Oleh: Pipit Agustin (Koordinator JEJAK)
Muslimahvoice.com - Pemerintah telah membuat daftar prioritas penerima vaksin Covid-19. Kelompok prioritas pertama adalah tenaga kesehatan, asisten tenaga kesehatan, tenaga penunjang yang bekerja pada fasilitas pelayanan kesehatan, TNI/Polri, aparat hukum, dan petugas pelayanan publik lain.
Terkait pemberian vaksin ini, pemerintah melalui Jubir Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan juga menargetkan setidaknya 70 persen penduduk Indonesia atau sekitar 182 juta jiwa yang akan diberi vaksin. Tujuannya, agar terbentuk kekebalan populasi atau herd immunity. Vaksinasi yang dilakukan di masa pandemi ini bertujuan untuk membentuk kekebalan kelompok. Kekebalan kelompok tersebut ini terbentuk berawal dari kekebalan individu yang divaksin.
Presiden Jokowi adalah orang pertama penerima suntikan dosis pertama Vaksin Covid-19 Sinovac. Bersama presiden, ada sejumlah pejabat dan juga publik figur yang ikut menerima suntikan vaksin tersebut di istana negara pada 13 Januari kemarin. Setelah itu, vaksinasi akan dilakukan secara massal bagi seluruh masyarakat secara bertahap. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej menilai vaksinasi corona bersifat wajib bagi warga Indonesia.
Untuk itu, pemerintah telah menyiapkan ancaman pidana atau denda jika ada yang menolak divaksin virus Corona. Hal ini disampaikan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej melalui YouTube PB Ikatan Dokter Indonesia berjudul "Webinar Nasional: Kajian Hukum, Kewajiban Warga Negara Mengikuti Vaksinasi" yang diunggah pada Sabtu (9/1/2021).
"Jika ada warga negara yang tidak mau divaksin, maka bisa dikenakan sanksi. Bisa berupa denda, bisa berupa penjaram bisa juga kedua-duanya," ungkapnya dikutip dari bisnis.com Selasa (12/1/2021).
Pernyataan Eddy didasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 93 disebutkan denda bagi yang melanggar atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan wilayah akan bisa dipidana penjara dan atau denda paling banyak Rp100 juta.
Di seberang Istana, nampak bergulir pernyataan kontra vaksin Sinovac dari berbagai kalangan, baik politisi, pejabat, dokter, maupun rakyat jelata. Penolakan terhadap Sinovac berdasarkan beberapa alasan. Seperti yang diungkapkan salah satu politisi partai berkuasa, ia menolak divaksin karena mendengar pernyataan dari PT Bio Farma yang menyebut belum melakukan uji klinis tahap ketiga. Selain itu, ia juga memiliki pengalaman melihat sejumlah vaksin yang pernah masuk ke Indonesia namun malah memperburuk keadaan.
Senada dengan itu, akademisi dan peneliti dari Lembaga Ahlina Institute, dr Tifauzia Tyassuma menyatakan tidak akan mau disuntik vaksin Covid-19 buatan dari luar negeri karena alasan ketepatan virus yang menjadi bahan baku vaksin.
Ahli epidemiologi ini menegaskan dia hanya mau disuntik vaksin Covid-19 buatan dalam negeri, yakni Vaksin Merah Putih. Fenomena ini menjadi sinyal buruk bagi pemerintah. Betapa radius of trust masyarakat dan pemerintah teramat jauh sehingga masyarakat hilang 'taat' pada putusan pemerintah.
Sejatinya, vaksin, sebagaimana ditetapkan oleh badan kesehatan dunia atau WHO bukanlah sebuah mandatory, melainkan pilihan. Masyarakat secara sukarela memutuskan apakah hendak memilih atau menolak. Di sini terlihat pemerintah sedang menerobos aturan kesehatan dunia dengan menyatakan bahwa vaksin hukumnya wajib. Entah demi kepentingan apa hal itu ditujukan.
Masyarakat mencium aroma bisnis dalam pengadaan vaksin yang terburu-buru itu. Ini terlihat dari pembelian Vaksin yang mendahului hasil uji klinis dan EUA, yang sangat berisiko. Pemerintah memakai paradigma kapitalisme (untung rugi) dalam pengadaan vaksin. Ketika importir sudah teken dan hitungan fee sudah diterima, maka keputusan tidak bisa ditunda. Inilah salah satu kekhawatiran publik, bukannya curiga.
Selain itu, vaksin ini dinilai terburu-buru karena efektivitas vaksin belum melalui Uji Klinis Fase III di Indonesia dengan subjek penelitian yang terlalu sedikit untuk sebuah Uji Klinis Vaksin massal, yaitu hanya mengikutsertakan 1620 subjek saja, sebagaimana disampaikan dr. Tyfa.
Sementara itu, narasi "wajib" vaksin jelas tidak selaras dengan peraturan global. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan tidak setuju dengan aturan negara yang mewajibkan vaksin corona. WHO menilai mewajibkan vaksinasi corona kepada setiap warga hanya akan menjadikan bumerang yang memicu mereka semakin bersikap antipati terkait vaksin Covid-19.
