Oleh Adzkia Firdaus
Muslimahvoice.com - Presiden Joko Widodo sudah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) tentang hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. PP itu tertuang dalam Nomor 70 Tahun 2020 yang ditetapkan Jokowi per 7 Desember 2020. Tujuan aturan diteken karena menimbang untuk menekan dan mengatasi kekerasan seksual terhadap anak. Selain itu, juga sebagai efek jera terhadap predator seksual anak. (viva.co.id/3/1/2021).
Setelah sekian lama mencari solusi penanggulangan kejahatan seksual terhadap anak, akhirnya pemerintah memilih opsi suntik kebiri. Kebijakan ini menuai pro kontra ditengah masyarakat karenanya persoalan ini menjadi pelik hingga berlangsung lama sejak tahun 2014, dan mencuat kembali pada tahun 2019 ketika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutor pelaksanaan suntik.
Pertanyaan yang muncul dibenak kita akankah sanksi suntik kimia kebiri ini menjadi solusi atas persoalan maraknya kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh predator anak yang semakin tahun justru semakin bertambah angkanya?
Sebagaimana yang telah banyak dipaparkan para ahli kesehatan, secara medis, banyak dampak negatif suntik kebiri. Suntikan yang dilakukan secara kimiawi memiliki banyak efek samping yang membahayakan penerimanya, antara lain risiko osteoporosis, anemia, melemahnya otot, dan gangguan kognitif. Sementara di satu sisi, efek suntikan hanyalah sementara, setelah itu hasrat seksual penerimanya akan kembali sebagaimana sebelumnya (suara.com/health/2016/06/09/160042).
Bahkan seorang dokter ahli saraf menyampaikan hukuman ini dapat membuat pelaku lebih agresif karena depresi dan ketidakseimbangan hormon (nasional.tempo.co/amp/774577). Bukankah ini jelas membuktikan bahwa solusi yang di lakukan membuahkan persoalan baru yang lebih pelik.
Belum lagi kalau ternyata setelah kebiri, terpidana dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali? Kemudian, pelaksanaan kebiri membutuhkan sumber daya dan mahal. (bbc.com, 4/1/2021). Berkaca dari kebijakan-kebijakan sebelumnya, anggaran sebuah kebijakan besar kemungkinan akan diselewengkan. Inilah sebagian dampak dari kebijakan ini ketika diterapkan.
Sejatinya untuk mengatasi sebuah persoalan tentunya harus dilihat dulu akar masalahnya hingga tak salah dalam mengambil kebijakan, laksana orang yang menjadi korban serangan rudal, jangan cuma mengobati korban sipil yang menjadi sasaran dari rudal tersebut, tapi juga harus berupaya untuk menghentikan serangan rudal tersebut agar tak mengulang kondisi luka yang sama yang membuat relawan kewalahan.
Begitu pula dengan persoalan maraknya predator anak, upaya preventif juga harus dilakukan agar persoalan serupa tidak terulang sehingga tak akan banyak pelaku yang dikebiri nantinya.
Menelusuri lebih dalam apa saja penyebab munculnya predator anak, tentu tak lepas dari sistem yang melingkupi negeri ini, yaitu sistem demokrasi kapitalis yang mengggaungkan ide kebebasan alias liberalisasi salah satunya dalam hal berperilaku. Liberalisme inilah yang menjadikan aurat diumbar, pornoaksi-pornografi, campur baur laki-laki dan perempuan, bermesraan di tempat umum menjadi tontonan sehari-hari.
Terlebih era digital sekarang, kemaksiatan mudah menyebar. Sementara pemenuhan kebutuhan seksual itu dorongannya muncul dari luar diri seseorang sedangkan hal-hal yang merangsang pemenuhan kebutuhan seksual, justru semakin marak dipertontonkan terutama media, semakin merangsang untuk memenuhi kebutuhan seksual.
Sistem demokrasi juga lahir dari ide sekulerisme yang memisahkan urusan agama dari kehidupan, walhasil keimanan individu masyarakat sangat minim lantaran agama hanya sebatas ibadah mahdoh saja, tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka klop lah sudah kondisinya membuat para predator tumbuh subur di negeri kita tercinta. Ini yang harusnya jadi pertimbangan agar solusi yang ditawarkan tak mengundang persoalan baru.
/Sanksi bagi Pelaku dalam Sistem Islam/
Syariat Islam hadir dengan dua fungsi, yaitu preventif dan kuratif. Fungsi preventif tercermin dari sistem pergaulan sosial (nizhamul ijtima’iy) yang begitu lengkap, mencakup pengaturan laki-laki dan perempuan di kehidupan khusus serta di kehidupan umum (public area).
Islam mengatur mulai dari penetapan batasan yang jelas akan aurat laki-laki dan perempuan, pakaian penutup aurat, kewajiban menjaga pandangan, larangan tabarruj, larangan khalwat dan ikhtilat, pengaturan safar bagi perempuan, dorongan menikah hingga pengaturan rumah tangga.
Dengan kelengkapan aturannya, Islam menutup celah aksi pornografi pornoaksi serta memastikan laki-laki dan perempuan mampu mengoptimalkan peran dalam masyarakat dengan tetap terjaga kehormatannya.
Sedangkan fungsi kuratif berupa sanksi hukum, Islam tegas mengharamkan perilaku bebas, berzina ataupun mendekati zina, memperkosa/pelecehan seksual, sekalipun semua itu dilakukan suka sama suka. Sanksi bagi pemerkosa atau pelaku pelecehan seksual yang sampai menzinai, dibedakan menjadi dua.
Pertama, sanksi bagi pezina dan pemerkosa yang belum menikah. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik dalam kitab Muwatha’ pelaku wajib dicambuk 100 kali cambuk dan boleh diasingkan selama satu tahun, serta memberikan “mahar” (denda) yang diberikan kepada korban. Bagi pezina dan pemerkosa yang belum menikah dan melakukannya disertai ancaman serta menakut-nakuti, maka wajib dicambuk 100 kali cambuk dan boleh diasingkan selama setahun serta dipenjara selama tiga tahun. Jika disertai penganiayaan yang melukai tubuh korban, pelaku didenda sesuai jenis penganiayaan dan dendanya diberikan kepada korban.. Sedangkan bagi korban, tidak ada had/hukuman baginya, karena dia dipaksa.
Bagi pezina atau pemerkosa yang sudah pernah menikah dan melakukannya disertai ancaman dan menakut-nakuti, maka pelaku wajib dihukum rajam sampai mati. Jika disertai penganiayaan yang melukai tubuh korban, pelaku sebelum dihukum mati, didenda sesuai dengan jenis penganiayaan dan dendanya diberikan kepada korban. “Demikian pula bagi pezina yang sudah menikah maka harus dirajam hingga mati. Demikian lah Islam memberikan solusi atas persoalan ini, yang hanya bisa di terapkan ketika Khilafah tegak di muka bumi ini.
Wallahu a'lam bishowab. []