Hijab, Desain Berbusana yang "Sangat Visioner"




Oleh: Ummu Zamzama (Forum Hijrah Kaffah)


Muslimahvoice.com - Istilah hijab kini bermetamorfosis dari makna tabir (penutup) menjadi pakaian penutup aurat bagi perempuan muslim. Semakin banyaknya komunitas pemakai hijab (hijabers) semakin banyak pula fashion hijab di masyarakat. Satu hingga dua dekade terakhir, fenomena hijab menjadi pemandangan yang umum di ruang publik.


Hijab di era millenials menjadi tren busana yang kian digandrungi terlebih oleh para muslimah. Beragam jenis fesyen di berbagai event hampir selalu menjadikan style berhijab sebagai pilihan. Bahkan, hijab juga dapat dikenakan berbagai usia, dari bayi hingga lanjut usia.

 

Hari ini, jilbab tidak hanya menjadi bagian dari tuntunan agama tentang cara berbusana tetapi juga trend fashion. Ketika bulan Ramadhan misalnya, tampak fenomena para publik figure "mendadak" menggunakan hijab. Hijab dianggap sebagai identitas muslimah. Satu sisi hijab sebagai kewajiban bagi muslimah sedangkan di sisi yang lainnya sebagai style fashion kekinian. Dari sini nampak, hijab seolah-olah hanya menjadi milik Islam (khususnya muslimah). Sehingga wanita non muslim, tidak lazim berhijab.


Kasus Jilbab di sebuah SMK Negeri di Padang sangatlah menarik perhatian publik. Narasi "pemaksaan" jilbab bagi siswi non muslim oleh pihak sekolah dinilai sebagai bentuk intoleransi.  Padahal kalau kita mundur ke belakang, sejak 15 tahun yang lalu aturan berseragam dengan jilbab telah diterapkan tanpa adanya unsur "pemaksaan" dan tidak menimbulkan persoalan bagi siswi non muslim di sana seperti yang viral hari ini.


Jika dicermati, narasi "pemaksaan" jilbab ini tak lain ditujukan untuk menyerang ajaran Islam dengan menyebut intoleran jika diterapkan pada kehidupan publik, khususnya melalui perda syariah. Kontroversi panjang tentang penerapan Perda syariah di Indonesia memang selalu gurih, apalagi kontroversi ini dibumbui dengan isu pelanggaran HAM dan intoleran terhadap non Muslim. Media-media seolah tidak berkedip dari memberitakan bagaimana penerapan aturan Islam akan berujung pada intoleransi dan mengganggu keberagaman.


Tuduhan intoleransi pada kasus Jilbab Padang ini pada akhirnya direspons oleh pemerintah dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri tentang atribut seragam sekolah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama meluncurkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri terkait Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di lingkungan sekolah Negeri jenjang pendidikan dasar dan menengah, Rabu (3/2/2021).


SKB Tiga Menteri tersebut mencakup 6 (enam) keputusan utama yang salah satu poinnya berisi tentang keharusan bagi Pemerintah Daerah dan Kepala Sekolah untuk mencabut aturan terkait keharusan maupun larangan penggunaan seragam maupun atribut keagamaan di lingkungan sekolah negeri.


Menurut Nadiem, pemerintah daerah dan kepala sekolah, wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak keputusan bersama ini ditetapkan.


Nadiem menegaskan bahwa kunci utama atau esensi dari SKB ini yaitu para murid, guru dan tenaga kependidikan adalah yang berhak memilih. Menggunakan atribut keagamaan adalah keputusan individu, murid, guru dan orang tua bukan sekolah negeri.


Tudingan berbagai pihak bahwa syariat Islam melanggar HAM dan intoleran perlu kita kaji dengan jernih. Standar HAM dan kategori intoleran sendiri yang selalu dipakai sebagai tolok ukur nyatanya bermakna ganda. Hal ini terbukti ketika kasus pelarangan jilbab terjadi di hampir seluruh sekolah di Bali pada 2014 silam. Pemerintah setempat beralasan untuk menjaga kearifan lokal dan menghormati agama mayoritas. Nyatanya, alasan yang sama tidak berlaku di Padang.


Bila dicermati, derasnya narasi islamofobia berakar dari paham sekuler yang diadopsi di negeri ini. Komplikasi dan dilema yang timbul akibat penerapan syariat Islam bersumber pada subordinasi hukum syariat pada hukum-hukum sekuler yang didesain oleh manusia seperti HAM dan demokrasi. Akibatnya, hukum HAM dan demokrasi selalu lebih tinggi daripada hukum syariat.


Di sisi lain, ini adalah teater opini murahan kaum pemuja kebebasan dan pembenci Islam. Mereka lebih tanggap pada persoalan satu orang penolak bersegaram sopan dengan jilbab, tetapi mereka buta pada pelarangan massal jilbab di Bali dan di negeri-negeri Barat seperti Jerman dan Perancis. Mereka juga lebih tertarik menuntut hak kebebasan berekspresi, namun menutup mata dari ribuan lebih kasus kerusakan moral generasi akibat pergaulan bebas. Mereka lebih tergiur mengkampanyekan bahwa aturan syariat mendiskriminasi non muslim, dibandingkan memikirkan solusi untuk jutaan nyawa muslim yang didiskriminasi di Uighur, Rohingya, Palestina, India, dll karena mempertahankan agamanya.


Paranoidnya mereka terhadap syariat Islam telah memicu gerakan monsterisasi syariah yang dilakukan secara masif, terstruktur dan sistemis, baik lokal maupun internasional. Mereka terus berupaya untuk mengecam dan mencari-cari kesalahan pihak-pihak yang berpegang pada kemuliaan syariah Islam dan yang kontra terhadap sekularisme liberal yang nyata-nyata cacat.


Sementara itu, kita tidak boleh lupa sejarah, bahwa nusantara pernah berjaya ketika menerapkan Islam secara komprehensif berbilang abad di bawah Kekhilafahan Islam. Sebagian ahli sejarah seperti diungkap dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam menyebut bahwa abad ke-18 dan 19 adalah era golden age bagi Islam di Asia Tenggara. Berbagai dokumen tentang berhijabnya kaum muslimah tersimpan salah satunya di museum arsip Belanda. Di dokumen itu ditemukan foto-foto muslimah Nusantara dengan hijabnya. Padahal era sebelum Islam, penduduk nusantara kala itu terutama wilayah Melayu, Jawa, dan Nusa Tenggara, hanya mengenakan penutup tubuh bagian bawah dengan pundak dan leher bahkan bagian dada terbuka. Namun, Islam datang membawa perubahan style berbusana yang visioner yaitu dengan menutup seluruh tubuh wanita, kecuali muka dan telapak tangannya.


Penting dicatat, visi Islam dalam syari'at berbusana lebih dari sekadar kewajiban apalagi fashion semata. Syariat berhijab diturunkan oleh Allah sebagai bentuk perlindungan dan simbol kemuliaan bagi para wanita. 


Allah SWT berfirman:

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat,” (QS. Al-A’raf [7]: 26).


Dalam Islam, pakaian 'lahir' berfungsi sebagai sarana menopang 'batin'. Menutup aurat bukan sekadar berpakaian melainkan pakaian yang bisa menutupi warna kulit dan bentuk/lekuk tubuh. Oleh karenanya, hijab pun ada ketentuannya, yakni tidak transparan, tidak ketat dan tidak boleh 'tabarruj', yakni menarik perhatian, baik warna, corak maupun modelnya. sebab pakaian yang transparan dan ketat tidak akan melindungi aurat yang menjadi kehormatan. Pakaian pun menjadi disfungsi. Demikian pula pakaian yang sangat mencolok dan berlebihan desain dan warnanya, akan mengundang perhatian publik.


Allah SWT berfirman:

“Dan hendaklah engkau tetap di rumahmu dan janganlah berhias serta bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dulu,” (QS. Al-Ahzab [33]: 33).


“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya ..." (QS. An-Nuur [24]: 31).


Demikian rincinya Islam mengatur berpakaian bukan dalam rangka untuk menyulitkan kaum perempuan akan tetapi justru memudahkan mereka untuk dikenal dan untuk melindungi kehormatan mereka agar mereka tidak diganggu.


Allah SWT berfirman:

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)


Hijab syar'i adalah desain berbusana yang sangat visioner dan paling humanis dari banyak sisi, baik kesehatan, sosial, maupun ekonomi.


Jika dibandingkan dengan busana abad pertengahan Eropa, Islam jauh mengungguli. Gaya busana wanita era Victoria bisa dibilang "dressed to kill", bukan sekedar bergaya busana yang lagi tren atau sesuai mode supaya orang terkesan, melainkan 'berbusana untuk membunuh', setidaknya membunuh si pemakai. Sejarah bahkan mencatat, busana  crinoline memicu kematian lebih dari 3.000 wanita saat itu. 


Hendaknya kaum wanita menyadari bahwa syariat hijab datang untuk semua kalangan, baik bangsawan maupun rakyat biasa baik muslimah maupun bukan sebab Islam bersifat rahmatan lil'alamin. Lebih jauh, hijab sebagai pakaian fisik menopang jiwa pemakainya agar selalu mengutamakan 'pakaian' takwa. Ketakwaan itulah yang akan menuntun seorang hamba pada keridhoan Allah SWT yang Maha Melindungi hambanya dimanapun ia berada.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama