Benarkah Sekolah Kependudukan Solusi Bagi Permasalahan Putus Sekolah dan Stunting?

 


Oleh: Rina Yulistina


Sekolah dengan program siaga kependudukan telah dilakukan sejak beberapa tahun silam di seluruh pelosok negeri baik di Pulau Jawa hingga diluar Pulau Jawa, hingga saat ini program sekolah siaga kependudukan masih berlangsung. Di tahun 2020 Jawa Timur getol menerapkan siaga kependudukan, telah terbentuk sebanyak 92 sekolah siaga kependudukan salah satunya ada di Magetan dengan menggunakan dana Pemda. 


Siaga kependudukan ini dilatar belakangi oleh rata-rata lamanya sekolah penduduk di Jawa Timur masih di angka 7 tahun artinya kurang lebih rata-rata pendidikan di Jatim hanya jenjang SMP, selain itu 27,6% penduduk masih masuk kategori stunting. (kominfo.jatimprov.go.id 25/11/2020)


Sedangkan secara nasional Dari data yang dimiliki Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) ditahun 2019,  jumlah anak usia 7-12 tahun di Indonesia yang tidak bersekolah berada di angka 1.228.792 anak. Untuk kategori usia 13-15 tahun di 34 provinsi, jumlahnya 936.674 anak. Sementara usia 16-18 tahun, ada 2.420.866 anak yang tidak bersekolah. Sehingga secara keseluruhan, jumlah anak Indonesia yang tidak bersekolah mencapai 4.586.332.


Sedangkan kasus stunting yang dimuat dilaman (kemenkes.co.id 9/04/2018) Prevalensi stunting Indonesia berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) 2016 mencapai 27,5 persen. Menurut WHO, masalah kesehatan masyarakat dapat dianggap kronis bila prevalensi stunting lebih dari 20 persen. Artinya, secara nasional masalah stunting di Indonesia tergolong kronis, terlebih lagi di 14 provinsi yang prevalensinya melebihi angka nasional


Ternyata ditahun berikutnya yaitu 2017 kasus stunting masih snagat tinggi menurut data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K),  prevalensi stunting Indonesia menempati urutan kelima terbesar di dunia. Dari 159 juta anak yang stunting di seluruh dunia, 9 juta di antaranya tinggal di Indonesia. (kompas.com 11/07/2020)


Ditahun 2019 Hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) menunjukkan bahwa prevalensi stunting mencapai 27,67 persen. Artinya, setiap 10 anak Indonesia, ada 3 orang di antaranya yang mengalami stunting. (kompas.com 23/7/2020)


Maka bisa dilihat bahwa kasus putus sekolah dan stunting dari tahun ketahun menunjukan angka yang terus melonjak, padahal program siaga kependudukan telah berdiri sejak 2015 silam tentunya telah banyak anggaran yang telah dikeluarkan. Namun sangat disayangkan keberadaan sekolah siaga kependudukan yang diharapkan menjadi role model perbaikan kependudukan hanya mempelajari perihal: komposisi penduduk, kualitas penduduk, mobilitas penduduk, dan segala hal yang menyangkut kependudukan. Jika solusi yang ditawarkan kepada siswa dengan mata pelajaran seperti itu takutnya kedepannya hanya akan menjadi teori tanpa menyentuh subtansi permasalahannya sama sekali.


Jika kita lihat kembali latar belakang permasalahan bila diversuskan dengan langkah solusi mata pelajaran sekolah kependudukan terlihat kurang nyambung dengan permasalahan yang dihadapi. Ketidak nyambungnya permasalahan dengan solusi bisa jadi disebabkan kurang jeli melihat permasalahan yang ada. Yang menjadi pertanyaan kenapa solusi yang ditawarkan seperti itu? Padahal ini adalah program nasional artinya pasti ada para ahli dibaliknya yang tentu ketika mengambil keputusan sekolah kependudukan menggunakan pertimbangan yang sangat matang. 


Ketika permasalahan putus sekolah dan stunting disolusi dengan kependudukan bisa jadi sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang kapitalisme yang menilai bahwa pertumbuhan penduduk merupakan sumber permasalahan putus sekolah dan stunting, mengambil konsep pada teori Malthus yang menggambarkan  bahwa "pertambahan penduduk akan mengikuti deret ukur dan pertambahan bahan makanan mengikuti deret hitung." Artinya, pertambahan penduduk jauh lebih cepat dari pertambahan bahan makanan. Pada akhirnya banyak terjadi stunting, putus sekolah, kriminalitas dan lain sebagainya. Oleh sebab itu pertumbuhan penduduk harus ditekan lajunya agar tidak menjadi bencana. 


Padahal jika ditelisik lebih dalam terjadinya stunting, putus sekolah, dan lain sebagainya bukan disebabkan oleh tingginya pertumbuhan penduduk namun tidak adanya distribusi kekayaan yg merata sehingga tidak seluruh masyarakat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, pada akhirnya terjadi stunting dan putus sekolah. Fakta dilapangan tersebut menampar Bank Dunia yang mencatat GNI per kapita Indonesia di tahun 2019 sebesar US$ 3.840 yang memasukan Indonesia di kelompok negara berpendapat menengah atas.


Bisa kita simpulkan tingginya pendapatan perkapita suatu negara tidak serta merta mencerminkan kesejahteraan rakyatnya. Karena memang satu orang kaya raya mampu menutup jutaan rakyat miskin seperti itulah kerja sistem ekonomi kapitalis yang hanya fokus pada percapaian angka semata tanpa melihat perindividunya. Akibatnya jurang antara si miskin dengan si kaya semakin lebar. Maka selama sistem kapitalis ini diterapkan maka permasalahan putus sekolah dan stunting akan terus menggurita.

Solusi yang tepat untuk menghentikan gurita putus sekolah dan stunting yaitu membuang kapitalisme dalam percaturan ekonomi baik di Indonesia maupun dunia. Dan mengambil sistem alternatif yang berasal dari sang pencipta. Yaitu sistem Islam, Islam memiliki solusi yang khas yang tidak dimiliki oleh sistem kapitalisme maupun sistem sosialisme komunisme. Di dalam islam kebutuhan dasar harus dipenuhi oleh negara, negara wajib memberikan pendidikan gratis, kesehatan gratis dan fasilitas umum lainnya secara gratis dan berkualitas. 


Sedangkan kebutuhan pokok negara berkawajiban memastikan bahwa konsumen tidak dirugikan akibat ulah para tengkulak yg menimbun bahan pokok yg menyebabkan kelangkaan barang, sehingga aktivitas jual beli bisa berjalan lancar tanpa kecurangan dengan keridhoaan antara pembeli dan penjual. 


Selain itu negara juga memiliki kewajiban untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi para wali untuk menafkahi keluarganya. Bagi masyarakat yang ingin membuka bisnis pun negara wajib hadir untuk membantunya memberikan modal dengan tanpa riba dan memberikan pasar untuk produk-produknya. Dengan seperti itu setiap individu memiliki kesempatan yang sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga pendistribusian kekayaan pun bisa merata dan tidak mengendap hanya pada orang kaya saja.


Tanggungjawab negara yang begitu besarnya bisa diterapkan apabila negara menerapkan sistem ekonomi Islam sehingga kekayaan SDA Indonesia bisa dikelola dengan maksimal untuk kepentingan masyarakat bukan malah diobral untuk para investor asing maupun aseng. Sumber pendanaan bisa pula diambil dari sumber lain seperti zakat, khoroj, jizyah, fa'i, ghonimah, 'ursy.


Sangat jelas bahwa solusi untuk mengatasi stunting maupun putus sekolah baik di Jatim maupun Nasional bukan sekolah siaga kependudukan namun harus disolusi secara sistemik dengan penerapan Islam secara kaffah dengan menerapkan sistem pendukung lainnya seperti perpolitikan, pemerintahan, pendidikan, kesehatan, hukum dan lain sebagainya dan hal tersebut hanya bisa terjadi jika dibawah naungan Khilafah.


#Kependudukan #Stunting

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama