Ketergantungan Impor Pangan, Ancaman Ketahanan Negara




Oleh: Eni Imami, S.Si 

(Pendidik, Pegiat Literasi)


Muslimahvoice.com - Tahu, kuliner andalan rakyat karena harganya murah dan mudah diolah. Keberadaannya hampir tak pernah absen jadi menu harian. Entah sebagai lauk utama atau sekadar cemilan gorengan. Wajar saja rakyat kelimpungan saat beberapa hari yang lalu tak bisa menikmati tahu. Pasalnya, selama tiga hari waktu itu produsen tahu-tempe mogok produksi. Karena naiknya harga kedelai. 


Indonesia merupakan negara dengan konsumsi kedelai terbesar di dunia setelah China. Namun sayangnya kedelai tak diproduksi sendiri, tapi impor dari luar negeri. Kedelai saja impor? Bukankah Indonesia ini negara yang subur gemah ripah loh jinawi. Idealnya memiliki keunggulan dalam sektor pertanian. Jadi tak butuh impor pangan. 


Indonesia Ketergantungan Impor Pangan


Dikutip dari data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari - Oktober 2020 saja, Indonesia sudah mengimpor lebih dari 2,11 juta ton kedelai dengan nilai 842 juta dollar AS atau sekitar Rp 11,7 triliun (kurs Rp 14.000). Hampir seluruh kedelai impor dikapalkan dari Amerika Serikat (AS) yakni sebesar 1,92 juta ton. Selebihnya berasal dari Kanada, Uruguai, Argentina, dan Perancis. (Kompas.com, 04/01/2021)


Masalahnya sekarang pasokan kedelai ke Indonesia terhambat diduga disedot China karena tingginya permintaan. Akibat ketergantungan pada impor luar negeri Indonesia tak bisa berkutik. Kedelai menjadi mahal produksi tahu-tempe tak bisa berjalan lancar. 


Sebenarnya Indonesia dengan hamparan sawahnya yang luas dan subur mampu memproduksi kedelai sendiri. Indonesia pernah Swasembada kedelai pada tahun 1992 dengan produksi mencapai 1,8 juta ton. Jadi sebenarnya Indonesia mampu memproduksi bahan pangan sendiri tanpa bergantung impor luar negeri. Namun, nyatanya impor pangan jadi andalan. Ini menunjukkan Indonesia tak memiliki kemandirian pangan. 


Ketergantungan impor pangan akibat liberalisasi perdagangan sebagai konsekuensi bergabungnya Indonesia dalam WTO. Indonesia terikat dengan implementasi _Agreement on Agriculture_. Berupa pengurangan subsidi ekspor, pengurangan subsidi dalam negeri dan membuka akses pasar dengan menghapus bea masuk impor. Alhasil Indonesia diserbu berbagai produk impor. Tak hanya produk teknologi canggih namun juga produk pangan. Diantaranya bawang, kedelai, jagung dan sebagainya. Sejak itulah produk pangan lokal terus menurun karena kalah saing dengan produk impor. 


Disisi lain, Indonesia masih menggunakan paradigma neoliberal. Yakni meminimalisir peran pemerintah atas urusan rakyat. Pemerintah hadir sekadar sebagai regulator dan fasilitator. Membuat regulasi yang memudahkan para kapital menguasai pasok bahan pangan. Dengan orientasi keuntungan bukan kemaslahatan rakyat.


Kemandirian Pangan Menjaga Ketahanan Negara


Sistem pertahanan negara tak hanya diukur dari kekuatan militernya. Sebaik-baik pasukan dan strategi perang militer akan luluh lantak jika ketahanan pangan bermasalah. Bencana kelaparan jauh lebih mengerikan dibanding perang fisik. Untuk itu negara harus mampu mewujudkan kemandirian pangan. Karena ketergantungan impor pangan sama artinya dengan bunuh diri secara pelan-pelan. 


Setiap terjadi kenaikan produk pangan secara global, Indonesia pasti ikut terdampak dan menimbulkan keguncangan dalam negeri. Ini karena tak adanya visi kemandirian negara sehingga selalu bergantung pada luar negeri. Pun terkait kebijakan negara juga di setir oleh luar negeri. Penjajahan fisik memang tidak terjadi, namun penjajah secara kedaulatan bisa dirasakan. Indonesia begitu tunduk pada kebijakan luar negeri atas segala urusan dalam negerinya. Bak negara terjajah yang dicocok hidungnya oleh  negara penjajah.


Negara yang memiliki kemandirian pangan akan mampu menjaga ketahanan negaranya. Kemandirian pangan artinya negara mampu memproduksi pangan untuk kecukupan kebutuhan dalam negeri tanpa bergantung pada negara lain. Swasembada pangan erat kaitannya dengan lahan pertanian, alat produksi, dan sumber daya manusia. Untuk itu produktivitas pertanian harus pendapat perhatian serius sebagai upaya ketahanan negara. 


Mewujudkan Kemandirian Pangan


Janji Swasembada pangan khususnya untuk 3 jenis produk pertanian meliputi padi, jagung, dan kedelai pernah dilontarkan Presiden Jokowi saat menjabat di periode pertamanya tahun 2014-2019. Bahkan Jokowi tak akan segan-segan memecat Menteri Pertanian jika target tersebut tak bisa direalisasikan. 


Namun hingga saat ini tak ada Swasembada pangan. Yang ada ketergantungan pangan pada impor luar negeri. Bagaimana harusnya mewujudkan kemandirian pangan? 


Islam memiliki pandangan yang jelas terkait pengelolaan pangan. Visi mewujudkan kemandirian dan jaminan pangan direalisasikan dalam berbagai upaya. Diantaranya, meningkatkan produktivitas lahan dan produksi pertanian.


Islam menetapkan kepemilikan lahan pertanian sejalan dengan pengelolaannya. Hal ini terlihat dari tiga hukum terkait lahan. Hukum menghidupkan tanah mati, hukum larangan menelantarkan lahan lebih dari tiga tahun, dan larangan menyewakan lahan pertanian. Dengan hukum ini lahan akan senantiasa produktif dan terhindar dari banyaknya lahan yang menganggur. 


Terkait dengan produksi pertanian. Negara akan memberikan dukungan penuh agar hasilnya berlimpah. Berbagai bantuan diberikan kepada petani seperti sarana produksi, infrastruktur penunjang, modal, teknologi, dsb. Selain itu, negara juga mensupport adanya riset untuk menghasilkan bibit unggul dan berbagai inovasi yang dibutuhkan dalam pertanian. 


Dalam distribusi produk pangan diserahkan pada mekanisme pasar. Negara sebagai pengawas memastikan tak ada unsur penipuan, penimbunan, praktik tengkulak, kartel, dsb. Disertai penegakan hukum yang tegas jika terjadi pelanggaran. Aktivitas di tingkat produksi, distribusi, bahkan sampai konsumsi berupa layanan bukan komersialisasi. Semua ini dapat terwujud jika umat Islam mau menerapkan sistem Islam dalam segala aspek kehidupan. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW yang dilanjutkan oleh para Khalifah sesudahnya. Allahu 'alam bishowab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama