Oleh Diana Wijayanti (Pejuang Literasi Palembang)
Muslimah-voice.com - Tidak banyak orang tahu bahwa Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) secara resmi menetapkan bahasa Arab sebagai bahasa internasional pada tanggal 18 Desember 1973. Selanjutnya, setiap tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Bahasa Arab Sedunia.
Di Indonesia, Peringatan acara Hari Bahasa Arab Sedunia kali ini, diselenggarakan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta secara daring. Acara ini dihadiri wakil presiden Makruf Amin. Antaranews.(18/12/2020)
Sungguh menyedihkan, meski ada hari Bahasa Arab Sedunia, saat ini kaum muslimin jauh dari bahasa Arab. Bahasa Arab kini dikerdilkan diganti dengan Bahasa Inggris sebagai bahasa dunia, karena Amerika Serikat, sebagai negara adikuasa berbahasa Inggris. Meski sejak tahun 1973 dibuat hari Bahasa Arab Sedunia, namun 'power' bahasa Arab belum bisa kembali, masih sebatas ceremony.
Padahal sejak Rasulullah Saw hijrah ke Madinah al Munawarah, bahasa Arab berperan penting sebagai bahasa persatuan 'Daulah' (Negara) Islam. Ketika wilayah negara Islam makin meluas hingga keluar jazirah Arab, kebutuhan penyatu antar warga negara sangat mendesak. Salah satu alat pemersatu itu adalah penggunaan bahasa Arab untuk berkomunikasi antar warga negara. Pemakaian bahasa Arab ini berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama, lebih dari 13 abad.
Selain bahasa persatuan, bahasa Arab adalah permata (bahasa) Islam karena sumber hukum Islam yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw, 'nota bene' berbahasa Arab. Wal hasil, bahasa Arab harus dipahami seluruh warga negara agar mampu memahami hukum Islam yang menjadi perundang-undangan. Kejayaan Negara Islam yang sangat luar biasa ini membuat bangsa Romawi iri, hingga melancarkan perang Salib.
Sejak terjadi perang Salib antara kaum muslimin dengan orang kafir dari Romawi, mereka heran kenapa kaum muslimin tak bisa dikalahkan? Kekalahan itu akhirnya mendorong mereka mempelajari Islam, untuk dicari titik lemahnya. Mereka dikenal sebagai kaum orientalis dan kaum misionaris.
Sampailah pada kesimpulan bahwa kekuatan Islam itu pada ideologi Islamnya dan kaum muslimin yang mengembannya.
Pertama, Ideologi Islam sangat komprehensif mengatur seluruh aspek manusia dengan pengaturan sempurna, tak ada cacat sedikitpun, karena diturunkan oleh Allah SWT Dzat Yang Maha Mengatur dan Maha Sempurna. Sehingga seluruh persoalan manusia bisa diselesaikan dengan tuntas tanpa menimbulkan masalah baru.
Kedua adalah ada pada diri kaum muslimin yang mengemban ideologi itu. Individu, masyarakat dan negara yang mengemban ideologi Islam menjelma menjadi negara adidaya. Wilayahnya semakin luas hingga meliputi dua per tiga dunia.
Oleh karena itu untuk mengalahkannya, ideologi Islam harus dirusak, dan kaum muslimin harus dijauhkan dari nilai-nilai Islam yang shahih.
Upaya pelemahan itu adalah dengan mengubah nash-nash Al-Quran, nash-nash Hadits dan menjauhkan bahasa Arab. Awalnya usaha mereka gagal karena banyak kaum muslimin yang paham betul isi Al-Quran dan Hadits Rasulullah yang shahih. Namun seiring waktu para ulama banyak yang sudah wafat, pemahaman kaum muslimin yang rendah membuat orang kafir itu berhasil merusak Islam dengan banyaknya Hadits palsu dan bahasa Arab ditinggalkan.
Dari sisi kelemahan pemahaman bahasa Arab saja berakibat sangat parah yaitu sulitnya kaum muslimin menyelesaikan masalah karena tidak mampu berijtihad. Jauhnya Bahasa Arab membuat salah satu syarat ijtihad tidak terpenuhi. Ada tiga Syarat berijtihad : harus paham fakta yang akan dihukum, paham dalil syara' dan paham bahasa Arab. Bahasa Arab adalah ilmu alat dalam menggali hukum terhadap persoalan yang dihadapi manusia.
Walhasil kaum muslimin tidak mampu lagi menyelesaikan persoalan akibat tidak bisa berijtihad. Sementara futuhat terus dilakukan oleh negara Islam, benturan peradapan pun terjadi. Banyak sekali paham-paham asing yang harus di kaji, adakah kesesuaiannya dengan Islam? Jika sesuai dengan Islam akan dibiarkan berkembang. Namun jika bertentangan dengan Islam harus dibuang dan diluruskan.
