Isu Radikalisme Menyasar Film Animasi?





Oleh: Pipit Agustin (Koordinator JEJAK)


Muslimahvoice.com - Kabar menyedihkan datang dari dunia film animasi. Film Nussa dan Rara sekarang tak dapat tayang lagi. Jumat (1/1/2021) kemarin adalah episode terakhir Nussa dan Rara yang bisa disaksikan.


Sesuai kabar yang disampaikan Ustaz Felix di akun Instagramnya, serial anak terfavorit ini tak lagi tayang karena terkendala pandemi. Sejak pandemi menyapa, hampir 70% anggota tim Nussa dan Rara dirumahkan. Bahkan menurut Ustaz Felix ada beberapa orang yang menyatakan kalau Nussa dan  Rara mengandung unsur radikal. Hmm… radikal dari sisi apa coba? (suara.com, 4/01/20).


Dalam penjelasan Ustaz Felix di akun Instagramnya, ada beberapa orang yang menganggap konten Nussa dan Rara termasuk konten radikal. Anggapan ini menambah kesedihan pecinta Nussa Rara berikutnya.


Menghirup napas dalam himpitan sekularisme memang menyesakkan dada. Apa-apa yang berbau Islam sering menjadi pihak tersangka, menjadi kambing hitam. Termasuk isu radikalisme lewat film animasi.


Fitnah ini memang tak boleh dibiarkan liar. Sebab senyatanya, fitnah tetap saja fitnah, yang tidak pernah bertemu buktinya. Karena itu, generasi muslim pecinta Nussa Rara mesti bijak menghadapi serangan fitnah dari kaum pembenci Islam.


Kalau kita lihat, tayangan film kartun atau animasi lain aman-aman saja, meski kontennya tak sesuai dengan usia anak-anak. Bahkan ada beberapa yang jelas-jelas mempertontonkan kepornoan. Benarlah bahwa ini era kapitalistik sekuler. Karakter-karakter alamiah anak tersusupi paham liberal yang kian mengkhawatirkan.


Amat kontras dengan Tayangan Nussa Rara yang membangun segalanya dengan fondasi iman kepada Allah. Sungguh, dua karakter yang berseberangan. Sebutlah Sinchan misalnya, tayangan ini menampilkan adegan jahil, jorok, dan tidak taat aturan. Ide-ide tokoh Sinchan kerap berisi pikiran rada porno, tutur kata kurang sopan, dan perilakunya hobi jahil.


Tak jauh beda dengan ajaran dalam kartun Spongebob, Tom and Jerry atau yang lainnya. Kebanyakan memuat lelucon bodoh yang nirfaedah. Inspirasi? Tidak sama sekali. Tontonan itu sesungguhnya tuntunan jika dibiarkan tanpa pendampingan yang tepat. Sayangnya, pihak penyelenggara tontonan justru leluasa menayangkan sementara keluarga harus mati-matian mendampingi dan menyaring kontennya. 


Tidak menonton sama sekali itu lebih baik. Namun bukan solusi ampuh. Satu-satunya solusi adalah negara turun tangan menyaring konten tayangan agar sesuai dengan karakter anak-anak serta memuat edukasi akhlak mulia.


Nussa Rara selama ini berusaha mempersembahkan tayangan islami. Mengenalkan kehidupan generasi muslim, akhlak Islami, cara hidup penuh adab dan arahan berpikir yang benar sesuai ajaran Islam.


Namun, atmosfer sekularisme telah mengubah kecenderungan anak-anak kita kepada hal-hal yang menyenangkan sesaat, imajiner, khayalan tingkat tinggi, bahkan mistis. Tayangan berbau kekerasan pun kadang-kadang lebih diminati, apalagi tayangan berbau asmara. Anak-anak dan remaja kita telah disetting oleh zaman sehingga makin asing dengan identitasnya sebagai generasi muslim. 


Massifnya ekspor budaya Barat dalam bentuk film ditambah lemahnya penjagaan sistem turut berkontribusi pada mental generasi. Yang sholih dianggap radikal, yang urakan dianggap wajar.


/Lantas siapa yang paling bertanggung jawab dan di mana letak kesalahannya?/


Baratlah yang secara arogan menyebarkan nilai-nilai dan ideologi liberal mereka ke negeri-negeri muslim. Tak hanya itu, Barat juga telah memfitnah Islam sebagai biang radikalisme. Hal ini sebenarnya adalah cara Barat untuk menyembunyikan keputusasaan yang mereka ciptakan pada masyarakat mereka sendiri dan di seluruh dunia. Pada hari ini, Barat tak lagi mampu menyembunyikan kemunduran dan kerusakan peradabannya sendiri.


Sekularisme atau pemisahan agama dari kehidupan adalah sebab paling mendasar kerusakan masyarakat. Selain bertentangan dengan fitrah, sekularisme juga bertentangan dengan akal sehat. Nilai-nilai sekuler gagal menutrisi masyarakat sehingga identitasnya kian kabur. 


Sebagai bagian dari masyarakat, peran ibu berada di pusat peperangan budaya di banyak negara saat ini, termasuk Indonesia. Kaum ibu lah pengemban budaya, pengelola tradisi dan nilai-nilai keluarga, serta benteng terakhir melawan penetrasi dan dominasi budaya Barat. 


Dari sini, kuatnya peran ibu makin terakumulasi dalam masyarakat, berpadu dengan perannya sebagai da'iyah yang senantiasa melakukan koreksi kepada kebijakan publik, termasuk kritis terhadap hadirnya tayangan bagi para buah hati. 


Peran kritis dan strategis ini telah dibangun oleh Islam sejak era diutusnya Nabi hingga 13 abad setelahnya. Tak heran, peradaban Islam ketika itu menjadi mercusuar dunia karena masyarakatnya sehat akal dan jiwanya.


Di balik itu, kita semua merindukan kehadiran negara yang tegas dan bertanggung jawab penuh mengatur tayangan masyarakat sebagai bentuk edukasi non formal. Negara berpegang pada landasan yang shohih dalam mengatur dan melayani masyarakat, yaitu dengan atura bersumber dari wahyu Allah Sang Pencipta manusia, bukan hasil kompromi akal manusia. 


Kesempurnaan Islam telah direkomendasikan oleh Allah untuk dilaksanakan hambanya (Lihat Al-Maidah: 3). Dengan Islam, niscaya kebaikan akan didapat sebagaimana sejarah khilafah pernah merasakannya.[]


#Isu #Radikalisme #Nusa #Rara

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama