Kritik Makin Pelik, Makin Menggelitik

 


 


Endah Sulistiowati

Dir. Muslimah Voice


Muslimahvoice.com - Mengutip dari KBBI kata kritik/kri·tik/ n diartikan sebagai kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Sedangkan Wikipedia menyebutkan kritik adalah proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan. Kritik berasal dari bahasa Yunani kritikos yang berarti "dapat didiskusikan".


Pasti ada yang tanya, mengapa sih tiba-tiba bahas kritik? Yaaa, karena memang Indonesia lagi mendapat sorotan internasional  dikarenakan turunnya nilai indeks demokrasi. Hal ini dikarenakan di era Jokowi ini banyak aktivis dan tokoh yang aktif melempar kritik ditangkap dan ditahan polisi. Jokowi seolah menutup mata dengan berbagai kasus pembungkaman kebebasan berpendapat yang selama ini terjadi.


/Indeks Demokrasi Indonesia Merosot/


Masyarakat pun menjadi w.o.w saat Presiden menyampaikan: 


"MASYARAKAT harus lebih aktif menyampaikan kritik.”


Kalimat ini merupakan penggalan dari pernyataan Presiden Jokowi saat memberi sambutan pada Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI, Senin (8/2/2021) lalu. Sebelumnya di Hari Pers Nasional, Jokowi juga menyinggung soal ruang diskusi dan kritik.


Usut punya usut ternyata menurut laporan tahunan The Economist Intelligence Unit, indeks demokrasi Indonesia berada pada peringkat ke-64 dunia. Dengan skor 6,8, posisi Indonesia tertinggal dari Malaysia, Timor Leste dan Filipina. Ini merupakan yang terendah selama 14 tahun terakhir.


Dalam laporannya, EIU mencatat lima instrumen penilaian indeks demokrasi. Yakni proses pemilu dan pluralisme, fungsi pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. Skor untuk kebebasan sipil paling rendah ketimbang empat instrumen lainnya, yakni 5.59. (Kompas.com) 


Merosotnya kualitas demokrasi Indonesia juga terlihat dari hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada Oktober 2020. Hasil survei tersebut menunjukkan mayoritas masyarakat setuju bahwa mereka makin takut menyampaikan pendapat.


Sebanyak 47,7 persen responden menyatakan agak setuju bahwa warga makin takut menyatakan pendapat. Kemudian sebanyak 21,9 responden menyatakan warga sangat setuju makin takut menyatakan pendapat.


Hasil survei sejalan dengan apa yang terjadi di lapangan. Dalam tiga tahun terakhir sejak muncul aksi 212 masyarakat merasa semakin sulit untuk berdemonstrasi guna menyampaikan aspirasi. Selain itu, hasil survei juga menunjukkan mayoritas publik setuju bahwa aparat makin bertindak semena-mena terhadap masyarakat yang berbeda pendapat.


Mengutip catatan KontraS, hingga Oktober 2020, ada sebanyak 10 peristiwa dan 14 orang yang diproses karena mengkritik Presiden Jokowi. Lalu dari 14 peristiwa, 25 orang diproses dengan obyek kritik Polri, dan 4 peristiwa dengan 4 orang diproses karena mengkritik Pemda. Mereka diproses dengan menggunakan surat telegram Polri dan UU ITE. Belum lagi di dunia maya, aktivis yang aktif menyampaikan kritik pasti akan berhadapan dengan para buzzer. Alih-alih dilindungi mereka akan menjadi bulan-bulanan buzzer dan tidak jarang berujung pada pelaporan ke pihak berwajib.


Kondisi perpolitikan nasional seperti inilah yang menjurus pada sistem pemerintahan yang otoriter. Tidak salah jika pemerintahan saat ini dijuluki sebagai pemerintahan yang anti kritik, bahkan menutup semua celah masyarakat untuk mengkritik. Sehingga tidak salah kan, jika indeks demokrasi Indonesia merosot tajam.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama