/Perjalanan Peraturan Minuman Beralkohol/
Muslimah-voice.com - Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Achmad Baidowi mengatakan RUU minuman beralkohol merupakan program legislasi nasional prioritas tahun 2020-2024. Partai pengusul RUU ada tiga, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Peraturan ini diusulkan dengan tujuan untuk meminimalisasi dampak buruk dari minuman beralkohol.
Peraturan ini mengalami perjalanan yang cukup panjang dan selalu menimbulkan kontroversial di tengah masyarakat. Peraturan ini sudah ada di zaman Pemerintahan Soeharto, yaitu Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Dalam peraturan ini minuman beralkohol (minol) diklasifikasikan dalam 3 golongan. Golongan A yakni minol yang beretanol 1-5 persen; golongan B dengan kandungan etanol 5-20 persen; dan golongan C dengan kandungan etanol 20-55 persen. Masih dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa minol merupakan barang yang produksi, peredaran, dan penjualannya ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan. Produksi hanya bisa dilakukan dengan izin Menteri Perindustrian; penjualannya dibatasi hanya di hotel, bar, restoran, dan tempat lain yang ditetapkan gubernur. Aturan ini pun melarang produksi secara tradisional kecuali untuk keperluan masyarakat sesuai adat setempat setelah mendapat izin bupati/wali kota.
Dalam perjalanannya, peraturan ini menuai protes sehingga masing-masing kepala daerah dan organisasi masyarakat mengeluarkan peraturan tersendiri yaitu Peraturan Daerah tentang Pelarangan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Pada Peraturan daerah tersebut terdapat hal yang bertentangan dengan Keppres No 3 Tahun 1997. Salahsatu organisasi kemasyarakatan Islam mengajukan uji materiil atas Keppres 3 tahun 1997 dan memohon aturan itu dibatalkan. Mahkamah akhirnya mengabulkan permohonan itu pada 18 Juni 2013 dengan pertimbangan sejumlah aturan yang dijadikan dasar keppres sudah tidak berlaku. Selain itu, keppres itu juga dinilai bertentangan dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan, UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU 7/96 tentang Pangan.
Menindaklanjuti putusan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) 74 tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Berbeda dengan aturan sebelumnya, pada Perpres ini seluruh minuman beralkohol mulai dari golongan A sampai C ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan. Dan kali ini di tahun 2020, RUU tentang minol kembali menuai kontroversi, sebagian masyarakat ada yang menyetujuinya dan sebagian lainnya menolak.
/Kesadaran Masyarakat terhadap Penerapan Syariah/
Kontroversi Rancangan Undang-Undang (RUU) minuman beralkohol di tengah masyarakat dapat dijadikan cerminan atau indikator untuk mengetahui kesadaran masyarakat terhadap Syariah Islam. Mengapa demikian ? karena hukum minuman beralkohol dalam Syariah Islam sudah cukup jelas yaitu haram atau tidak diperbolehkan, dan kaum muslimin memahaminya (al-ma’lum minad-din bidh-dharurah). Lantas mengapa RUU ini masih menjadi kontroversi di tengah masyarakat negeri ini yang mayoritas muslim, yang seharusnya semua sepakat atas pelarangan minuman beralkohol.
Indonesia walaupun penduduknya mayoritas beragama Islam, tetapi hukum dan peraturan yang diterapkan di tengah masyarakat bukanlah hukum Islam (Syariah). Syariat Islam menjadikan tolak ukur dalam kehidupan adalah aturan Halal-Haram. Hal ini berbeda dengan aturan Kapitalis-Sekularis, yang menjadikan tolak ukur adalah keuntungan dan kepentingan. Dimana ada keuntungan maka hal yang bersifat haram pun akan menjadi legal dan dibolehkan, karena memang menganut paham sekularis yaitu memisahkan aspek agama dari kehidupan.
Pertimbangan ekonomi menjadi hal yang paling utama dalam sistem kapitalis-sekularis. Dimana ada permintaan dan penawaran dan disitu terdapat nilai yang menguntungkan maka zat atau bisnis yang harampun akan menjadi legal dan berusaha untuk dilegalkan dengan sejumlah regulasi-regulasi. Walopun untuk zat minol ini sudah jelas aspek-aspek mudoratnya diantaranya dapat mengganggu kesehatan, merusak jiwa dan syaraf otak dan terbukti sebagai pangkal kejahatan atau kriminalitas. Akan tetapi karena kuatnya pertimbangan aspek ekonomi, maka hal tersebut mengalahkan kemudharatan-kemudharatan tadi.
Pekerjaan Rumah (PR) yang panjang bagi para pengemban dakwah di negeri ini untuk memahamkan dan membangkitkan kesadaran umat (masyarakat) terhadap Syariah. Kerinduan sebagian masyarakat akan diterapkan syariah Islam dalam hal ini keharaman minol masih terganjal oleh penolakan sebagian masyarakat lainnya. Kaum muslimin di negeri ini harus menyadari bahwa hanya dengan penerapan syariah secara kaffah lah yang akan membawa kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan di dunia dan akherat, bukan hukum kapitalis-sekularis yang justru akan menjerumuskan manusia dalam kenistaan dan penderitaan. Wallahu alam Bi showab.
Penulis
Mamay Maslahat, S.Si., M.Si.
Dosen di Bogor