Namun kelemahan kemampuan untuk memilah dan memilih membuat umat terombang ambing tanpa arah dan petunjuk yang jelas dari al Qur'an dan al Hadits. Pun akhirnya Daulah Islam yang ditegakkan pertama kali oleh Rasulullah Saw dan dilanjutkan oleh para khalifah, runtuh pada 3 Maret 1924 Masehi.
Sejak saat itu, bahasa Arab nyaris hilang dari peredaran dunia. Peradaban Barat telah menghapusnya dari benak kaum muslimin hingga saat ini.
Oleh karena itu perlu upaya yang sangat keras dari seluruh kaum muslimin untuk mengembalikan keistimewaan bahasa Arab dalam kehidupan, menuju kebangkitan. Tanpanya mustahil kaum muslimin kembali jaya dan menjadi negara super power.
Namun sayang, ditengah kesadaran kaum muslimin bangkit untuk mempelajari bahasa Arab, ada pihak-pihak yang tidak menghendaki bahasa Arab dikaji secara struktural (memahami ilmu nahwu, sharaf, dan balaghah). Sejak tahun 2020 upaya permusuhan terhadap Islam kian 'kentara' dan sistematis dengan regulasi negara.
Seperti apa yang baru-baru ini dicanangkan pemerintah agar menekankan pelajaran bahasa Arab dari sisi percakapan saja (Muhadasah) bukan secara strukturalnya hingga mampu memahami Nash syara'. Tentu saja kebijakan ini harus ditolak oleh kaum muslimin.
Mengembalikan Bahasa Arab sebagai Permata Islam
Pelajaran bahasa Arab harusnya menjadi kurikulum wajib dalam sistem pendidikan dasar dalam negara. Proses belajar mengajar pun harus dilandasi pemahaman tentang peran penting bahasa Arab dalam menjaga kemurnian ajaran Islam.
Maka konsep pembelajaran bahasa Arab yang dicanangkan beberapa waktu lalu oleh Kementerian Agama justru bertentangan dengan peran penting bahasa Arab untuk kembali kepada Al-Qur'an. Kemenag mengubah materi bahasa Arab dengan lebih menekankan pada pendekatan fungsional daripada struktural.
Artinya, kurikulum yang baru lebih menekankan pada aspek muhadatsah-nya, yakni target pencapaian dibatasi sebagai alat komunikasi saja. Sementara aspek mendasar dari bahasa Arab, yaitu sisi nahwu, sharaf, balaghah dan lain-lain hanya diberikan sekadarnya.
Sesungguhnya hal ini sangat berbahaya bagi umat. Karena aspek kebahasaan yang tidak difokuskan justru merupakan faktor yang sangat penting untuk dipelajari dan menjadi alat bagi seorang mujtahid untuk memahami dan menggali hukum Islam dari sumber aslinya, yakni Al-Qur'an.
Lebih dari itu, pembelajaran bahasa Arab harus memiliki ruh di dalamnya. Dalam hal ini, pelajar harus menyadari bahwa ilmu nahwu dan sharaf yang dipelajarinya tak ada artinya jika tidak dalam rangka penerapan ajaran Islam dalam kancah kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sebab syariat Islam hanya bisa ditegakkan di muka bumi dengan cara mempelajari dan memahami bahasa arab. Seruan untuk kembali kepada Al-Qur'an dan dan As-Sunnah pada hakekatnya adalah mengajak untuk kembali mempelajari Jurumiyah, Mulhah, Alfiyah, Kafiyah, dan lain-lain.
Abu Bakar bin Abi Syibah menyatakan, “Kami telah diberitahu oleh ‘Isa bin Yunus dari Tsaur dari ‘Umar bin Yazid berkata, Khalifah ‘Umar telah menulis surat Abu Musa al-Asy’ari. Ra.
“Amma ba’du, perdalamlah as-Sunnah, dan perdalamlah bahasa Arab, Kuasailah Bahasa Arab karena Al-Qur’an adalah kitab berbahasa arab.” Dalam riawayat lain, “Pelajarilah bahasa arab, karena bahasa Arab itu bagian dari agama kalian. Pelajarilah berbagai kefardhuan, karena iapun bagian dari agama kalian.”
Saatnya mengembalikan bahasa Arab menjadi permata Islam yang harus dijaga kemurniannya. Serta menjauhkannya dari paham-paham moderasi yang ujung-ujungnya adalah kebebasan. Wallahu a'lam bish-shawwab.
#BahasaArab