"Saya tidak yakin bahwa mandat-mandat bukan arah kebijakan yang tepat di sini, khususnya bagi vaksin," kata Direktur Departemen Imunisasi WHO, Kate O'Brien dalam jumpa pers virtual pada Desember lalu dikutip dari CNN Indonesia.com
Di sini, kita mencermati adanya problem serius. Keinginan pemerintah memberikan vaksinasi nampak bertepuk sebelah tangan. Tak dimungkiri jika banyak kalangan yang masih meragukan efektivitas dan keamanan vaksin corona. Wajar saja karena hilangnya 'trust' tadi. Padahal, jika pemerintah mampu meyakinkan masyarakat terkait manfaat vaksin, hal itu jauh lebih efektif untuk menarik masyarakat agar mau divaksinasi daripada mewajibkannya. Tindakan paksa memvaksin masyarakat adalah cara yang kurang tepat untuk memasyarakatkan vaksin Covid-19.
Ini adalah tantangan pemerintah di seluruh dunia termasuk Indonesia, yakni berjuang meyakinkan masyarakat umum agar mau divaksinasi. Vaksinasi menjadi problem serius di dunia kapitalis seperti sekarang. Ditambah sekat nasionalisme yang memunculkan "nasionalisasi" vaksin, persaingan bahkan saling tuduh. Vaksin menjadi komoditas bisnis sehingga kepentingan nasional di atas kepentingan kemanusiaan, dan keuntungan perusahaan di atas kesehatan publik. Tak heran, manusia sulit percaya kepada manusia yang lain termasuk pemerintah mereka.
Sudah waktunya kita menyadari bahwa kapitalisme global tidak kompeten menangani wabah. Paradigma profit telah menghancurkan kepercayaan publik karena abai terhadap nyawa manusia.
Hal ini sangat berbeda diametral dengan Islam dimana individu, masyarakat dan negaranya secara sinergis dan serius menuntaskan wabah. Pada level individu, Islam menganjurkan berobat termasuk menggunakan vaksin. Bukan wajib, melainkan pilihan dan anjuran (Sunnah atau mandub). Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
“Wahai hamba Allah, carilah pengobatan. Sungguh, Allah tidak menciptakan sebuah penyakit kecuali menciptakan obatnya, kecuali satu. …. (yaitu) ‘tua’.” (Sunan at-Tirmidzi 2038)
Dikisahkan terjadi pada masa Rasulullah ﷺ, Ata’ ibn Abi Rabah meriwayatkan: Ibnu Abbas berkata padaku, “Apakah hendak aku tunjukkan perempuan penghuni surga?” Aku berkata, “Tentu saja.” Ibnu Abbas berkata, “Ada seorang perempuan berkulit hitam yang datang menemui Rasulullah saw. dan dia berkata, ‘Sungguh, aku menderita penyakit ayan dan auratku terbuka karenanya, mohonlah doa pada Allah untukku.’ Rasulullah saw. bersabda,
إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ
‘Jika engkau bersabar maka bagimu surga, atau jika engkau mau, aku akan berdoa pada Allah untuk menyembuhkanmu.’ Perempuan itu berkata, ‘Aku akan bersabar, namun mohonkanlah pada Allah agar auratku tidak terbuka.’ Lalu Rasulullah berdoa untuknya.” (Sahih Bukhari 5.328, Sahih Muslim 2.576)
/Islam mewajibkan kepala negara untuk mengurusi urusan rakyat, termasuk menyediakan layanan kesehatan/
Dalam situasi pandemi, negara akan memerintahkan para ahli untuk mengembangan vaksin dan memfasilitasi distribusinya agar vaksin tersebut sampai kepada masyarakat dalam rangka pencegahan penyakit. Hal ini beririsan dengan kebijakan mencegah mobilitas dari dan ke wilayah terjadinya wabah, serta kebijakan memisahkan yang sakit dan yang sehat.
Tak hanya itu, untuk menekan penyebaran virus, negara harus melakukan tes massal gratis berkualitas pada individu-individu tanpa gejala serta menelusuri kontak orang-orang yang telah bersinggungan dengan pasien positif, lalu memintanya untuk isolasi mandiri. Negara menjamin kebutuhan mereka selama masa isolasi. Dengan begitu, tidak perlu menutup total mobilitas sosial secara nasional. Tidak perlu mencegah aktivitas orang yang sehat dari kewajiban bekerja, belajar, dan beribadah karena yang sakit telah dipisahkan.
Negara harus menjamin semua pengobatan, termasuk di dalamnya vaksin, diuji agar diketahui keamanannya sebelum ditawarkan dan diedarkan kepada masyarakat. Sehingga kepastian keamanan vaksin adalah kewajiban negara.
Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan: Rasulullah saw. bersabda,
‘لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ مَنْ ضَارَّ ضَرَّهُ اللَّهُ وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ’
“Janganlah membahayakan diri sendiri atau orang lain. Barang siapa yang membahayakan orang lain, Allah akan membahayakan dirinya. Barang siapa yang kasar dengan orang lain, Allah akan kasar dengannya.”
Di sinilah peran para ahli dibutuhkan dan didukung penuh oleh negara. Tidak akan ada tawar-menawar bagi kualitas dan keamanan vaksin apalagi berhitung untung rugi. Karena nyawa rakyat steril dari kepentingan bisnis. Dengan begitu, kepercayaan masyarakat terhadap negara akan tumbuh subur.
Akhirnya, segala ikhtiar termasuk vaksin, dilakukan dengan penuh ketakwaan dan diiringi tawakal pada Allah bahwa Allah-lah yang memberi kesembuhan segala penyakit. Segala upaya yang dilakukan manusia ditujukan dalam rangka mencari keridhoan Allah semata. Dengan nuansa iman, keikhlasan dan kesabaran menghadapi wabah akan beroleh pahala di sisi Allah SWT.
#Sinovac #Vaksin