_Oleh : Riris Restiti_
Kondisi Indonesia dan dunia pada umumnya mengalami berbagai macam krisis baik krisis ekonomi, krisis kepercayaan, krisis keamanan dan krisis kesehatan saat pendemi. Ekonomi global yang mengalami kontraksi minus 5,2% pada pertengahan tahun ini dan bayangan belum tertangani nya pendemi yang pasti juga berdampak pada banyak sektor, bahkan juga Indonesia yang saat ini masuk kedalam resesi. Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri telah merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal III 2020. BPS menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi 3,49% periode Juli-September 2020. Dengan demikian Ekonomi Indonesia resmi masuk resesi. Pemerintah sendiri seperti kehabisan cara untuk menambah sumber penghasilan negara selain dari pajak dan hutang. Yang terkini pemerintah mulai melirik dana umat islam seperti wakaf. Umat islam hanya dieksploitasi dananya saja sedangkan aspirasi rakyat terutama umat islam justru dikriminalisasi.
Umat islam dan islam juga terus mendapatkan mudharat akibat kebebasan sistem saat ini. Kita lihat salah satu contoh bagaimana penghinaan terhadap nabi terus terjadi. Pemerintah Prancis, dalam hal ini Emmanuel Macron, yang bersikukuh memberikan dukungan terhadap publikasi ulang karikatur Rasulullah oleh majalah Charlie Hebdo, bahkan memajangnya di gedung-gedung pemerintah, dengan alasan kebebasan. Kebebasan yang cacat yang hanya bertujuan untuk makin menyudutkan dan menyulut kebencian terhadap islam. Dr. Nazreen Nawaz yang merupakan aktifis muslimah internasional asal Inggris pun mengecam sebuah anekdot yang berkembang dan berbunyi, “Ada seorang pria mengatakan, jika kamu menghina perempuan, kamu adalah sexis. Jika kamu menghina seorang kulit hitam, kamu adalah rasis. Jika kamu menghina Yahudi, kamu antisemit. Dan jika kamu menghina muslim, kamu mempraktikkan kebebasan berekspresi.”
Walaupun saat ini kemarahan dan kecaman terus bergulir. Namun hal itu belum bisa menghentikan penistaan terhadap Rasulullah, Al-Quran dan agama Islam yang berlangsung secara terus-menerus. Parahnya adalah dengan segala boikot dan kemarahan kaum muslim ini tidak ada yang benar-benar ditakuti oleh pemerintah barat. Hal ini memang karena tidah ada yang bersungguh-sungguh merepresentasikan kemarahan dan suara kaum muslim. Lebih mengenaskannya lagi adalah bagaimana sikap penguasa muslim saat Rasulullah dihina. Yakni cukup sekadar retorika mengecam, namun di lapangan mereka terus bergandengan tangan dengan Prancis, khususnya dalam hal counter campaign terhadap upaya boikot produk Prancis.
Ini berbeda sekali dengan saat abad 19 akhir, Sultan Abdul Hamid II pernah betul-betul marah ketika Prancis dan beberapa negara Eropa akan mementaskan teater yang mereka populerkan dengan mengolok-olok Rasulullah. Saat itu, Kekhilafahan Islam sudah dalam kondisi sakit hingga dijuluki “The Sick Man of The Europe”. Namun, Kekhilafahan tetap mengancam akan mengerahkan apa pun untuk menghentikan teater itu. Hasilnya, Prancis ketakutan dan aktor-aktor pemeran teater itu sebagian diasingkan ke Inggris sebab khawatir dengan tindakan yang akan dilakukan Kekhilafahan. Ini contoh meskipun kondisi Kekhilafahan melemah, tetap ada kekuatan politik yang memiliki keberanian untuk mewakili sikap kaum muslimin.
Dengan adanya kekuatan politik islam pula, kaum muslim di Uyghur, rohingya dan India takkan merasakan kedzaliman yang luar biasa. Kaum muslim diindonesia juga tidak akan terpecah belah karna pelabelan radikal, modernis, tradisionalis dan modernisasi yg semakin menjauhkan islam dari kaum muslimin.
Jadi bagaimana kaum muslimin menghentikan itu semua dan kembali bangkit dari berbagai krisis, kedzoliman dan kemunduran tadi?
Jawabannya sederhana namun penuh makna perjuangan, yaitu dengan menegakkan kembali khilafah islamiyah. Dalam kitab mafahim siyasih Syekh Taqiyuddin An Nabhani menyampaikan sejak pertengahan abad lalu menyampaikan jika dunia menderita karena negara adidaya.
Kedaulatan Khilafah memang, satu-satunya yang mampu bersikap tegas atas dikte asing. Bahkan di saat menjelang keruntuhannya pun, kedaulatan itu masih terasa. Seperti kisah Sultan Abdul Hamid II pernah betul-betul marah ketika ada penghinaan nabi diatas dan juga bagaimana sikap tegas beliau pada 1902 yang bertekad tak akan melepaskan tanah Palestina, walaupun segenggam. Hal itu demi menghadapi rongrongan pendiri Zionis Israel, Theodore Herzl, agar memberikan sebagian wilayahnya di Palestina untuk bangsa Yahudi.
Dalam merespons kebijakan global, Khalifah melarang setiap muslim, partai politik, atau organisasi menjalin hubungan dengan negara asing. Hanya Khilafah yang boleh melakukan hubungan luar negeri dengan metode yang tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam. Metode politik yang amat penting adalah menampilkan keagungan Islam dalam mengatur urusan individu, bangsa, dan negara. Khilafah juga akan mengelola sendiri SDA yang dimiliki sehingga negara tidak akan kehabisan anggaran dan menerapkan kebijakan ekonomi yang menyengsarakan rakyat ataupun menghasilkan sebuah resesi.
Khilafah juga akan menonjolkan keberaniannya dalam mengungkap pelanggaran kriminal berbagai negara, menjelaskan bahaya politik negara adidaya, membongkar persekongkolan jahat mereka. Membongkar semua agenda global yang dipaksakan atas dunia seperti kebebasan berekspresi, demokratisasi, modernisasi, war on terorism, dll.
Semua itu mampu dilaksanakan karena dasar utama politik luar negeri Khilafah adalah jihad fi sabilillah untuk menyebarluaskan Islam kepada seluruh umat manusia.
Rasulullah saw. bersabda, “Aku telah diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan Laa ilaaha illa Allah Muhammad Rasulullah. Apabila mereka mengakuinya, maka darah dan harta mereka terpelihara dariku, kecuali dengan yang hak, jika melanggar syariat.”
Sejarah mencatat, jiwa “hubbul akhirah karahiyatud dunya” ini yang sanggup menggentarkan dunia –bangsa kafir– selama berabad-abad.
Pedoman itulah yang menempatkan Israel, AS, Inggris, Prancis, Rusia, Cina, dan negara adidaya lain yang jelas-jelas memerangi muslim, masuk dalam muhariban fi’lan. Ini ber konsekuensi daulah akan punya sikap tegas secara politis dan atas prinsip-prinsip ini juga tidak akan terjadi sebuah kebijakan yang disusun kaum kuffar memasuki kehidupan muslim. Prinsip-prinsip tersebut juga berhasil menempatkan profiling Khilafah sebagai negara yang kuat, berdaulat, dan digdaya dalam percaturan politik internasional.
Selain sebuah kewajiban mendirikan khilafah, ini juga wujud hakiki yang dibutuhkan negeri muslim mana pun, agar mampu membebaskan mereka dari krisis, ke tertindasan, keterpurukan dan penderitaan apa pun, bahkan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Wallahualam Bissawab.
#PerubahanHakiki