Hantu Revisi Undang-Undang ITE

 


Oleh: Puji Ariyanti

(Pegiat Literasi untuk Peradaban)



Muslimahvoice.com - Pemerintah membentuk tim kajian dalam rangka mereformasi sejumlah pasal dalam Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).  Menurut Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, tim ini bekerja selama dua bulan ke depan untuk mencari solusi atas sejumlah aturan di dalamnya, yang selama ini disebut sebagai pasal karet.    


Kata Mahfud MD dalam siaran pers kepada wartawan, Senin (22/02), jika putusan harus revisi, akan di  sampaikan ke DPR. Karena UU ITE ini ada di Program Legislasi Nasional (prolegnas) tahun 2024, sehingga bisa dilakukan. Kalau mau cepat, bisa dimasukkan ke dalam daftar kumulatif terbuka. (BBC News Indonesia).


Ada beberapa pasal yang banyak menimbulkan konflik makanya pemerintah mengusulkan untuk direvisi. Pasal yang dianggap bermasalah antara lain Pasal 27 Ayat (1) soal kesusilaan, Pasal 27 Ayat (3) soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan Pasal 28 Ayat (2) soal ujaran kebencian.


Pasal-pasal tersebut dalam pelaksanaannya menimbulkan multi tafsir. Jika terdapat azas manfaat  didalamnya bisa menimbulkan persepsi berbeda. Tergantung siapa yang menafsirkan dan untuk kepentingan siapa diterapkan. Tentu saja hasilnya ada yang diuntungkan dan ada yang menjadi runyam saat dirugikan.  Itulah jika tidak berazaskan hukum syara'.


Dalam kebutuhan revisi Undang-Undang ITE, Ketua Bidang Hukum dan HAM Pengurus Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas menilai, negara  mengarah ke otoritarianisme dengan beberapa indikasi: 


Pertama, masifnya buzzer. Orang yang kritis diserang dengan buzzer, dengan berbagai macam cara.


Kedua, teror dengan meretas alat komunikasi, termasuk teror kepada aktivis kampus. 


Ketiga, terdapat UU ITE yang memiliki karakter pelembagaan buzzer. Dalam hal ini sudah banyak korbannya. Salah satunya kasus teror kepada civitas Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang hendak menggelar diskusi terkait pemakzulan presiden.


Revisi Undang-Undang ITE bukan untuk memberi ruang bagi kritik rakyat atas sebuah kebijakan, justru bisa menjadi cara rezim makin membungkam sikap kritis. 


Jika sikap kritis rakyat dianggap musuh bagi pemerintah, justru mencederai demokrasi itu sendiri. Bukankah dalam demokrasi suara rakyat adalah harapan kekuasaan, bagaimana mungkin ketika rakyat menyampaikan kritik atas kebijakan malah dibungkam bahkan dipolisikan? Justru hal inilah yang memunculkan perselisihan bagi masyarakat dan semakin bertentangan dengan nilai-nilai persatuan Indonesia. 


Hal ini bisa dinilai mengabaikan fakta  pernyataan Presiden Jokowi bahwa pemerintah memerlukan pengawasan dari Ombudsman. Baik berupa input, kritik, dan dukungan agar pelayanan publik di negara ini semakin berkualitas. Jika pemerintah semakin enggan di kritik, kebebasan sipil semakin menurun karena semakin banyaknya perintah penangkapan.


/Bagaimana Islam menempatkan kritik masyarakat?/


Kritik bagian nasehat untuk perbaikan bangsa dan negara. Oleh karenanya suasana dalam Islam adalah amar makruf nahiy munkar. Umat sangat dibutuhkan pendapatnya. Umat sangat berani memberikan saran, karena pendapatnya untuk kebenaran bahkan sangat dihargai oleh negara.


Dalam Islam dikenal muhasabah lil hukam. Bahkan disebut sebagai sebaik-baik jihad jika berani mengoreksi penguasa. Ada beberapa cara untuk memberikan muhasabah pada peguasa : Pertama, disampaikan secara personal atau individual. Kedua, melalui wakil rakyat atau majelis ummah yang dipilih oleh rakyat. Ketiga, melalui mahkamah madholin. Ketika umat tidak puas dengan keputusan penguasa.


Seperti contoh kisah yang masih masyhur hingga kini, saat rakyat kecil mendatangi khalifah Umar. Mereka menyampaikan protes akan ketidakadilan gubernur Amru bin Ash tentang pemberian hudud kepada putra khalifah. Di mana saat itu Abdullah bin Umar dan teman-temannya sedang minum khamr.


Gubernur Amru merasa tidak enak memberikan hukuman kepada putra khalifah. Maka dilakukan penggundulan namun di rumah Abdullah agar tidak malu dilihat orang lain. Umat melihat sang gubernur berlaku tidak adil dalam menghukum putra khalifah, lalu mendatangi khalifah. Khalifah Umar menerima pengaduan umat, lalu menyuruh Gubernur Amru datang menghadap.


Gubernur Amru harus bersikap adil dalam menjalankan hudud. Tak peduli putra khalifah, jika bersalah melanggar hukum syara maka harus dihukum sesuai aturan, tanpa mengurangi sedikitpun. Kemudian gubernur Amru diperintah untuk mengulangi hukumannya kepada Abdullah bin Umar. Dengan cara dihukum qishas dan penggundulan yang dilakukan di tempat umum agar diketahui banyak orang untuk menumbuhkan efek jera.


Begitulah sikap pemerintah Islam ketika menghadapi kritik. Karena Undang-Undang yang digunakan berasal dari wahyu bukan seperti saat ini, sehingga butuh revisi berulangkali sesuai kebutuhan terkini. Wallahu a'lam bish shawwab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama