Muslimah-voice.com - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menunjuk Menko Marves Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan untuk menangani pandemi virus corona di sembilan provinsi prioritas, dengan angka penularan dan kematian yang tinggi. Sembilan provinsi itu adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Papua.
Namun pakar epidemiologi menilai belum ada perbedaan yang signifikan sejak pertama kali kasus positif Covid-19 ditemukan di Indonesia. "Secara epidemiologi enggak ada bedanya sebetulnya, artinya prevalansi kita masih tinggi, positivity rate kita masih tinggi, artinya belum ada perbedaan signifikan selama ditangani Pak Luhut" ujar epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman saat dimintai pendapatnya oleh CNNIndonesia.com, Selasa, (29/9/2020). Dicky juga mengatakan bahwa tren kasus positif masih terus meningkat apalagi diikuti dengan tren kasus kematian yang relatif tinggi.
Mandat yang diberikan Jokowi kepada Luhut sejak 15 September lalu tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Tujuan Presiden Jokowi mempercayainya dalam menangani kasus lonjakan Covid-19 di sembilan provinsi ialah untuk lebih bisa menyinergikan dari segala sektor. Seperti TNI-Polri, pemerintah daerah dan satgas penanganan Covid-19.
Kabid Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane mengatakan, "Harus dievaluasi apakah targetnya tercapai? selain itu bagaimana cara menurunkannya? Jangan sampai mengambil cara mudah, misalnya kita mengurangi pemeriksaan spesimen ke komunitas. Mungkin ya kasus akan turun, tapi bukan itu cara yang terbaik," kata Masdalina.
"Yang terbaik adalah peningkatan testing dengan tepat sasaran, kemudian karantina (isolasi) sehingga mata rantai terputus. Di masyarakat bagaimana supaya terapkan 3M di agar rantai penularan terputus," tambahnya.
Namun faktanya, keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam memberikan mandat kepada Luhut dirasa kurang tepat. Walaupun Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian mengatakan bahwa Luhut dipercaya oleh Jokowi karena selama ini mampu mengeksekusi tugasnya dengan baik.
Namun hal ini tidak tepat jika harus dijadikan patokan ditunjuknya Luhut untuk menangani kasus lonjakan Covid-19 di beberapa daerah. Sebab masalah ini diluar dari kapasitasnya yang tidak sesuai dengan kemampuan sekaligus pengalamannya selama ini. Hingga yang terjadi adalah sebaliknya. Bukan menurun, malah bertambah drastis kasus positifnya.
Jika kita lihat dari segala kebijakan pemerintah selama menangani pandemi ini, nampak jelas bahwa pemerintah lebih berorientasi pada kebijakan kapitalisme. Dimana setiap langkah yang dilakukan pasti selalu memikirkan untung dan rugi. Contohnya saja dari segi penerapan New Normal, yang mana sebenarnya kebijakan tersebut sangatlah membahayakan nyawa rakyat. Dimana masyarakat harus dipaksa untuk hidup normal ditengah wabah yang sedang memanas ini. Lebih parah lagi pemerintah bersikeras untuk tetap mengadakan pilkada walau banyak pihak yang menentang.
Jadi, jika ada pertanyaan apakah kegagalan penangananan kasus covid-19 ini karena salah tunjuk orang atau salah sistem? Jawabannya jelas, kesalahan keduanya. Sistem yang salah, melahirkan orang yang salah menerapkan aturan.
Padahal, dalam sistem Islam sangat memperhatikan bahkan cenderung menjaga sekuat tenaga untuk melindungi nyawa rakyatnya. Jika dalam kapitalisme menjadikan untung dan rugi sebagai tolak ukur kebijakannya. Berbeda halnya dengan Islam, yang menjadikan kemaslahatan ummat sebagai prioritasnya. Karena dengan begitu, bukan saja rakyat akan merasakan hidup aman dan sejahtera. Namun juga Rahmat Allah akan turun bersamaan dengan terkendalinya roda perpolitikan yang menjamin keberlangsungan hidup rakyatnya.
Annisa Nurul Zannah
Mahasiswi Kota Banjar, Jawa Barat