Oleh: Endah Sulistiowati (Dir. Muslimah Voice)
Muslimahvoice.com - Tahun 2020 sudah diujung pergantian tahun, selangkah lagi Indonesia menuju tahun 2021. Kita tahun, tahun 2020 ini adalah tahun yang cukup berat bagi Indonesia dan seluruh rakyatnya. Gempuran pandemi covid-19 telah melumpuhkan Indonesia diberbagai sektor, sebagai soko guru tegaknya sebuah negara tak mampu menggeliat bangun.
Jumlah positif virus corona (Covid-19) di Indonesia bertambah 7.000 kasus per hari. Dengan demikian, total kasus positif Covid-19 hingga hari ini mencapai 692.838 orang. Sementara, total pasien Covid-19 yang meninggal dunia mencapai 20.589 orang atau lebih dari 150 orang per hari.
Sementara itu, semua carut marut permasalahan di negeri ini makin memperpuruk keadaan. Demokrasi yang digadang-gadang sebagai sistem terbaik tidak mamyelesaikan masalah ini. Bahkan Indonesia semakin terpuruk. Hal ini membuat ummat yang sadar akan kondisi ini menganggap pandemi ini semakin meniscayakan kegagalan demokrasi dan mengantarkan demokrasi pada kehancurannya.
Sehingga dari problematika yang terjadi di Indonesia, setidaknya ada beberapa point yang akan kita bahas dalam makalah kali ini, yaitu:
1. Bagaimanakah kondisi demokrasi di Indonesia pasca pandemi?
2. Faktor apa sajakah yang mengantarkan kegagalan demokrasi?
3. Mampukah Indonesia melepaskan diri dari cengkraman demokrasi?
Demokrasi Memburuk, Indonesia Makin Terpuruk
Akhir tahun 2020 ini, maka genap 10 bulan Indonesia diserang pandemi covid-19. Indonesia yang notabene menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan, ternyata tidak mampu menghentikan gempuran pandemi. Akibatnya kepercayaan publik kepada demokrasi mengalami penurunan. Hasil survei Indikator Politik Indonesia di 2020 adalah 36 persen responden menyatakan demokrasi di Indonesia melemah.
Bukti dan fakta sudah terpampang di depan mata, kita coba kupas satu demi satu :
1) Dari aspek peraturan yang berujung pada timbulnya diskriminasi, kekerasan dan ketidakadilan. Saat masyarakat disibukkan dengan pandemi, negara mengesahkan UU minerba, menaikkan iuran BPJS, iuran Tapera, dan UU Omnibus Law ciptaker. Bahkan RUU HIP diselundupkan untuk disahkan. Semua aturan tersebut jelas semakin melengkapi penderitaan rakyat di tengah pandemi.
2) Korupsi. Korupsi tidak segan dilakukan. Di awal 2020, KPK melakukan pengusutan suap yang melibatkan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan dan Harun Masiku. Hingga akhir tahun 2020 ini, Harun Masiku masih belum bisa ditangkap.
Selanjutnya terjadi korupsi ekspor benur. KPK melakukan OTT kepada Edhy Prabowo yang waktu itu sebagai Menteri KKP. Selang beberapa waktu kemudian, Mensos Juliari Batubara ditangkap KPK. Mensos Juliari terlibat korupsi dana bansos Covid-19 untuk masyarakat. Bahkan disebut-sebut, Gibran juga terlibat khususnya di pengadaan goodi bag bansos.
Selain itu, tercatat sekitar 300 kepala daerah yang tersandung korupsi. Tentunya tidak mengherankan di tahun 2020, Indonesia dinobatkan menempati rangking 3 sebagai negara terkorup di Asia. Belum ditambah kasus Mega korupsi Jiwa Sraya, Asabri dan lainnya. Dan anehnya, negara harus membail-out Jiwa Sraya dengan dana segar. Uang rakyat untuk mengganti uang rakyat. Para koruptor berpesta pora.
Bahkan masyarakat terpaksa turun jalan menolak RUU HIP. Hasilnya pembahasan RUU HIP hanya ditunda di prolegnas 2020. Begitu pula, berbagai elemen serikat pekerja turun jalan menolak UU Ciptaker. Akan tetapi, suara rakyat yang disebut suara Tuhan dalam demokrasi tidak digubris. Kepentingan oligarki di atas rakyat.
3) Kemiskinan. Pandemi Covid-19 berdampak kepada kondisi sosial masyarakat, seperti risiko peningkatan kemiskinan dan pengangguran. Berdasarkan simulasi LPEM FEB UI diketahui, ada sepuluh sektor dengan peningkatan kemiskinan tertinggi, terutama sektor pertanian atau pangan sebesar 18,1 persen. LPEM UI juga merangkum beberapa skenario yang menghitung ancaman kenaikan jumlah orang miskin dari sejumlah lembaga. Jumlah orang miskin diestimasi bervariasi antara 27,7 juta jiwa hingga 31,6 juta jiwa. Sementara itu, baseline per Maret 2020 pada kisaran 26,2 juta jiwa. Sebelum pandemi virus Corona melanda, tren laju angka kemiskinan di Indonesia terus menurun. Saat ini, Bappenas terus bergerak melakukan penganggaran, pemantauan, evaluasi, dan analisis kemiskinan yang dijalankan secara terpadu menggandeng pemerintah daerah.
4) Ketidak seriusan dalam menangani pandemi. Lihat saja alokasi dana Covid-19. Dana Covid-19 yang berkisar dari 700 hingga 800 trilyun rupiah, alokasi paling besar adalah untuk PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional). Realitasnya pertumbuhan ekonomi itu diukur dari sehatnya dunia usaha. Jadi ujung-ujungnya korporasi yang dinomorsatukan.
Pada waktu besaran dana Covid-19 adalah Rp 405 trilyun. Alokasi PEN sebesar Rp 330,1 trilyun. Sedangkan alokasi kesehatan hanya sebesar Rp 75 trilyun. Sedangkan waktu dana Covid-19 naik menjadi Rp 677,20 trilyun. Alokasi PEN sebesar Rp 589,65 trilyun. Alokasi kesehatan hanya Rp 87,55 trilyun.
Mirisnya anggaran untuk kesehatan baru terealisasi sekitar 20 trilyun di bulan september saar dana Covid-19 sebesar Rp 677,20 trilyun. Anehnya lagi untuk tes Rapid, actigen dan Swab, rakyat harus membayar secara mandiri. Harga Rapid test antara Rp 150-200 ribu. Sedangkan tes actigen dikenakan sekitar 100 hingga 200 ribu rupiah
Empat poin diatas baru sekelumit fakta di tahun 2020 atau populer dengan tahun pandemi, namun sudah cukup untuk memkonfirmasi bahwa demokrasi di Indonesia tengah menunjukkan wajah aslinya. Lagipula demokrasi juga telah menunjukkan kesuksesannya dalam membagi-bagi kekuasaan tapi gagal mewujudkan kesejahteraan.
Faktor yang Mengantarkan Kegagalan Demokrasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi melemahnya Demokrasi berasal dari semua lini kehidupan. Namun jika kitarik benang merahnya ada dua faktor penting yang mengantarkan demokrasi pada kegagalan, yaitu:
Pertama, aturan yang ada dalam demokrasi dibuat oleh manusia. Sehingga aturan yang ada dalam demokrasi tidak berasal dari Sang Pencipta, padahal Allah-lah yang paling tahu apa yang dibutuhkan oleh manusia.
Kita tahu manusia itu memiliki banyak keterbatasan, aturan yang dibuat tambal sulam. Sesuai dengan kepentingan penguasa. Sehingga tidak bisa mengantarkan pada kesejahteraan.
Kedua, demokrasi berselingkuh dengan kapitalisme. Biaya demokrasi yang mahal memaksa para pemain di demokrasi jika ingin menjadi penguasa/pemimpin harus mengeluarkan biaya yang tinggi, baik dari dana pribadi ataupun penyokong. Sehingga ketika menjadi penguasa bukan lagi memikirkan bagaimana kesejahteraan rakyat tapi bagaimana balik modal dan terbayar utang budi pada para penyokong.
Penyalahgunaan kekuasaan memang menjadi penyakit bawaan Demokrasi. Betapa tidak?! Tatkala seseorang harus mengeluarkan modal yang besar untuk menduduki posisi kekuasaan, maka pola pikirnya saat berkuasa adalah minimal balik modal. Pilpres, pileg, dan adalah pesta mahal demokrasi yang menandai transaksi modal dan keuntungan dalam sebuah jabatan.
Dua hal tersebut diatas lah yang semakin membuat demokrasi terpuruk. Ditambah lagi terkikisnya kepercayaan terhadap penguasa membuat demokrasi semakin sekarat. Sehingga kematian tinggal tunggu waktu saja.
Demokrasi Mati Terbitlah Abad Khilafah
Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia. Secara geografis posisi Indonesia sangat menguntungkan baik dari segi ekonomi maupun politik. Sehingga ketika perlahan demokrasi mulai di tinggalkan maka harus ada sistem lain yang ditegakkan, sehingga bisa benar-benar keluar dari cengkraman demokrasi.
Ummat Islam memiliki sistem Khilafah sebagai bentuk pemerintahan yang akan menerapkan aturan-aturan Islam (syariat) secara sempurna. Jika ummat menginginkan Khilafah ini, maka harus ada kesadaran penuh atas pemahaman bahwa Khilafah adalah ajaran Islam.
Apalagi Khilafah adalah satu-satunya institusi yang bisa menerapkan syariat Islam, sehingga ini adalah amanah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wassalam kepada ummatnya. Serta perintah langsung dari Allah agar kita menegakkan setiap aturan yang ditetapkan-Nya.
Allah berfirman dalam surat Al A'raf ayat 40:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?
Matinya demokrasi adalah sebuah keniscayaan, sehingga perlu bagi ummat Islam memiliki keyakinan penuh atas bisarah Rasulullah dalam sebuah hadist:
Dari Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Kami sedang duduk di dalam Masjid bersama Nabi saw, –Basyir sendiri adalah seorang laki-laki yang suka mengumpulkan hadits Nabi saw. Lalu, datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyaniy seraya berkata, “Wahai Basyir bin Sa’ad, apakah kamu hafal hadits Nabi saw yang berbicara tentang para pemimpin? Hudzaifah menjawab, “Saya hafal khuthbah Nabi saw.” Hudzaifah berkata, Nabi saw bersabda, “Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa Kekhilafahan ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa raja diktator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya. Kemudian, datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, beliau diam” (HR. Imam Ahmad)
Berdasarkan hadits ini, jelaslah bahwa penyebutan sistem pemerintahan Islam sebagai sistem khilafah adalah penyebutan dengan hadits. Bukan Istilah yang dibuat oleh para ulama. Meski demikian, sebuah istilah tentu tidak harus secara langsung menggunakan lafadz dalam nash. Hadits ini juga merupakan kabar gembira akan berdirinya khilafah di masa yang akan datang.
Dan masa itu makin hari makin dekat. Kita tidak bisa memungkirinya. Sehingga ummat Islam butuh kerja keras untuk mewujudkannya. Karena medali kejuaraan itu akan diberikan kepada para pemain bukan kepada penonton. Kita tinggal pilih mau di posisi mana, dan pilihan kita inilah yang akan menentukan dengan cara apa kita akan menghadap Allah kelak.
Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan (kepada Khalifah), niscaya ia akan menemui Allah kelak pada Hari Kiamat tanpa memiliki hujjah. Siapa saja yang mati, sementara tidak ada baiat (kepada Khalifah) di pundaknya, maka ia mati seperti kematian jahiliah (HR Muslim).
#LamRad
#KamiBersamaProfSuteki
#LiveOppresedOrRiseUpAgaints
.
.