Benci Produk Luar Negeri: Formalitas Tanpa Aktualitas

 


Oleh : Nahida Ilma (Mahasiswa)


Muslimahvoice.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajak masyarakat Indonesia membenci produk-produk asing. Jokowi bahkan meminta produk asing ditaruh di tempat yang sepi pembeli.


"Produk dalam negeri gaungkan, gaungkan juga benci produk-produk luar negeri, bukan hanya cinta tapi benci. Cinta barang kita, benci produk luar negeri. Sehingga betul-betul masyarakat kita menjadi konsumen yang loyal untuk produk-produk Indonesia," ujar Jokowi dalam Pembukaan Rapat Kerja Nasional Kemendag secara virtual, Kamis (4/3). (Kumparan.com, 6 Maret 2021)


Banyak pihak menilai, pernyataan presiden terlalu berlebihan dan kontradiktif dengan kebijakan yang ada. Terbaru, usai kampanye "benci produk asing", pemerintah kembali membuka impor beras sebanyak 1 juta ton di tengah prakiraan lonjakan panen.


Pemerintah akan impor 1 juta-1,5 juta ton beras dalam waktu dekat ini. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan itu dilakukan demi menjaga ketersediaannya di dalam negeri supaya harganya tetap terkendali.


"Salah satu yang penting adalah penyediaan beras dengan stok 1 juta -1,5 juta ton," ujarnya dalam Rapat Kerja Kementerian Perdagangan 2021, Kamis (4/3).


Dalam bahan paparannya, Airlangga menjelaskan pemerintah akan melakukan dua kebijakan demi menjaga ketersediaan beras dalam negeri. Langkah ini diambil terutama setelah ada program bantuan sosial (bansos) beras PPKM, antisipasi dampak banjir, dan pandemi covid-19. (CNNIndonesia, 4 Maret 2021)


Seruan untuk mencintai produk dalam negeri kembali mencuat, sekaligus juga seruan untuk membenci produk luar negeri. Seruan ini bertujuan untuk memberikan ruang kepada UMKM guna mengambil andil dalam pasar dengan harapan produknya lebih dicintai dari pada produk luar negeri. Namun, seruan ini ternyata hanya dipidahkan oleh waktu dengan munculnya isu impor beras. Di saat petani akan panen raya, pemerintah justru akan melakukan impor beras sebanyak 1 juta ton. Dua fakta ini juga menimbulkan berbagai prespektif di kalangan masyarakat. Publik meragukan seruan cintai produk dalam negeri karena fakta di lapangan justru menunjukkan upaya sebaliknya.


Namun ternyatanya seruan itu tidak benar-benar berdampak positif pada UMKM. Perbedaan harga yang signifikan masih menjadi alasan konsumen untuk lebih memilih membeli produk impor. Bahkan sejumlah marketplace yang beroperasi di Inonesia juga cukup besar mengambil andil dalam mewadahi produk impor. dengan adanya ASEAN-China Free Trade Area menjadikan barang-barang impor terbebas dari berbagai pajak sehingga harga barang menjadi murah. Beda hal dengan produk lokal yang harus membayar berbagai pajak sebelum untuk dapat dipasarkan sehingga harga produk menjadi lebih mahal. UMKM dilepas ke pasar bebas untuk bersaing dengan korporasi besar dunia. Jelas terlihat bahwa itu bukanlah persaingan yang seimbang.


Seruan untuk mencintai produk dalam negeri dan dorongan kepada UMKM untuk ikut ambil andil dalam memanfaatkan perdagangan digital untuk memenuhi pasar nasional maupun internasional tidak cukup untuk menyelamatkan pengusaha lokal. Berbagai kesepakatan bilateral, regional dan internasional dalam perdagangan yang telah berjalan dan telah nyata memberikan dampak buruk atau merugikan bagi pengusaha dalam negeri. Inilah produk dari ideologi sekulerisme yang terkenal dengan sistem perekonomiannya yaitu sistem kapitalisme yang melahirkan liberalisasi perdagangan.


Berbeda cerita ketika perdagangan diatur dengan sistem islam. Dalam sistem islam, perdagangan dijalankan berdasarkan pelaku perdagangan atau pedagangnya. Abdurrahman Al-Maliki di dalam bukunya Politik Ekonomi Islam menjelaskan bahwa pedagangan adalah aktivitas jual beli. Hukum-hukum terkait jual beli adalah hukum-hukum terkait pemilik harta bukan terkait harta. Status hukum produk atau komiditi bergantung pada pedagangnya. Apakah dia termasuk warga Darul Islam (Khilafah) atau Darul Kufur.


Setiap warga negara Khilafah baik beragama islam atau tidak boleh melakukan perdangan di dalam negeri dan akan mendapatkan riayah atau pengurusan dari Khilafah. Setiap dari mereka haru berdagang sesuai dengan syariat islam, misalnya tidak boleh melakukan penimbunan, penipuan, menjual barang haram dan hal-hal terlarang lainnya.


Pedagang dengan kewarganegaraan islam boleh melakukan perdagangan ke luar negeri atau ekspor impor tanpa perlu surat izin ekspor impor. Kecuali jika ada komoditi yang apabila dilakukan ekspor impor akan menimbulkan dampak negatif, maka hanya komditi inilah yang akan dilarang sedangkan aktivitas ekspor impor secara umum boleh dilakukan. Apabila ada negara yang sedang terlibat perang dengan Khilafah, maka warga negara Khilafah tidak boleh melakukan hubungan dagang dengan negara tersebut. Karena eskpor dan impor hanya akan memperkuat mereka.


Pedangang islam juga terbebas dari bea cukai atas komoditas apa aja, baik komoditas impor maupun ekspor. Hal ini akan membuat pelaku perdagangan atau pedagang merasa senang karena tidak banyak biaya yang harus ditanggung seperti di sistem sekarang.


Berbagai peraturan terkait pedagangan ini, jika diterapkan di negera Khilafah maka akan sangat melindungi pedagang dalam negeri nya. Mereka akan dengan mudah melakukan bisnis di dalam negeri maupun ekspor impor sehingga memperoleh kesejahteraan dan kemakmuran.


Wallahua’lam bish-showab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama