Najwa F.N, S.IP
Pengusaha dan Pemerhati Politik
Muslimah-voice.com - Pro kontra terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) minuman beralkohol atau minol kembali mencuat. Sejak tahun 2015 diusulkan oleh fraksi PKS, Gerindra dan PPP, kini mulai menjadi polemik kembali. Pihak yang mendukung pelarangan minol berpendapat bahwa minol merupakan penyebab utama terjadinya kriminalitas seperti pembunuhan, kecelakaan, bahkan pemerkosaan. Seperti dikutip dari bbc.com, Illiza Djamal anggota DPR RI dari fraksi PPP yang mengatakan "Yang kita inginkan adalah melindungi masyarakat dari dampak negatif minuman keras tersebut, jadi biar lebih tertib, dan ada ketentraman".
RUU ini mengatur penggunaan minol termasuk memberi sanksi atas pelanggarnya yaitu dalam draf RUU pasal 7 disebutkan ada denda dan sanksi atas peminum minol, yaitu pidana penjara paling sedikit tiga bulan paling lama dua tahun. Atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp50 juta.
Namun, di sisi lain, bisnis minol dianggap membawa manfaat besar bagi pemasukan negara, perlu diketahui bahwa pemasukan negara dari cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) sebesar Rp2,64 triliun pada tahun 2020.
Sementara pada tahun 2014 sebesar 5,298 triliun, tahun 2015 sebesar Rp 4,556 triliun, tahun 2016 sebesar Rp5,304 triliun. Dan tahun lalu sebesar Rp3,36 triliun, setiap rupiah yang dihasilkan dari peredaran MMEA menjadi pemasukan Negara yang menguntungkan. (money.kompas.com, 13/11/2020)
Perjuangan pengusung RUU minol ini nampaknya tak akan begitu saja diamini oleh negara dan seluruh pemangku kepentingan terlebih dalam lingkaran bisnis minol ini. Bahkan, perdebatan terkait pelarangan minol niscaya tak akan pernah selesai dikarenakan standar yang digunakan untuk menimbang RUU minol adalah berdasarkan asas manfaat saja. Semua dihitung berdasarkan untung dan rugi saja. Sebanyak apapun nyawa melayang akibat mengonsumsi minol, tak akan mampu menghentikan kerakusan pebisnis minol. Seolah olah, jutaan nyawa melayang hanya mampu "dibayar" dengan cukai MMEA tiap tahunnya.
Mustahil minol akan dengan tuntas dibasmi peredarannya jika negara masih menggunakan asas kemanfaatan dalam mengeluarkan kebijakan. Itulah asas negara Demokrasi yang tidak menjadikan syariat Allah sebagai standar kehidupan. Hal hal yang jelas dilarang Allah masih terbuka celah untuk dimusyawarahkan dalam sistem Demokrasi. Bahkan, tak jarang, syariat Allah bebas dinista dan diremehkan, tanpa ada hukuman yang tegas.
Sebagaimana Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamar, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah semua itu agar kalian beruntung." (QS. Al-Maidah: 90).
Keyakinan yang kokoh atas iman pada Allah, juga didukung dengan sebagaimana yang dinyatakan oleh kaidah ushul berikut:
[حَيْثُمَا كَانَ الشَّرْعُ فَثَمَّتِ اْلمَصْلَحَةُ]
Dimanapun ada syariat, di situ pasti ada maslahat.(Mediaummat 8/9/20).
Maka dari itu, perjuangan pelarangan peredaran dan pengonsumsian minuman beralkohol hanyalah sia sia belaka, apabila sistem yang digunakan sebagai alat untuk memperjuangkannya adalah sistem Demokrasi, yang hanya menggunakan asas manfaat dalam mengatur kehidupan. Daripada sia sia berjuang dalam Demokrasi, mengapa tak tegakkan islam kaffah saja, yang dengannya seluruh syariat akan mudah ditegakkan.
Wallahua'alam
#Minuman #Alkohol