Banjir Bandang Kalsel Salah Hujan atau Salah Oligarki?

 



Oleh: Rina Yulistina 

(Kontributor Muslimah Voice) 


Muslimahvoice.com - Diawal tahun 2021 Indonesia dirundung duka setelah jatuhnya pesawat Sriwijaya Air, disusul Gempa bumi dengan Magnitudo 6,2 dengan kedalaman 10 Km yang berpusat di timur laut Majene, Sulbar, dibarengi dengan banjir bandang di Kalsel yang sudah berlangsung hampir satu pekan, merendam ribuan rumah warga dengan ketinggian air antara 2-3 meter.


Ibu pertiwi ditakdirkan oleh Allah berada di daerah tropis dimana rata-rata curah hujan pertahunnya tinggi. Namun apakah banjir bandang di Kalsel murni semata-mata karena curah hujan semata?


Kita pun masih ingat dengan film dokumenter sexy killers yang menghebohkan Indonesia sebelum pemilu dimulai, dimana diperlihatkan kerusakan alam yang begitu berat dampak pertambangan batu bara. Tak cukup disitu saja, film dokumenter besutan watchdoc image pun tak luput mendokumentasi dampak buruk pembukaan lahan perkebunan sawit dalam film Asimentris.


Dampak buruk yang tersaji didalam film tersebut bukan hanya isapan jempol belaka. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) buka suara, bahwa daya dukung lingkungan di Kalsel dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Pihak Walhi bukan asal bersuara, berdasarkan laporan tahun 2020 saja terdapat 814 lubang tambang milik 157 perusahaan batu bara yang masih aktif bahkan ditinggal tanpa reklamasi, belum lagi perkebunan sawit yang mengurangi daya serap tanah. Hampir 50% dari total wilayah 3,7 juta hektar telah dikuasai pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Maka jelas ketika curah hujan tinggi bumi Kalsel tak sanggub menampung.


Inilah fakta nyata yang harus ditelan, kerusakan ekologi yang mengerikan akibat kerakusan perusahaan tambang dan kelapa sawit. Rakyat yang tak pernah merasakan hasil tambang dan sawit  namun harus menerima dampak yang mengerikan ini, sedangakn para pemilik modal  yang memakan triliunan rupiah duduk manis dimeja tanpa tersentuh banjir. Apakah ini adil? Inikah yang diinginkan oleh pemerintah ketika keran investasi dibuka seluas-luasnya?


Lebih dari 70 aturan dirubah dalam UU Cipta Kerja, termasuk UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Kehutanan. Pasal 17 ayat 5 UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang. Ayat ini berbunyi,” dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran sungai.” Batasan minimum 30% dihapus dalam UU Cipta Kerja. 


Potensi alih fungsi kawasan hutan secara masif juga terlihat dari perubahan Pasal 19 ayat 1 UU 41/1999 yang dalam UU Cipta Kerja berbunyi perubahan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah pusat dengan mempertimbangkan hasil penelitian terpadu.


Selain tadi, Pasal 162 UU Minerba atau Pasal 39 UU Cipta kerja, menegaskan bagi tiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang memenuhi syarat-syarat, dipidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp100 juta.


Dari sini jelas kerusakan alam terstruktur dan tersistem. Pemerintah dengan sangat lincah merubah UU Lingkungan Hidup dan UU Kehutanan sesuai dengan permintaan para pemilik modal. Dengan jelas dan gamblang kepada siapa penguasa negri ini berpihak? Kepada rakyatkah atau kepada para investor? Hubungan penguasa dengan para investor bukan datang secara tiba-tiba,  Emil Salim membeberkan dengan gamblang.


Demokrasi yang bersifat terbuka dan bergantung pada pemilu itu sangat mahal, yang kemudian timbul terjadi proses calon-calon mencari dana sumber pembiayaan, kepada pemilik modal," kata pendiri Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Emil Salim dalam seminar dengan tema "Konsolidasi Demokrasi Menuju Keadilan Sosial" di Jakarta, Senin (17/2/2020).


Alhasil perselingkuhan antara pemilik modal dengan penguasa tak bisa dihindari, pemilik modal telah sangat berjasa bagi penguasa untuk mendapatkan tapuk kekuasaan maka sudah saatnya penguasa balas budi kepada pemilik modal, sehingga jangan heran jika kebijakan yang dibuat berupa UU tidak pernah pro rakyat namun pro kepada pemilik modal. Demokrasi yang katanya dari, oleh dan untuk rakyat hanyalah utopis, teori yang sangat absrud yang tak bisa dibuktikan.




Politik oligarki mengepung negri ini selama sistem demokrasi tetap bercokol. Ketua MPR RI Bambang Soesatyo di laman Media Indonesia (17/2/2020) membeberkan, “Jika partai politik dikuasai, maka dia akan menguasai parlemen, jika dia kuasai parlemen maka dia akan kuasai pasar-pasar dan sumber daya alam kita, dan dialah yang berhak mengusung siapa pemimpin kita, presiden kita, bupati kita, gubernur dan walikota, karena sistem yang kita punya."


Akankah kita masih mempertahankan sistem rusak demokrasi? Masih kurangkah penderitaan rakyat sebagai tumbal sistem demokrasi yang rusak dan merusak ini? Tak inginkah kita beralih kepada sistem yang memuliakan manusia? Sistem yang tidak menjadikan hawa nafsu sebagai aturan hidup, sistem yang menjadikan penguasa takut akan jabatannya, sistem yang menjadikan keberkahan tak hanya pada manusia saja namun alam semesta juga merasakannya. Sistem yang barokah hanya ada di dalam sistem Islam. 


Islam tak mengenal politik uang, seorang pemimpin dipilih karena kemampuannya dalam memimpin. Tanggungjawabnya begitu berat di dunia dan akherat, Ia harus menerapkan hukum Syara' dalam pengambilan kebijakan, maka UU yang dibuat murni dari penggalian Al Qur'an, Hadist, Ijma' sahabat dan qiyas bukan atas kepentingan manusia yang berasal dari hawa nafsunya.


Seorang pemimpin harus rela bekerja siang dan malam tanpa upah. Tanpa keimanan dan keikhlasan maka tak akan kuat menjadi pemimpin, karena di dalam sistem islam seorang pemimpin tak ada jaminan menjadi kaya raya dengan jabatannya. Amîrul Mukminîn Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, berkata: “Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan.” 


Maka hanya dengan sistem Islamlah lingkaran setan oligarki mampu diputus, pemilik modal tak akan berkuasa. Sistem ekonomi Islam akan menyingkirkan kapitalisme, tambang tidak akan dieksploitasi dengan liar namun akan dikelola dengan sebaik mungkin oleh negara untuk kepentingan rakyat, maka amdal menjadi prioritas utama oleh pemerintahan Islam. Semua itu hanya ada di bawah naungan Khilafah Rasyidah.


"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”(Surah al-Maidah [5]: 50).[]


*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama