Kontestan Pilkada Banyak Terinfeksi, Tumbal Bagi Demokrasi?






Penulis : Sri Indrianti (Pemerhati Sosial dan Generasi)


Muslimah-voice.com - Hampir satu tahun pandemi Covid 19 melanda negeri ini. Kurva kasus  masih fluktuatif, belum ada tanda-tanda menunjukkan kelandaian. Berbagai problematika derivat dari pandemi pun mengiringi kian membuat kondisi semakin pelik. 


Dilansir dari zonabanten.pikiran-rakyat.com per Selasa 1 Desember 2020 terjadi penambahan kasus baru positif Covid 19 sebanyak 5.092. Sehingga total kasus positif Covid 19 di Indonesia mencapai 543.975. 


Banyaknya kasus terkonfirmasi positif Covid 19 ini tidak lantas menggerakkan pemangku kebijakan menetapkan langkah strategi untuk menekan angka kasus tersebut. Sebaliknya, justru tetap teguh dengan pendiriannya untuk melangsungkan pilkada serentak yang akan diselenggarakan pada 9 Desember 2020. Ambisi demokrasi yang ternyata memicu terjadinya lonjakan kasus Covid 19. 


Klaster pilkada yang menimpa para kontestan calon kepala daerah dan para panitia penyelenggara pemungutan suara (KPPS) kian merebak. Tercatat 70 calon kepala daerah terkonfirmasi positif Covid 19 selama menjalani tahapan di tengah pandemi dengan tiga diantaranya meninggal.  (Cnnindonesia.com, 24/11/2020)


Petugas KPPS pun tak bisa mengelak dari ancaman kasus Covid 19. Ratusan petugas sudah terkena imbas dengan terkonfirmasi positif Covid 19. Namun dengan mudahnya Komisioner KPU, Evi Novida Ginting Manik, mengatakan akan mengganti petugas yang dari hasil tes swab positif. (Jawapos.com, 28/11/2020)


Pernyataan Komisioner KPU tersebut merupakan penyelesaian yang sama sekali tidak menyentuh pada akar permasalahan. Opsi melakukan penggantian petugas merupakan wujud abainya penguasa dalam menyelesaikan persoalan pandemi yang tak kunjung berakhir. Nyawa manusia seakan tiada berarti lagi. 


/Tumbal Demokrasi/


Bukan rahasia lagi demokrasi di negeri ini berbiaya tinggi. Baik biaya penyelenggaraan yang dikeluarkan negara maupun biaya dari pihak calon kepala daerah. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa biaya pilkada serentak 2020 membengkak menjadi Rp 20,46 triliun karena  kebutuhan protokol kesehatan. (Bisnis.com, 22/9/2020)


Sedangkan para calon kepala daerah juga harus merogoh kocek tak sedikit demi suksesi pencalonan. Setidaknya, sembilan calon kepala daerah melaporkan dana awal kampanye menyentuh angka miliaran rupiah. Nominal yang begitu tinggi. 


Selain berbiaya tinggi, demokrasi menuntut pengorbanan lebih dari para pengusungnya. Dalam perhelatan pesta  tersebut banyak tumbal yang dikorbankan demi mewujudkan ambisi demokrasi. Banyaknya kontestan Pilkada dan panitia penyelenggara pemungutan suara yang terkonfirmasi positif Covid 19 membuktikannya. Harta bahkan nyawa diserahkan demi tampuk kekuasaan yang belum tentu dapat diraih. Ditambah lagi ajang tersebut tidak menjamin melahirkan pemimpin berkualitas. 


Tumbal yang berujung pada kesia-siaan yang kelak akan diminta pertanggungjawaban di akhirat. Tumbal yang bagi pemangku kebijakan hanya dijadikan sebagai angka statistik. Tak ada perlakuan istimewa padahal pengorbanan yang diberikan sudah sedemikian besar.


Masih lekang dalam ingatan, Pemilu 2019 lalu  memakan korban dalam jumlah tak sedikit. Total sebanyak 894 petugas KPPS meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit. Tak ada penyelidikan intensif terkait besarnya kasus tersebut. Kesimpulan akhir penyebab kematian dan sakit karena kelelahan akibat banyaknya beban kerja Pemilu 2019.


Semestinya ini dijadikan pelajaran bagi para kontestan yang ingin berlaga dan  masyarakat yang selalu euforia menyambut kepemimpinan baru. Apalagi dalam kondisi pandemi saat ini, tetap diadakannya perhelatan pilkada memicu munculnya klaster baru. 


/Islam Memilih Pemimpin/


Islam tak membutuhkan proses yang ribet dan bertele-tele untuk memilih kepala daerah. Kepala daerah atau jika dalam sistem Islam disebut wali untuk tingkat provinsi dan Amil untuk tingkat kota ditunjuk langsung oleh Khalifah dengan saran dan masukan dari majelis umat dan majelis wilayah. Jika di antara keduanya terjadi perbedaan pendapat maka pendapat majelis wilayah lebih diutamakan karena merupakan representasi daerah.


Sehingga dari sini pemilihan kepala daerah dalam Islam berbiaya murah, efisien, dan berpeluang besar melahirkan pemimpin berkualitas.  Masa jabatan juga tak ada batasannya. Wali dan Amil bisa diberhentikan kapan saja. Sebagaimana yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab terhadap Sa'ad bin Abi Waqash dengan mencopotnya dari jabatannya sebagai Wali Kufah karena Sa'ad pernah terlambat datang dalam mengurus pekerjaannya. 


Semestinya, sistem pemilihan tersebut dijadikan teladan. Terlebih pada kondisi pandemi  tak perlu mengutamakan ambisi demi keselamatan masyarakat. 


Wallahu a'lam bish showab.[]


#Covid #Demokrasi

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama