Politik Dinasti Rajai Pilkada 2020, Berpotensi Picu Korupsi

 



Oleh: Nurhikmah


Muslimah-voice.com - Pesta demokrasi bergelar Pilkada Serentak 2020 telah usai. Sejak awal pendaftaran calon kepala daerah, telah tercium aroma politik oligarki. Sebuah riset yang dilakukan Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Northwestern, Amerika Serikat, Yoes C. Kenawas menyatakan fenomena dinasti politik meningkat tajam di Pilkada 2020 dibanding 2015 lalu.


Pada 2015 lalu, Yoes mengatakan hanya ada 52 peserta pilkada yang memiliki kekerabatan dengan pejabat. Di Pilkada 2020, ada 158 calon yang memiliki hubungan dengan elit politik.


Menurut Yoes, hal ini tentu mengkhawatirkan bagi demokrasi Indonesia karena ada peningkatan sangat drastis dari Pilkada 2015 ke 2020. Peningkatan lebih sedikit dari 300 persen atau tiga kali lipat penambahannya (CNNIndonesia, 16/12/2020)


Politik Dinasti Picu Korupsi


Hasil hitung cepat Pilkada Serentak 2020 membawa Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution mengungguli lawannya di daerah masing-masing yaitu Solo dan Medan. Putra dan menantu presiden itu berpeluang besar menjadi pemimpin berikutnya untuk dua daerah tersebut (CNNIndonesia, 10/12/2020)


Selain itu, beberapa nama lain di antaranya Hanindhito Himawan Pramana di Pilkada Kediri yang merupakan anak dari Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Selanjutnya, Marlin Agustina yang merupakan istri Walikota Batam, Muhammad Rudi. 


Di Pilkada Serang, ada Ratu Tatu Chasanah calon bupati nomor urut satu. Dia adalah adik kandung mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah sekaligus ipar dari Walikota Tangerang Selatan saat ini, Airin Rachmi Diany. Selain mereka, masih ada sederet nama lain yang memiliki kekerabatan keluarga dengan penguasa.


Kondisi ini kian berpotensi terjadinya nepotisme yang berujung pada perilaku korupsi. Menilik pada data Komisi Pemberantasan Korupsi, sebanyak tiga ratus kepala daerah telah terjerat kasus korupsi sejak diberlakukannya pemilihan kepala daerah langsung pada 2005 lalu.


KPK mencatat, sejak Pilkada langsung diterapkan pada 2005, sudah tiga ratus kepala daerah di Indonesia menjadi tersangka kasus korupsi, 124 di antaranya ditangani KPK (Kontan. co.id, 7/8/2020).


Jika ditelusuri secara mendalam, akar masalah munculnya politik oligarki adalah penerapan sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Kendaraan yang digunakan calon kepala daerah adalah partai politik. Dalam upaya mengenalkan figur calon kepala daerah, partai politik membutuh proses kampanye dengan modal  besar .


Partai politik lebih memilih calon kepala daerah yang sudah memiliki nama dan sudah dikenal masyarakat. Sosok itu biasanya dari keluarga pejabat yang sedang berkuasa. Begitu juga pejabat inkamben masih berambisi untuk melanggengkan jabatan. Maka terjadilah politik oligarki. Selama sistem demokrasi masih diterapkan dalam Pilkada, sulit untuk memutus mata rantai politik oligarki yang menyebabkan tingginya kasus korupsi. 


Untuk itu dibutuhkan sistem alternatif pengganti sistem demokrasi. Sistem Pilkada yang tidak membutuhkan dana besar, jauh dari politik oligarki dan mampu menghasilkan pemimpin daerah berkualitas. 


Sistem Islam Cegah Oligarki dan Korupsi


Untuk mewujudkan pemimpin daerah terhindar dari politik olilgarki dan berkualitas, membutuhkan revolusi perubahan sistem pemerintahan secara menyeluruh. Sistem pemerintahan demokrasi  yang menjadi biang permasalahan munculnya dinasti politik serta pemimpin yang korup harus diganti dengan sistem pemerintahan Islam yaitu sistem khilafah.


Dalam sistem pemerintahan khilafah, kepala daerah disebut sebagai wali untuk tingkat provinsi dan amil untuk tingkat kabupaten. Mereka diangkat oleh khalifah secara langsung dengan pertimbangan majelis wilayah.


Para wali dan amil yang diangkat oleh khalifah harus memenuhi syarat-syarat penguasa yaitu: laki-laki, merdeka, muslim, baligh, berakal, adil dan memiliki kemampuan. Mereka juga dipilih karena ketakwaannya.( Struktur Negara Khilafah, Pemerintah dan Administrasi, hal. 119)


Khalifah wajib mengontrol tugas-tugas para walinya, dengan pengawasan  ketat dan akan meminta laporan dari mereka. Selain pengawasan dari khalifah, wali juga akan mendapat pengawasan dan muhasabah dari majelis wilayah. 


Jika seorang wali melakukan kezaliman  seperti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, majelis wilayah dapat melaporkan kepada khalifah. Dengan pertimbangan dari majelis wilayah, khalifah dapat memberhentikannya. Semoga Allah segerakan khilafah untuk tegak kembali.[]


#Politik #Dinasti 

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama