Oleh: Eni Imami, S.Si (Pendidik dan Pegiat Literasi)
Muslimahvoice.com - Salah satu persoalan kronis di negara ini adalah korupsi. Ibarat penyakit, korupsi sudah menyerang seluruh organ. Dari tahun ke tahun semakin akut dengan modus yang beragam. Sungguh memalukan, negara dengan mayoritas penduduknya Muslim menduduki peringkat ketiga sebagai negara terkorup di Asia menurut hasil survei lembaga Transparency International.
Mirisnya lagi, dalam situasi pandemi, dana bansos pun dikorupsi. Mengutip pernyataan Deputi penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto dari laman idntimes.com (21/1/2021), pihaknya masih terus mendalami kasus suap bansos Covid-19 yang menjerat eks Mensos Juliari Peter Batubara. Bahkan tak menutup kemungkinan akan menyasar pada program bansos Kemensos lainnya.
Paska ditangkapnya Juliari, jagat maya diramaikan dengan tagar "anak Pak Lurah". Sekarang muncul istilah baru "madam", yang menjadi buntut panjang pembahasan kasus korupsi bansos. Hal ini menunjukan korupsi bukan perkara oknum tertentu. Tapi berjalan secara sistemik bahkan menggurita. Satu tertangkap akan muncul tersangka lainnya.
Sesungguhnya negara sudah berupaya mengatasi korupsi. Bahkan telah dibuat satu tap MPR khusus tentang pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Tapi mengapa tidak kunjung berhasil?. Tampak nyata bahwa penanganan korupsi tidak dilakukan secara komprehensif, setengah hati, dan tidak sistemik.
Lihat saja, pada aspek pencegahan korupsi yang dilakukan oleh negara dengan melakukan penyuluhan, memasukan muatan materi korupsi dalam kurikulum sekolah belum membuahkan hasil. Melakukan penerimaan pegawai atau aparatur negara dengan jujur dan terbuka juga masih banyak kecolongan. Praktes suap masih kerap ditemukan.
Pencatatan ulang aset calon pejabat negara juga sudah dilakukan. Pada tahun 2017, pemerintah menetapkan suatu kebijakan pelaporan aset sebagai bentuk upaya pencegahan tindakan korupsi. Bahkan melakukan penelusuran aset kepemilikan juga. Namun faktanya banyak pejabat yang tertangkap tangan tindakan korupsi.
Upaya tindakan pun juga sudah dilakukan. Salah satunya dengan membentuk lembaga khusus pemberantasan korupsi (KPK). Namun, tak dipungkiri ada pihak yang menggembosi kerja KPK. Para koruptor pun tak gentar melakukan aksinya. Buktinya semakin banyak pelakunya.
Hukuman bagi koruptor juga terkesan longgar. Para koruptor masih bisa menghirup udara bebas meski sudah dijatuhkan putusan pengadilan sebagai terpidana. Masih bisa dengan mudah cuti keluar penjara hingga plesiran. Fasilitas penjara juga mewah. Bahkan bisa mendapat remisi dan pembebasan bersyarat sebagaimana diatur dalam RUU Pemasyarakatan. Wajar saja jika para koruptor tak jera apalagi merasa berdosa atas tindakan busuknya.
Lemahnya keimanan, kejujuran, dan pola hidup konsumtif menjadikan seseorang nekad berbuat khianat. Kepentingan politik, hukum yang lemah, dan perundangan yang gampang diubah-ubah demi kepentingan merupakan konsekuensi dari sistem kehidupan sekularisme. Kehidupan yang memisahkan antara agama dengan kehidupan. Menafikan agama dalam sistem pemerintahan. Inilah akar persoalan kenapa kejahatan, diantaranya korupsi tak kunjung tuntas di negeri ini.
Masyarakat tentu sangat merindukan solusi tuntas memberantas "tikus-tikus berdasi" di negeri ini. Pertanyaannya, solusi tuntas seperti apa yang harus dilakukan?. Patut disadari bersama bahwa korupsi terjadi bukan perkara oknum, tapi problem sistemik. Maka solusi yang dibutuhkan adalah solusi sistemik.
Penduduk mayoritas Muslim negeri ini meyakini bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Maka tak mungkin ada persoalan yang tak ada solusinya dalam Islam. Karena Islam bukan sekadar agama ritual, tapi sistem kehidupan.
Islam mengajarkan individu Muslim menjadi hamba yang bertakwa. Dimanapun dan kapanpun. Baik saat di rumah maupun bekerja. Baik saat menjadi rakyat maupun pejabat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW "Bertakwalah kepada Allah dimanapun engkau berada, dan hendaknya setelah melakukan kejelekan engkau melakukan kebaikan yang dapat menghapusnya. Serta bergaullah dengan orang lain dengan akhlak yang baik‘” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Dalam urusan pengangkatan pejabat/pegawai negara, ketakwaan individu menjadi syarat selain profesionalitas. Karena ketakwaan akan menjadi _self control_ yang kuat dalam menjalankan amanah. Dengan demikian, jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan dengan benar, karena akan dimintai pertanggung jawaban di dunia dan akhirat. Maka seorang Muslim akan menjadikan amanah/jabatannya itu sebagai bekal masuk surga.
Dalam sistem pemerintahan Islam, pejabat/pegawai negara diberikan gaji yang cukup. Untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier. Di samping itu, dalam pemerintahan Islam biaya hidup murah karena politik ekonomi negara menjamin terpenuhinya kebutuhan seluruh rakyat. Dengan demikian, rakyat maupun pejabat tak perlu mencari penghasilan tambahan apalagi korupsi.
Pemerintahan Islam juga membentuk Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al amwal fi daulah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan/ Pemeriksa Keuangan.
Semasa menjadi Khalifah, Umar bin Khaththab menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, bukan jaksa atau orang lain yang diminta membuktikan. Tapi yang berasngkutan membuktikan sendiri bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal.
Bila gagal, Umar memerintahkan pejabat itu menyerahkan kelebihan harta dari jumlah yang wajar kepada baitulmal, atau membagi dua kekayaan itu separo untuk yang bersangkutan dan sisanya untuk negara. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang
Sistem pemerintahan Islam menerapkan aturan haramnya korupsi dan sanksi yang keras. Bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Inilah cara yang dilakukan sistem pemerintahan Islam untuk memberantas korupsi secara tuntas. Persoalannya sekarang, konsep ini hanya diterima sebagai wacana saja atau mau bersama-sama diterapkan dalam sistem pemerintahan? Jika hanya sekadar wacana, persoalan korupsi tak akan pernah tersolusi. Jika mau diterapkan bersama, mari rapatkan barisan untuk mengajak para penguasa dan masyarakat mengganti sistem pemerintahan yang bobrok saat ini dengan sistem pemerintahan Islam. Allahu 'alam bis showab.[]