Kesuksesan Demokrasi Menghantarkan pada Kehancuran Negara



Septa Yunis (Analis Muslimah Voice) 


Muslimahvoice.com - Masih dari Dijital Even Muslimah Nasional 2020 dalam agenda Risalah Akhir Tahun (RATU). Masuk Pemateri kedua yaitu Ustadzah Pratma Julia Surjandaru, S.P. beliau mengulas jawaban dari pertanyaan apakah dengan demokrasi tercapaikah tujuan bernegara ini?


Demokrasi gagal menyejahterakan semua rakyat, dalam setahun, jumlah rakyat miskin bertambah 2 juta orang. Kesenjangan ekonomi luar biasa, kekayaan 4 orang terkaya Indonesia setara dengan pendapatan 100 juta orang miskin Indonesia.  


Demokrasi memang sukses menghantarkan penderitaan ekonomi rakyat, termasuk di antaranya para perempuan, yakni gagal untuk sekedar menjamin hak nafkah bagi perempuan.  Jika syariat Islam memberi jaminan finansial bagi perempuan sepanjang kehidupannya dengan mewajibkan laki-laki menafkahinya, dan negara Islam memastikan pemenuhannya, negara demokrasi justru memaksa perempuan berbondong-bondong memenuhi kebutuhannya sendiri dengan bekerja. Ketika mereka sudah membanting tulang bekerja, menjadi TKW terpaksa meninggalkan anaknya bertahun-tahun, banyak pula yang disiksa atau tidak mendapat gaji karena harus dibayarkan ke agen perjalanan. Atau buruh yang kerja shift malam, yang tidak jarang menderita pelecehan seksual.  Nah, sudah membanting tulang, membahayakan keselamatan, masih juga tidak sejahtera.  Karena yang diuntungkan cuma perusahaannya,  bukan buruh atau rakyat yang cuma jadi konsumen.   


Sedangkan dalam keadilan, hukum hanya tajam bila berhadapan dengan rakyat kecil, yang bukan siapa-siapa. Sementara perusahaan kakap, pejabat penting, atau elit lainnya, bebas.  Menindak yang menyebabkan orang-orang berkerumun saat wabah Covid ini saja, beda kan?   Yang korupsi, hukumannya ringan, penjaranya kayak hotel. Sementara ibu-ibu yang kritis, nahi munkar, cuma komentar di  medsos, hukuman penjaranya lebih lama.  Belum lagi ketidakadilan yang dirasakan  6 ibu yang baru-baru ini harus kehilangan nyawa anak-anaknya dalam kasus penembakan di KM 50 Tol Jakarta Cikampek. 


Negara ini juga hilang kemandirian sebagai bangsa, akibat mengikuti perintah negara-negara adidaya. Dengan dalih kerjasama dengan asing, pemerintah main buka investasi asing.  Modal dari mereka, tapi kekayaan, SDA kita amblas, dirampok. Ditambah, lapangan kerja rakyat pun dirampas TKA.  Belum lagi utang LN,  beli vaksin Covid negara harus berhutang ke LN.  akibatnya, para balita hingga nenek-nenek harus memikul utang negara yang mereka tak pernah memintanya. Tahun ini, tiap orang, termasuk bayi sampai nenek-nenek harus menanggung utang rp 20.5 jt/jiwa. 


Ada pula problem persatuan, ancaman disintegrasi.  Yakni ancaman Papua merdeka yang terjadi karena Mama-mama di sana, Pace dan Mace Papua, tidak pernah merasakan pemerataan pembangunan, padahal Papua adl tanah yang amat kaya.  Ini kan problem persatuan.  Demokrasi yang katanya pluralis, merangkul semua ras, suku dan agama tak ada buktinya.  sementara Khilafah, yang sering dituduh sebagai penyebab permusuhan, intoleran dsb justru berhasil menyatukan hampir 3/4 dunia, yang tentu saja memiliki ribuan  perbedaan, ras, suku bangsa, agama dan bahasa mampu bersatu selama kurang lebih 13 abad.    


Beliau juga menegaskan, DEMOKRASI MUSTAHIL menjadi jalan pembelaan terhadap syariat.  Memang msh banyak kaum muslimin yang berharap parlemen, menjadi anggota DPR/D, DPD atau menjadi kepla daerah, akan menjadi wasilah untuk menegakkan syariat Islam.  Namun ada beberapa alasan yang membuat hal itu tdk mungkin dilakukan.  


Pertama adalah alasan syar'i. Allah melarang mencampuradukkan al haq yakni Islam dengan al baathil yakni demokrasi.  Wa laa talbisul haqqa bil baathil wa taktumul haqqo wa antum ta'lamuun, Dan janganlah kalian campuradukkan kebenaran degn kebatilan dan janganlah kalian sembunyikan kebenaran, sedangkan kalian mengetahuinya, dmk QS Al Baqoroh ayat 42. Dan Rasulullah SAW, tidak pernah mencontohkan perbuatan spt itu. Sehingga bukan pada tempatnya mendiskusikan atau saling memperdebatkan masalah itu. 

 

Yang kedua, secara realitas, kenyataannya hingga hari ini, tidak ada satupun parpol yang mampu memperjuangkan Islam lewat jalur demokrasi. Sahabat muslimah masih ingat polemic UU Anti Pornografi?  Perjalannanya panjang. Awalnya DPR mulai mengajukan rancangan UU Anti Pornoaksi dan Anti Pornoaksi.  Gagal masuk prolegnas. Baru tahun 2005 masuk Prolegnas prioritas. 2006 dibentuk Pansus, baru 2008 disahkan. Itupun dengan mengurangi banyak hal hingga Cuma menjadi RUU Pornografi.  Spirit mengeksiskan syariat gagal, karena media termasuk partai sekuler, sudah mati-matian menolak dari awal.  Baru-baru ini juga RUU Minol, yang saya yakin, dibuat sbg tanggung jawab anggota DPR atas desakan para pemilihnya, kaum muslimin untuk membuat aturan yang melarang miras.  Tapi harapan untuk disahkan, tipis.  Padahal di pasal 8 sudah mentoleransi boleh dagang miras di tempat wisata, dsb.  Padahal Allah sudah tegas mengharamkan khamr, gak pakai tapi.  Kalau pakai system demokrasi, sudah pakai tapi – disesuaikan dengan maunya perusahaan atau kelompok sekuler. Jadi siapa sesungguhnya yang dipatuhi? Siapa yang patut menentukan halal haram?   

  

Alasan ketiga, bila disorot dari latar belakang kelahiran demokrasi.  Demokrasi ini kan lahir dari upaya memisahkan agama dari sistem pemerintahan. Lalu bagaimana mungkin sistem sekular, yang meniadakan peran agama dalam kehidupan akan memberi ruang bagi syariat untuk ditegakkan? Agama boleh dianut, tapi cuma untuk ibadah. Begitu kritik pemerintah, apalagi mendakwahkan Khilafah, itu dilarang. Kriminalasi ulama, aktifis, pembubaran ormas Islam, memburukkan konsep Khilafah dan sebagainya.


#JayaDenganSyariahIslam

#IslamJagaPerempuan

BerkahDenganKhilafah


*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama