Oleh: Imtinana Nafilah
“Opo ora eman duite? Gawe tuku banyu setan. Opo ora mikir yen mendem iku biso ngrusak pikiran?”.
Teringat tembang “Oplosan” milik Wiwik Sagita jika merunut lagi peristiwa beberapa waktu lalu. Prahara miras di tengah masyarakat memang sudah terjadi sejak lama. Industri alkohol di Indonesia pun langgeng hingga saat ini. Wow!
Kabar barunya, akan ditandatangani Perpres terkait Bidang Usaha Penanaman Modal. Namun, setelah sempat tuai pro-kontra akhirnya lampiran Perpres No. 10 tahun 2021 ini resmi dicabut. Ya, Perpres ini mengatur pembukaan investasi baru industri miras alias minuman beralkohol.
Eits, tapi jangan senang dulu. Pak presiden memang menyatakan secara lisan pencabutan perpres itu, tapi bagaimana dengan peraturan terkait minol yang lain? Produksi minuman beralkohol terus berlanjut, entah industri besar ataupun rumahan dan hanya investasi industri baru saja yang dilarang. Peredaran miras di tengah masyarakatpun terus berjalan, baik di kaki lima ataupun eceran.
Penenggak minuman keras sejujurnya bukan lagi sembunyi-sembunyi. Kafe, bar, tongkrongan, bahkan warung pinggir jalan setia jadi tempat transakasi. Tak dipungkiri, minol sudah ada di sekitar masyarakat sejak lama. Tak pernah surut pembeli dan masih dipelihara di sudut-sudut kota maupun desa. Padahal sudah sejak lama pula miras jadi biang kerok laku kriminal dan kerusuhan warga. Entah peminumnya teler dan bikin keributan, atau grebek masyarakat sekitar yang sudah kesal karena terganggu ulah para pemabuk.
Hem.. hem.. hem.. bukan satu dua kasus yang terjadi. Terakhir ramai diperbincangkan kasus aparat TNI yang ditembak seorang oknum polisi yang sedang mabuk berat di salah satu kafe Cengkareng, Jakarta Barat, Kamis Februari lalu (suarajakarta.id). Masih dengan kasus serupa, bocah 8 tahun ditembak orang mabuk tak dikenal di Makassar pada Kamis, 4 Maret lalu (tribunnews.com).
Ini semua jelas bukti nyata bahwa miras merupakah sebuah malapetaka bagi kehidupan manusia. Bukan hanya si peminum, tapi juga bagi lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Jikalau dibandingkan dengan manfaat berupa kenaikan ekonomi atau pemasukan bagi devisa negara, tentu kerusakan material dan non-material yang ditanggung masyarakat lebih banyak jadi rupa kerugian yang tak ternilai jumlahnya.
Bila ditelaah dengan hati nurani dan fikiran yang jernih, terlalu menyakitkan bagi sisi humanis untuk mempertahankan legalitas miras, dengan alasan apapun. Karena lokalisasi ataupun regulasi miras dengan alasan ketertibanpun tak menurunkan keniscayaan bahaya minuman setan ini. Apalagi bila melihat dari kacamata seorang muslim. Sudah lampau Islam memperingatkan madharat dan haramnya khamr (miras). Bahkan Rasulullah SAW menyebut khamr sebagai ummul khaba’its (induk kejahatan).
Tentu dengan dicabutnya lampiran perpres ini tidak akan bisa membuat kita bernapas lega. Ingat! Ini masih lampiran, bisa dibilang hanya mencabut ilalang yang menutupi akar pohon sebenarnya. Akar pohon sebab kerusakan umat manusia. Yakni akar busuk sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan). Akar yang masih bercokol dalam regulasi negri ini. Syari’at Islam dicampakkan, dianggap tidak relevan dan ketinggalan jaman.
Akibat dikesampingkannya pengaturan Islam dalam me-riayah umat, kita lihat inkonsistensi pemerintah dalam membuat kebijakan. Dalih tekanan masyarakat dan kontroversi publik, dengan mudahnya kebijakan besar diubah-ubah.
Apakah dalam setiap kebijakan tidak ditimbang dengan pengkajian yang matang? Apakah keputusan yang dibuat sangat terburu-buru sehingga tidak melihat dampak yang akan terjadi? Inilah ketimpangan sistem sekuler-kapitalis. Pengaturan masyarakat dilandasi keuntungan ekonomi dan asas manfaat, tanpa melihat kehancuran masa depan yang terpampang.
Padahal Islam datang membawa rahmat, maslahat bagi seluruh umat, bukan hanya muslim saja, tapi seluruh manusia, alam dan lingkungan. Islam menjaga akal manusia dari ke-fasadan miras. Menjaga generasi mendatang dengan larangan produksi barang haram tersebut. Islam datang bukan hanya mengatur hablumminallah (hubungan dengan Allah) saja, tapi juga hablumminannas (hubungan dengan manusia). Regulasi dalam Islam meniscayakan masyarakat diatur dengan hukum syara’ tanpa timbangan untung rugi versi hawa nafsu.
Seorang Ustadz berkata: “Kalau saja miras tidak diproduksi, kita ngga bakalan mengenal miras, kalo ngga kenal, kita ngga bakal pengen, apalagi mencicipi. Ini akan menciptakan ketertiban dan kemaslahatan masyarakat yang niscaya”. Betul sekali, dan itu hanya bisa diwujudkan dengan mencabut akar busuk sekuler sebersih-bersihnya, kemudian menggantinya dengan menanam dan menerapkan syari’at Islam secara kaaffah (komprehensif).[]