hilang kendali kewajarannya menembus batas naluri kemanusiaan. Sebut saja, hal ini mengenai dikeluarkannya dari kategori limbah B3 yaitu limbah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA).
Seperti yang dilansir dari media nasional yang menyatakan bahwa Pemerintah menghapus Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari daftar jenis limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Kategori FABA baru ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) turunan UU Cipta Kerja yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penghapusan FABA dari jenis limbah B3 terlampir dalam lampiran XIV. (Detik.com, 12/03/2021).
Padahal jika kita tengarai lebih dalam terkait kebijakan turunan dari UU Ciptaker yang telah diketok palu ini, merupakan kebijakan yang tumpang tindih dengan kebijakan peraturan pemerintah yang lain, sebagaimana yang terdapat pada Pasal 88 UU Ciptaker berbunyi: Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya. (mediaindonesia.com, 7/10/2020).
Dua hal yang saling tumpang tindih, antara kebijakan awal dan kebijakan baru yang merupakan pembaharuan yang sekaligus menambah keambiguan dalam penerapannya. sebut saja tentang UU yang mengeluarkan FABA dari kategori limbah B3 tersebut, sangat mengkhawatirkan dengan dampak nyata yang diakibatkan dari kebijakan ini. Ditambah dengan resiko wabah covid-19 saat ini yang disebutkan menurut Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi, Nur Hidayati, beliau menuturkan bahwa dari studi yang dilakukan Harvard, ditemukan bahwa penderita Covid yang hidup di daerah polusi tinggi punya potensi kematian lebih tinggi.
Dampak yang sangat luar biasa, tidak hanya mengancam 1 atau 2 orang saja. Namun banyak orang yang akan terdampak polusi ini. Demikian pula tidak hanya manusia saja, namun juga lingkungan, dan makhluk hidup lain yang hidup disekitar limbah FABA tersebut tersebar.
Jika berbicara sebuah dampak, pastilah ada sebuah sebab sehingga ada dampak setelahnya. Seperti yang kita ketahui diawal bahwa dampak ini bermula dan semakin mengkhawatirkan dikarenakan dari disahkannya UU Ciptaker yang mengeluarkan limbah FABA atau limbah batu bara dari kategori limbah B3. Kebijakan inilah yang memberikan kebebasan bagi pemilik industri penghasil limbah tersebut untuk bertanggungjawab menanggulangi akibat bahaya setelahnya.
Sehingga wajar kiranya, apabila terdapat berbagai narasi dan aksi penolakan terhadap kebijakan yang telah disahkan tersebut. Namun hembusan narasi dan tegaknya aksi penolakan ini "berlalu lalu layu". Bagaimana tidak, keberpihakan suara disahkannya kebijakan tersebut hanya menguntungkan bagi sebagian rakyat yang memiliki kuasa dan andil atas kekayaan Negeri yang telah diprivatisasinya. Miris memang, hidup di Negeri yang katanya “dari, untuk, oleh rakyat” bersimpuh pada kedaulatan rakyat, namun hakikatnya terjerembab oleh kepentingan “rakyat” yang berkuasa.
Di zaman inilah, kita menikmati makna sejahtera atau nestapa berporoskan atas kepentingan sang penguasa dan pemilik kekayaan. Hingga kita mengenal _“Time Is Money”_ waktu adalah uang. Kemudian ketika kita memahami maknanya lebih dalam, kita akan mengenal bahwasanya standar hidup bahagia adalah uang dan itulah kekayaan. Menghabiskan seluruh aktivitas untuk mendapatkannya dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya pula. Hingga pada akhirnya, akan kita jumpai pula standar kepentingan untuk mendapatkannya, termasuk dalam hal ini "membeli" sebuah kebijakan Negara demi lancarnya kepentingan tersebut. Kebijakan itulah yang berwujud pada bingkai “kebijakan kapitalistik”.
Kebijakan Kapitalistik hadir bukan untuk kepentingan rakyat secara keseluruhan, namun dengan kebijakan inilah yang akan melancarkan segala gerak pemilik kekuasaan dan kekayaan untuk melancarkan segala upayanya meraih kekayaan pribadi dengan apapun caranya termasuk dengan merugikan atau membahayakan nyawa orang lain.
Lantas, akan kita temukan sebuah kerangka ketidakadilan yang terstruktur dari penerapan kebijakan ini dan tibalah pada keadaan masyarakat kita yang tersadar bahwa hukum di sistem zaman ini “tumpul ke atas dan tajam kebawah”. Kemudian, naik turun reaksioner masyarakat yang menginginkan keadilan, tenggelam dengan kebungkaman keputusasaan disebabkan tak didengarnya aspirasi yang mereka lakukan, dan mirisnya mengakibatkan sikap pragmatis yang menerima apapun yang ada dan menikmatinya walaupun itu penderitaan sekalipun.
Seperti itulah potret kenestapaan berselimut kesejahteraan semu di sistem zaman ini, yang menaruh kedaulatan tertinggi pada rakyat alias manusia. Bersikap dan bertindak berdasarkan nilai baik dan buruk menurut manusia. Hingga sangat wajar berganti dan hilangnya sebuah hukum pun terserah apa kata manusia yang berkuasa/berdaulat. hingga nampaklah bukti kerusakannya atas buah tangan ulah manusia sendiri, yang termaktub dalam firman Allah pada Qs. Ar-rum(30): 41, yang berbunyi:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
Kerusakan tersebut hadir tak sekedar bencana alam yang terjadi di permukaan bumi tempat manusia berpijak saja, namun dengan adanya ketidakadilan, kelaparan, serta kejahatan dimana-mana. Dan nampak jelas bahwa manusia terbatas, lemah, dan membutuhkan yang lain yaitu Sang Pencipta yaitu Allah SWT sebagai Al-Kholiq yang maha Menciptakan dan Al-Mudabbir yang maha Mengatur. dan manusia sebagai ciptaan Allah menjadi tuntutan keimanan padaNya untuk menghamba padaNya yaitu dengan tunduk mengikuti segala aturan dariNya, sehingga Allah telah menjanjikan untuk manusia pada FirmanNya:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” [Al A’raf (7): 96]
Janji Allah itu pun telah terlimpah berkahnya sesuai dengan syarat yang diberikan pada hambaNya. Tercatat dan terbukti dari aspek historis, yuridis, dan empiris yang menghasilkan kesejahteraan pada rakyat secara mayoritas pada peradaban yang kita kenang sebagai “golden age”. Peradaban sebuah Negara yang didalam ilmu fiqih kita sebut dengan “Khilafah” yakni institusi Negara yang menerapkan hukum Islam secara menyeluruh.
Penerapan hukum Allah dalam institusi Daulah Islamiyyah yang memancarkan cahaya Islam baik menyejahterakan penduduk dalam Negerinya, maupun bagi penduduk luar Negeri yang menerima nikmat sejahtera dari penerapan kepemimpinan pemerintahan Islam. seperti kesaksian penduduk kristen yang tercatat dalam buku “The Preaching of Islam” karya seorang orientalis dan sejarawan kristen yang menyatakan keadilah Khalifah Islam membuat warga kristen penduduk Syam lebih memilih hidup dibawah kekuasaan Khalifah Islam dibanding dipimpin oleh Kaisar Romawi walau sama-sama Kristen.
Wallahu a’lam bishowab. []