JERATAN KESETARAAN GENDER DALAM FEMINISME



Oleh : Enny Sulatri, SP, S.Pd


Muslimahvoice.com - Perempuan dan kesetaraan gender masih saja menjadi komoditi propaganda Barat menyerang Dunia Islam. Karenanya, hal ini pun menjadi sesuatu yang rutin diproyeksikan di negeri -negeri Muslim. Tak terkecuali di Indonesia.


Menurut informasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik tahun 2019 menyebutkan selama ini yang menjadi ukuran keberhasilan kesetaraan gender dalam pembangunan adalah Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Berdasarkan data statistic tahun 2019 angka IPG Indonesia mengalami peningkatan dari 89,42 tahun 2010 menjadi 90,99 tahun 2018. Sementara angka IDG  68,15 tahun 2010 meningkat tahun 2018 menjadi 72,10. Artinya dalam pembangunan nasional sudah melibatkan peran perempuan sehingga tidak didominasi oleh kaum lelaki. Sedangkan  pemberdayaan perempuan dalam sector ekonomi, politik, mengambil kebijakan serta penguasaan sumberdaya ekonomi sudah meningkat namun belum mencapai tujuan yang diharapkan.


Sementara nilai IPG Jateng tahun 2018 mencapai 91,95 artinya partisipasi perempuan hamper merata dalam pembangunan nasional. Sedangkan nilai IDG tahun 2018 adalah 74,03 artinya partisipasi pemberdayaan perempuan diatas standar normal.  


Tentunya terhadap capaian ini, pemerintah masih berkepentingan untuk lebih meningkatkan program program kesetaraan gender yaitu salah satunya melalui peraturan perundang undangan dan berbagai program perempuan  seperti UU perlindungan anak, UU PKS, UU penghapusan KDRT dan sederet perundang undangan yang bertujuan melindungi kaum perempuan dari berbagai diskriminasi yang telah dicanangkan PBB tahun 1981 melalui konvensi CEDAW, pemberdayaan ekonomi perempuan dan yang paling fenomenal adalah upaya untuk meraih planet 50-50 di tahun 2030 sebagaimana yang tertuang dalam SDGs. Lantas, sudahkan perempuan sejahtera dan berdaya? 


Berbagai inisiatif dan kampanye dengan beragam sasaran sudah diluncurkan untuk mempercepat terwujudnya kesetaraan gender, seperti mendorong partisipasi aktiv perempuan dengan memberikan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam legislative yang memberikan peluang bagi perempuan untuk  memimpin Kabupaten, provinsi bahkan negara, berbagai program pemberdayaan ekonomi perempuan melalui UMKN agar lebih produktif dan berkontribusi dalam pembangunan ekonomi ,dll. Namun  ternyata belum terwujud.  Yang terjadi, justru perempuan semakin menderita, beban hidup semakin berat, peningkatan stress, perceraian,  bunuh diri dan berbagai criminal menjadi tak terbendung.


Di Jawa Tengah Sejak tahun 2013-2017, LRC-KJHAM mencatat terdapat 2.116 kasus kekerasan terhadap perempuan dan dengan 4.116 perempuan yang menjadi korban, 2.222, atau lebih dari 50% di antaranya mengalami kekerasan seksual. Kemudian di tahun 2018 sebanyak 311 perempuan mengalami kekerasan dan 246 atau sekitar 79% diantaranya mengalami kekerasan seksual. Kondisi ini menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada saat ini belum cukup melindungi perempuan korban kekerasan seksual.


Adapun kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Jawa Tengah memasuki triwulan ketiga atau per September 2019, tercatat 888 kasus. Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA), KDRT menyebutkan, sebanyak 305 di antaranya dialami oleh anak-anak, sedangkan 512 lainnya dialami perempuan dewasa. dapaun KDRT di jateng . Sedangkan menurut Kepala Kanwil Kemenag Jateng, Drs H. Moh Ahyani MSi, merasa prihatin masih tingginya angka perceraian yaitu 71.000 tahun 2019 dari pernikahan 300.000 pasangan per tahun. Benarkah kasus kasus diskriminasi yang terjadi pada perempuan disebabkan karena belum terwujudnya kesetaraan gender ?


/ILUSI KESETARAAN GENDER/


Sebagai sebuah ide, sejatinya kesetaraan gender hanyalah sebuah ilusi. Kesetaraan gender, apalagi dalam model UN Women yang mencita citakan Palnet 50-50, mustahil dapat diwujudkan karena bertentangan dengan kodrat manusia. Biang ssesungguhnya dari berbagai persoalan perempuan termasuk kaum lelaki, karena faktanya bukan hanya kaum perempuan saja yang hidup dalam aturan kapitalis sekuler namun kaum lelaki juga menjadi korban system yang rusak dan bertentangan dengan fitrah manusia adalah penerapan system kapitalis sekuler yang rusak dan merusak. 


Kolaborasi antara kapitalisme dengan feminisme berkedok kesetaraan gender sesungguhnya adalah  untuk melanggengkan penjajahan Barat. Dunia Islam digiring dan bahkan dipaksa untuk menerima ide gender. Para muslimah didorong untuk melepas hijabnya melalui gerakan “My Body, My Authority”.


Keharmonisan keluarga muslim dihancurkan melalui UU-PKDRT. Hangatnya relasi orang tua-anak dirusak dengan UU Perlindungan Anak. Kehormatan remaja muslimah diliberalkan dengan UU Kesehatan Reproduksi. Juga banyak UU lain yang sangat berbahaya bagi keutuhan keluarga. 


Sebaliknya, ketika ada upaya menyelamatkan keluarga melalui UU ketahanan keluarga, justru ditolak oleh kalangan feminis karena tugas istri sebagai ummu warabbatul bait dianggap sebuah kemunduran.


Ketika para hijaber mengenakan cadar dengan alasan ketaatan pada Allah Ta’ala, para feminis menyebutnya penindasan dan radikalisme. Pernikahan dini dicerca, tapi zina dibela. Aborsi dibolehkan atas dalih kebebasan reproduksi.


Ide kesetaraan gender yang katanya memanusiakan perempuan justru mengembalikan ke tabiat hewan ketika mereka mendukung ketelanjangan atas nama body positivity atau seni. Kesetaraan gender bahkan membawa perempuan pada derajat lebih rendah dari hewan ketika mendukung hubungan sesama jenis. Pada hakikatnya, ide kesetaraan gender itu merusak perempuan, bukan memanusiakannya, apalagi memuliakannya. Ide ini menjadi alat barat untuk menjaga hegemoninya di dunia Islam. Kebangkitan umat Islam akan membahayakan dominasi barat atas kekayaan alam kaum muslim.


Padahal, kekayaan alam inilah yang selama ini menghidupi barat. Barat kekenyangan di atas kelaparan di Afrika dan Asia. Jika umat Islam sadar atas identitasnya sebagai pemilik sah bumi yang mereka tinggali, kekuasaan Barat tinggal sejarah. 


Demi mencegah kebangkitan Islam, Barat menginjeksi racun kesetaraan gender ke tubuh umat Islam. Mereka menggunakan tangan anak-anak umat Islam sendiri yang telah terliberalkan. Mereka ditopang dana yang besar untuk meracuni saudaranya sesama muslim.


Umat Islam tak boleh tertipu dengan tafsir sesat mereka atas ayat Alquran. Meski mereka membungkus ide gender dengan ayat suci, hakikatnya tetap sama. Ide gender adalah ide kufur, tidak berasal dari Islam. Bahkan ide ini merusak perempuan dan keluarga muslim demi melanggengkan penjajahan barat dan menjauhkan umat Islam termasuk perempuan dari perjuangan utama saat ini yaitu mengembalikan kemuliaan Islam dengan menerapkan syariat Kaffah dalam bingkai Khilafah.


Maka , satu satunya harapan adalah Islam, system hidup yang sempurna  yang diturunkan Allah SWT. Islam telah menetapkan berbagai hukum untuk manusia dalam sifatnya sebagai manusia. Islam juga menetapkan hukum hukum khusus sesuai jenisnya, laki laki dan perempuan. Perbedaan hukum ini bukanlah menjadikan perempuan lebih rendah, karena dalam Islam kemuliaan manusia terletak pada ketaqwaannya kepada Allah. Perbedaan hukum ini, misalnya kewajiban mencari nafkah ada pada laki laki, warisan laki laki dua kali bagian perempuan yang mana justru ini menjamin terwujudnya peran masing -masing sesuai kodratnya. 


Islam juga menetapkan negara sebagai pengatur urusan umat, yang wajib memenuhi kebutuhan umat, laki laki maupun perempuan. Islam memiliki mekanisme sempurna yang menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyat, dan melarang negara menggunakan mekanisme pasar dalam melayani rakyatnya. Justru dalam Islamlah keadilan akan didapatkan. Wallahu a"lam bisshowab. []

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama