Tutorial Matinya Demokrasi

 



Septa Yunis (Analis Muslimah Voice) 


Muslimahvoice.com - Tayangan yang menggelitik hadir dalam agenda Dijital Event Muslimah Nasional 2020, yang dilaksanakan, Sabtu 26 Desember 2020. Yaa demokrasi, sebuah sistem yang hadir di dunia ini dengan narasi indah. Yang katanya akan mensejahterakan rakyat. Selain itu, juga akan memihak kepada rakyat. Bak pemuda yang sedang merayu pasangannya, demokrasi memberikan janji-janji yang indah, siapapun yang mendengar akan berpihak padanya. Dikatakan dalam demokrasi tidak ada pemerintahan tirani dan represif, sebab pemimpin dipilih langsung oleh rakyat. Juga tidak ada korupsi dan penyelewengan, karena demokrasi punya trias politica, konsep pembagian kekuasaan menjadi tiga lembaga, sehingga akan mengawasi satu sama lain. 


Tidak berhenti disitu, demokrasi juga menjanjikan, semua hak warga negara adalah sama dan dihormati, karena demokrasi menjunjung tinggi pluralisme sosial dan ekonomi. Demokrasi sengaja dinarasikan sebagai negara ideal yang siapapun akan tertarik untuk menerapkannya, dan harus dijaga jangan sampai mati. 


Namun beberapa waktu lalu beredar buku yang ditulis oleh Profesor ilmu pemerintahan dari Harvard University, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt yang berjudul How Democracies Die. Pada buku itu disebutkan bahwa demokrasi bisa mati, dan pembunuhnya adalah penguasa yang terpilih dalam sistem demokrasi itu sendiri.


Dalam buku tersebut dinyatakan pula tidak semua pemimpin memiliki track record represif dan otoriter. Penulis juga memberikan pertanyaan sekaligus Indikator untuk mengetahui apakah sebuah kepemimpinan otoriter yang bisa membunuh demokrasi.


Indikator pertama, penolakan atau lemah dalam  komitmen terhadap aturan main demokrasi baik melalui kata-kata maupun perbuatan. Apakah mereka suka mengubah undang-undang? Apakah mereka melarang organisasi tertentu? Apakah mereka membatasi hak-hak politik warga negara?. Dan Omnibus Law UU Cipta Kerja adalah buktinya. Juga pencabutan badan hukum organisasi masyarakat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan penangkapan anggota Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) saat ingin melakukan aksi menyampaikan pendapat di muka umum yang seharusnya dijunjung tinggi dalam demokrasi.


Indikator kedua, penolakan terhadap legitimasi oposisi, apakah mereka menyematkan lawan politik dengan sebutan-sebutan subvertif mengancam asas dan Ideologi negara? Apakah mereka mengkriminalisasi lawan-lawan politik dengan berbagai tuduhan yang mengada-ada?


Hal ini jika di pertanyaan kepada negeri ini, sudah sangat nyata, beberapa kali penguasa melayangkan tuduhan makar pada aktivitas mengoreksi kerja penguasa. Di samping itu, kriminalasi ulama yang tidak sejalan dengan pemerintahan juga menjadi bukti demokrasi sudah sekarat di negeri ini.


Indikator ketiga, toleransi atau mendorong aksi kekerasan. Apakah mereka memiliki hubungan dengan organisasi para militer yang menggunakan kekerasan dan main hakim sendiri? Pertanyaan ini juga terjawab di negeri ini. Sudah bukan rahasia di negeri ini ada organisasi paramiliter yang suka mempersekusi dan membubarkan pengajian serta bertindak sebagai polisi, jaksa dan hakim sekaligus. Namun penguasa hanya diam.


Indikator keempat, kesiagaan membungkam kebebasan sipil. Apakah mereka mendukung atau membuat UU yang membatasi kebebasan sipil, terutama hak-hak politik dan  menyampaikan pendapat? Apakah mereka melarang tema-tema tertentu? Indikator ini pun nyata terjadi di negeri ini, kengototan RUU HIP dan sertifikasi ulama di tengah pandemi, dan pelarangan penyebaran ajaran Islam Khilafah.


Dari keempat Indikator tersebut, terjawab lengkap. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah di negeri ini adalah otoriter dan represif dan itu bisa membunuh demokrasi. Pelan Tapi pasti pemerintah sendiri telah melenyapkan demokrasi dari negeri ini. Lantas pertanyaannya, ketika Demokrasi itu mati, siapa penggantinya?



#JayaDenganSyariahIslam

#IslamJagaPerempuan

#BerkahDenganKhilafah


*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama