Gaima, Mengawal Berakhirnya Dinar Dirham dari Dunia Islam




Oleh: Dyan Ulandari


Muslimahvoice.com - Dinar dan dirham adalah mata uang yang berdasarkan logam emas dan perak. Mata uang emas dan perak sudah digunakan dunia selama ribuan tahun. Hingga masa Islam datang Rasulullah SAW menetapkan (dengan bentuk taqrir) penggunaan Dinar dan Dirham yang sudah ada, serta menetapkannya sebagai mata uang. Penerapannya eksis hingga hampir penghujung kekhalifahan Turki Utsmani.


Sistem mata uang dua logam tersebut mengikuti ketentuan standar berat (wazan) tertentu. Dinar berwazan syar'i 4,25 gram emas, sedangkan Dirham 2,975 gram perak (Zallum, 2002). Dinar Dirham sebagai mata uang logam mulia tentu sangatlah stabil dan menjadi penopang kekuatan moneter Islam. Sebagaimana syari'at Allah semua disandarkan pada logam mulia tersebut, dari mulai hitungan zakat, diyat, hingga syari'at lainnya.


Hingga pada suatu masa diantara sederet perjalanan kaum muslimin, terjadi suatu kelengahan yang bahkan berpengaruh terhadap Dinar Dirham sebagai mata uangnya. Pada tahun 1839 M terjadi tekanan politik dan ekonomi yang dilakukan penjajah Inggris dan Perancis. Hal itu mengakibatkan kekhalifahan yang kala itu dipimpin oleh Turki Utsmani menerbitkan mata uang kertas yang disebut Gaima. Meski mata uang baru ini masih diback-up oleh stok emas dan perak namun sudah tak seratus persen.


Pada tahun 1880 M dikeluarkan reformasi sektor keuangan dengan memberlakukan mata uang Lira Utsmani yang bersandarkan emas. Namun pada tahun 1914 M negara khilafah yang dipimpin Turki Utsmani turut terseret dalam kancah Perang Dunia 1. Inilah akhir dari penerapan standar mata uang Islam yang didasarkan pada emas dan perak. Bahkan Turki Utsmani mewajibkan penggunaan uang kertas sekaligus membatalkan transaksi penukaran menggunakan emas dan perak.


Sejak itulah kaum muslim tak mengenal lagi Dinar Dirham, standar mata uangnya yang kokoh dan menjadi rahasia perekonomian tetap stabil hingga berbilang abad lamanya. Bahkan kini ada suara sumbang dari kalangan kaum muslimin sendiri yang mengkriminalkan pegiat Dinar Dirham dalam skala muamalah di komunitasnya.


Di tengah masyarakat pun kondisinya beragam, banyak yang antusias menyambut dengan baik, namun tak sedikit yang baru mendengar namanya hingga menolak mentah-mentah akibat ketidaktahuannya. Padahal jika saja mengenali Dinar Dirham dari sisi syar'i maupun manfaat, akan gamblang diketahui kebaikannya.


Diberlakukannya mata uang berstandar emas dan perak sebagai pembayaran barang dan jasa berarti telah memberi dunia dengan mata uang sebenarnya, yakni memiliki nilai intrinsik yang benar-benar berharga. Sangat jauh berbeda dengan pemberlakuan logam lainnya ataupun fiat money (uang kertas tanpa disandarkan pada emas) seperti yang terjadi setelah masa itu hingga hari ini.


Fiat money hanya memiliki nilai intrinsik seharga sehelai kertas, berbanding jauh dengan nilai ekstrinsiknya. Terlebih lagi fiat money disandarkan pada mata uang dollar yang mana dollarpun tak disandarkan pada emas. Tentu saja ini adalah alat yang semakin memudahkan bagi penjajah untuk semakin menjajah dan menjarah negeri-negeri kaum muslimin.


Apresiasi Mengembalikan Dinar Dirham


Jika ada individu maupun komunitas yang menggiatkan aktifitas bermuamalah menggunakan Dinar Dirham harusnya bukan mendapat tekanan, justru sebaliknya musti diapresiasi. Karena mata uang ini berstandarkan emas dan perak. Artinya hal ini berawal dari kesadaran akan kelebihan emas dan perak dibanding kertas yang tak punya back-up emas ataupun perak.


Terlebih lagi jika pegiatnya adalah muslim yang mengawali aktifitasnya karena dorongan iman, maka hal ini yang semestinya mendapatkan wadah. Dorongan keimanan karena dicontohkan oleh Nabi SAW, tak ada yang tak selamat dan pasti tak kan merugi ketika manusia ber-ittiba` pada petunjuk rasul-Nya.


Semangat ini bisa kita lihat dari sebagian contoh fakta yang ada. Terhitung beberapa tahun yang lalu Dinar Dirham dicetak secara terbatas di Spanyol, Jerman, Afrika Selatan, hingga puluhan negara lainnya. Selain itu juga gerakan-gerakan yang tumbuh mulai marak di berbagai belahan dunia, diantaranya PAID (People Againts Interest Debt), dan lain-lainnya (Hatta, 2013).


Menerapkan Dinar Dirham wujud cinta terhadap negeri. Sebaliknya mempertahankan fiat money yang bersandar pada mata uang asing yang nisbi tanpa sandaran emas perak, akan semakin melanggengkan dominasi, hegemoni, dan penjarahan sumber daya alam wilayah kaum muslim yang melimpah ruah.


Emas dan perak yang dijadikan sandaran mata uang pun harus seratus persen sebagaimana asalnya. Janganlah seperti Gaima yang setengah-setengah, hingga membuka celah yang semakin lebar bagi penjajah. Juga sangat sulit jika sistem ekonominya bukan ekonomi Islam yang terintegrasi.


Tentu saja penerapan Dinar Dirham akan jauh lebih efektif dan lebih terasa manfaatnya oleh seluruh masyarakat jika diterapkan oleh institusi negara. Maka, adanya geliat yang menyadarkan kembali akan penggunaan Dinar Dirham hendaknya segera disambut baik oleh semua pihak, termasuk yang saat ini memegang amanah kekuasaan. Menyambutnya, serta memberlakukan di seluruh bagian negeri untuk digunakan sebagai salah satu alat bertransaksi.


Allah SWT berfirman:


 إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ 


"Sesungguhnya Allâh  tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allâh  menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia." [Ar-Ra’d 13:11]


_Allahua'lam bisshowab_

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama