Ekky Marita, S.Pd
(Pendidik)
Di tengah pandemi yang melanda, tiba-tiba pemerintah mengumumkan berita yang mengagetkan masyarakat. Bawasannya DPR resmi mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi Undang-undang. Pengesahan itu diambil dalam Rapat paripurna DPR RI pada Senin, 5 Oktober 2020 tengah malam.
Setelah UU Cipta Kerja resmi disahkan, gelombang aksi penolakan terus bergulir. Penguasa menerapkan social distancing pada rakyat. Setelah bungkam seolah menghindar, bahkan lebih memilih tilik itik daripada menghadapi demonstran. Akhirnya penguasa buka suara.
Dikutip dari detiknews (09/10/2020) "Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya angkat bicara mengenai kontroversi Undang-Undang Cipta Kerja. Jokowi menegaskan omnibus law itu bertujuan menyediakan lapangan kerja yang sebanyak-banyaknya bagi para pencari kerja serta para pengangguran.
Dengan Undang-Undang Cipta Kerja akan memudahkan masyarakat khususnya usaha mikro kecil untuk membuka usaha baru. Regulasi yang tumpang tindih dan prosedur yang rumit dipangkas, perizinan usaha untuk usaha mikro kecil UMK tidak diperlukan lagi, hanya pendaftaran saja."
Penguasa berharap adanya Undang - Undang ini mampu membuka jutaan lapangan kerja, menyerap pengangguran dan buruh sejahtera melalui massifnya investasi. Nyatanya, besarnya investasi selama ini tidak berpengaruh pada pembukaan lapangan kerja. Terlebih rakyat harus menghadapi persaingan tidak affair dengan Tenaga Kerja Asing. Mulai level manajer sampai level blue coklat (buruh kasar), terbabat habis. Dampaknya, masa depan rakyat sedang dipertaruhkan. Maka wajar rakyat turun jalan menolak keras pengesahan UU ciptaker yang sungguh gegabah.
Rakyat berteriak bahkan menjerit menuntut kejelasan. Namun penguasa hanya menganggap angin belaka yang akan reda dengan sendirinya. Beragam kritik dan saran dari para tokoh tak dipertimbangkan. Lantas siapa sejatinya yang mereka bela ?
Muatualisme Antara Penguasa dan Pengusaha
Penolakan dari berbagai elemen menunjukkan bahwa terjadi kedzaliman yang dilakukan penguasa. Teori bahwa sistem Demokrasi memfasilitasi siapapun menyuarakan aspirasinya, tak berlaku untuk suara mayoritas rakyat sang pemilik sejati kekuasaan. Rakyat tak pernah menjadi bahan perhatian utama bagi pemerintah. Slogan yang diagungkan dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat nyatanya omong kosong belaka. Buktinya tuan-tuan yang katanya wakil rakyat justru tergesa-gesa mengesahkan undang-undang yang ditolak rakyat.
Dapat dilihat, para penguasa bekerja demi siapa? Ambisi investasi dalam UU Ciptaker akan membuat para kapitalis swasta maupun asing dipersilahkan menjarah negeri. Penguasa lebih setia menjadi pelayan segelintir elit. Alhasil, UU ini akan menguntungkan korporatokrasi, sedangkan nasib rakyat lagi - lagi dikorbankan dan buruh tertindas. Maka tak salah jika mengatakan bahwa Demokrasi adalah alat melanggengkan keinginan rezim Oligarki. Semua kebijakannya akan berputar pada kepentingan elit yang terjalin mesra dengan penguasa.
Sekalipun rakyat diminta untuk mengajukan tuntutan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai prosedur, perkara penolakan UU tak dapat terselesaikan dengan mudah. Rakyat harus melawan wakil - wakil pengusaha yang duduk di parlemen. Tuntutan yang sampai ke MK sering berlarut - larut hingga kandas tanpa kejelasan.
Sungguh UU Cipta Kerja ini kabar gembira bagi para Kapitalis. Sehingga harus dimenangkan apapun keadaannya meskipun rakyat menjerit kesakitan. Lalu apa yang diharapkan dari demokrasi hari ini ? Sudah saatnya rakyat harus cerdas dan tak ingin tertipu oleh topeng kebaikan yang ditawarkannya. Lalu bagaimana melepas jeratan Sistem Kapitalis Demokrasi yang mengabaikan urusan rakyat ?
Bring Back Islam
Demokrasi yang sudah nampak jelas kerapuhannya harus segera dibuang. Sebab penguasa dalam sistem tersebut hanya bertindak sebagai regulator yang mengurusi para elit bukan mengatur hajat hidup umat. Oleh karena itu, butuh perubahan sistem mendasar. Sistem yang mengatur dengan sempurna berkaitan dengan hajat hidup tiap individu yaitu sistem Islam.
Syariat Islam sungguh sempurna karena mengatur kebutuhan individu mulai dari sandang, pangan, papan serta bernegara yang meliputi keamanan, kesehatan dan pendidikan. Negara yang menerapkan seluruh syariat Islam secara menyeluruh (kaffah) disebut dengan Khilafah yang dipimpin oleh seorang Khalifah.
Dalam Khilafah, negara bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyat. Negara wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat, menjamin terbukanya lapangan kerja seluas-luasnya untuk para pejuang nafkah dan menjamin terselenggaranya pelayanan dasar rakyat yakni pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Pemenuhan hajat hidup umat tidak diserahkan kepada pengusaha. Baik buruh maupun pengusaha merupakan rakyat yang harus diayomi dan diurus. Pengusaha tidak akan dibebankan dengan seabrek tunjangan sosial untuk buruh. Sebab semua itu menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya sebagai pelayan bagi rakyat. Namun, pengusaha wajib memenuhi hak upah pekerja secara ma'ruf. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)
Sementara peran negara dalam relasi antara buruh dan pengusaha adalah menjamin hak mereka dalam berserikat dan berpendapat. Serta menertibkan para pengusaha yang berlaku zalim kepada pekerjanya. Inilah mekanisme sistem Islam dalam menyelesaikan masalah ketenagakerjaan dan perburuhan.
Jadi, berharap kesejahteraan melalui UU Cipta Kerja dalam sistem Kapitalisme hanyalah ilusi. Umat wajib menolaknya dan memperjuangkan perubahan. Sebab ketika Sistem Kapitalisme Demokrasi masih tertancap UU pesanan akan selalu mengabaikan rakyat. Jalan satu - satunya hanyalah dengan memperjuangkan syariat Islam untuk diterapkan secara menyeluruh sebagai aturan kehidupan. Hal ini akan terealisasi dalam naungan Khilafah Rasyidah yang mewujudkan rahmat lil alamin.
Wallahua'lam Bisshowa'ab.