Paru-paru Dunia Menangis Karena Ulah Kapitalis

 



Oleh : Ayla Ghania (Pemerhati Sosial dan Politik)


Muslimahvoice.com - Pulau Kalimantan merupakan salah satu paru-paru dunia. Wilayah hutannya cukup luas yaitu mencapai 40,8 juta hektar. Namun,  di awal tahun 2021 Kalimantan kembali dirundung duka. Banjir di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat tahun ini dikabarkan lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu banjir menerjang Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah juga calon ibukota baru Kalimantan Timur. 


/Perdebatan Penyebab Banjir/


Para pemerhati lingkungan menyatakan banjir di di Kalimantan merupakan bencana ekologis akibat dari longgarnya izin perkebunan sawit dan penambangan. Dikutip dari republika.co.id, Kepala Pusat Data dan Komunikasi BNPB, Raditya Jati menyatakan masalah banjir di Kalimantan membutuhkan kajian lebih lanjut. Kajian secara komprehensif terkait masalah lingkungan hidup, pengelolaan wilayah sungai dan penataan ruangan. Termasuk sejauh mana resiko banjir jika terjadi cuaca ekstrim (16/1/2021).


Jauh sebelum ini, Gubernur Kalbar H. Sutarmidji, S.H., M.Hum pernah mengeluhkan sebanyak 262 izin tambang yang beroperasi di Kalbar, hanya dua perusahaan yang melakukan reklamasi sisa galian. Lanjutnya, keuntungan pengelolaan tambang tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang timbul (pontianak.kompas.com, 8/8/2019).


Namun, Kepala Kantor Staf Presiden, Moeldoko mengklaim pada masa pemerintahan Jokowi tidak obral izin perkebunan sawit atau pertambangan. Menurutnya, penyusutan lahan hutan di Kalimantan tidak berbanding lurus dengan perizinan yang diberikan pemerintah (nasional.kompas.com, 20/1/2021). Klarifikasi dari Moeldoko tidak memuaskan para pemerhati lingkungan. Perdebatan penyebab banjir masih terus terjadi.


Membenarkan pernyataan Moeldoko, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, MR Karliansyah menyatakan banjir yang terjadi di Kalsel disebabkan oleh anomali cuaca dan tidak terkait luas hutan di DAS Barito Kalsel. Lanjutnya, DAS Barito Kalsel yaitu 1,8 juta hektar hanyalah sebagian dari DAS Barito Kalimantan seluas 6,2 juta hektar (suara.com, 20/1/2021). 


Disaat masyarakat terdampak bencana membutuhkan uluran tangan segera, pemerintah disibukan dengan perdebatan penyebab banjir. Hingga akhirnya penyidik Bareskrim Polri pun turun langsung di Kalsel. Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Rusdi Hartono menyampaikan hasil bahwa faktor cuaca diduga kuat menjadi penyebab utama banjir. Selain itu, air laut juga cukup tinggi sehingga mempengaruhi aliran air hujan ke laut (tribunnews.com, 25/1/2021).


/Melupakan Konsep Lingkungan/


Jika pada akhirnya penyebab bencana banjir dicukupkan pada cuaca ekstrim, maka teori-teori terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mungkin tak diperlukan lagi. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) yang selama ini dipelajari, diseriusi, disosialisasikan dan diperjuangkan menjadi regulasi jadi nampak sia-sia.


Membantah pernyataan Moeldoko, Walhi mengungkapkan bahwa konsesi atau pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan berusaha masih terjadi di era Jokowi. Walhi telah menghimpun data dari rekapitulasi data KLHK. Disebutkan pelepasan kawasan hutan untuk konsesi kelapa sawit seluas 418.750 hektar. Sementara untuk pabrik kelapa sawit seluas 99 hektar selama tahun 2014-2019. Total pelepasan kawasan hutan di Kalimantan dalam kurun waktu 5 tahun bertambah menjadi 427.952 hektar. 


Selain itu, pelepasan kawasan hutan juga dilakukan untuk pembangunan bandara, pelabuhan, pembangunan pabrik, percetakan lahan pertanian, komoditas karet, peternakan, terminal serta gudang. Catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan hingga awal tahun 2019 KLHK menerbitkan 651 Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Izin tersebut memiliki total luas 474.859 hektar dan salah satunya untuk pertambangan. Adapun luas lahan yang telah direklamasi seluas 27.493 hektar (cnnindonesia.com, 21/1/2021).


Sementara itu, Manajer Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika menyatakan UU Mineral dan Batu Bara dan UU Cipta Kerja justru melanggengkan usaha tambang di Kalsel. Perusahaan yang menikmati regulasi tersebut antara lain PT Arutmin milik Bakrie Group dengan luas lahan 57 ribu hektar. PT Arutmin juga memperpanjang kontrak 10 tahun pada bulan November 2020. Sementara PT Adaro yang merupakan milik keluarga Erick Thohir memiliki konsesi tambang batu bara 31.380 hektar (cnnindonesia.com, 19/1/2021).


Kemudahan izin konsesi jika dilakukan tanpa melalui rangkaian analisis yang sistematis dan menyeluruh serta mengesampingkan dampak terhadap lingkungan tentu sangat berbahaya. Dalam UU Cipta Kerja, industri batu bara diberi royalti nol persen. Akhirnya, perusahaan semakin berupaya mengeruk SDA demi meningkatkan nilai tambah produksi. Padahal, pembakaran batu bara dan deforestasi memberi kontribusi besar dalam meningkatkan suhu bumi, memanaskan suhu lautan hingga menyebabkan cuaca ekstrem. 


/Kapitalisme Untungkan Korporat/


Itulah mengapa idiologi sekularisme lebih dikenal dengan kapitalisme. Dalam sistem demokrasi yang merupakan turunan dari sekularisme, negara harus melindungi hak setiap individu. Baik hak beragama, hak berprilaku, hak berbicara maupun hak milik. Dari keempat hak tersebut, hak miliklah yang paling menonjol. Menonjol dalam arti berpotensi besar menguasai dan mengendalikan penguasa hingga mempengaruhi regulasi. 


Bukan rahasia lagi bahwa menjadi calon penguasa di negeri demokrasi membutuhkan modal yang tidak sedikit. Sandiaga Uno di lanal medcom.id, mengaku untuk menjadi pendamping Gubernur DKI telah mengeluarkan modal hampir Rp 300 miliar. Sementara untuk mendampingi capres Prabowo, modal yang keluar sekitar Rp 600 miliar (23/10/2020). Menjadi wajar jika semakin hari semakin banyak calon penguasa ataupun calon legislatif yang berlatar belakang pengusaha ataupun artis.


Jika modal pribadi tak cukup, maka akan menggandeng para kapitalis menjadi bagian dari tim sukses. Akhirnya, calon penguasa yang berhasil merebut kursi akan memberikan proyek-proyek strategis hingga Sumber Daya Alam (SDA) ke tangan kapitalis tadi. Tentu menjadi masalah ketika kapitalis yang mengelola SDA, karena akan cenderung mencari untung sebesar-besarnya. 


Apalagi jika berurusan dengan hutan yang memiliki dampak luas. Membabat hutan demi membuka lahan usaha atau pertambangan tanpa memperhatikan ekosistem dan lingkungan. Dampak buruk yang ditimbulkan tidak hanya berusak ekosistem hutan tapi juga mengancam nyawa penduduk setempat. Keberadaan regulasi pun tidak lagi dianggap sakral. Akhirnya, kenikmatan yang didapat oleh para kapitalis hanya membuat rakyat menangis. 


Islam memiliki aturan yang komprehensif. Mulai dari proses pemilihan Khalifah, tidak diperkenankan adanya tim sukses. Calon Khalifah harus memiliki syarat muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, mampu serta merdeka. Mampu melaksanakan hukum sesuai syariat Islam dan merdeka dalam arti tidak dikendalikan oleh pihak manapun. Ketiadaan tim sukses tentu menjadikan calon penguasa lebih mudah bersikap adil terhadap rakyatnya serta tidak mudah dikendalikan.


Ketika wilayah Kekhilafahan meluas, Khalifah juga akan menunjuk wali (gubernur) dengan  tujuh persyaratan diatas. Selain dipilihnya penguasa yang memiliki kapabilitas tinggi,  juga dibutuhan sistem yang baik. Sistem Islam adalah sistem yang sempurna yang memiliki aturan dalam segala aspek kehidupan. Pengelolaan tambang tidak diperkenankan bagi individu apalagi asing. Pun wajib memperhatikan lingkungan. 


Allah SWT memberikan amanah kepada manusia sebagai Khalifah di bumi. Manusia bertanggung jawab dalam mengelola, memanfaatkan dan melestarikan segala yang terkandung di bumi. Kesadaran akan tanggung jawab ini akan mengendalikan liarnya nafsu manusia. Firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat Ar Ruum 41:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)". 


Ayat tersebut mengingatkan kita bahwa kerakusan manusia akan menimbulkan kerusakan baik di darat maupun di laut. Oleh karenanya, kedaulatan dalam Islam berada di tangan syara’. Regulasi yang dilahirkan harus sesuai syariat Islam. Hal ini tentu akan meminimalisir terjadinya multitafsir ataupun ambiguitas pasal-pasal dalam sebuah regulasi. Sehingga regulasi tidak disalahgunakan oleh para elit kekusasaan. 


Jika ada pelanggaran hukum syara’ yang dilakukan oleh Khalifah ataupun pejabat negara maka lebih cepat nampak karena batasannya jelas. Masyarakat bisa mengadukan pejabat tersebut ke Mahkamah Madzalim. Nampaklah bahwa hukum Islam antara satu dengan lainnya saling berkaitan hingga membutuhkan penerapan Islam secara menyeluruh demi terwujunya rahmat seluruh alam. Wallahu’alam bish showab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama