Tambal Sulam Atasi Perburuhan, Sampai Kapan?

 


Oleh Ajeng Najwa, S.IP.

Pengusaha dan Pemerhati Sosial Politik


Lagi lagi terjadi blunder kebijakan. Dimulai dari kesalahan menetapkan standar kesejahteraan buruh dengan memberlakukan standar upah minimum sesuai living cost para buruh. Konsekuensinya adalah, muncul pemahaman sosialis yang merindukan kesetaraan dengan menggagas urgensi setiap perusahaan memberlakukan batasan jam kerja, jaminan kesehatan, sosial, cuti, dll.


Bagi para juragan, tentu tidak mudah. Karena kacamata yang digunakan untuk menyelesaikan masalah ini adalah kacamata materi. Yang dipikirkan hanyalah soalan cuan belaka. Maka para pengusaha terus mendesak UU ini tetap harus dibahas. Seperti yang dituturkan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo),"Jadi, mari kita beri kesempatan ada UU Cipta Kerja ini jalan dulu, dan saya yakin 10 tahun ke depan buruh kita akan jauh lebih sejahtera, buruh kita akan bisa jadi turis di luar negeri" (detikfinance.com 6/10). Parahnya lagi, Presiden Jokowi berhasrat penuh menuntaskan disahkannya UU ini hanya dalam 100 hari (cnnindonesia.com 16/01).


Begitu rupanya pola yang terlihat dari berbagai bentuk kebijakan pemerintah Indonesia dewasa ini. Alih-alih menyelesaikan persoalan kepentingan buruh dan pengusaha, faktanya justru semakin rumit. Pengesahan Undang-Undang (UU) Omnibuslaw tengah malam hari oleh pejabat DPR dianggap akan menghilangkan kesejahteraan buruh. Sebagaimana diungakpan oleh peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Askar Muhammad saat mengkritisi UU ketenagakerjaan bab IV. Ia menuturkan "Jika jam kerja ditingkatkan, kata dia, maka waktu luar akan berkurang. Kondisi ini berpotensi memperburuk kondisi working life balance para pekerja. Padahal, work life balance merupakan salah satu indikator dalam kerja layak". (Tempo.co 9/10)


Sadarkah kita, bahwa masalah yang sebenarnya terjadi dalam urusan ketenagakerjaan ini terletak pada dasar yang digunakan kaum kapitalisme tentang tolok ukur gaji buruh? Yaitu berupa kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan living cost terendah yg dijadikan standar dalam penentuan gaji para buruh. Sehingga dalam negara ini diperbolehkan bekerja apapun untuk memiliki apapun. Sehingga, kaum sosialis memprovokasi bahwa hal tersebut tidak akan membawa buruh kepada kesejahteraan dan kesetaraan, maka harus terus diperjuangkan hak-haknya.


Jika hubungan buruh dan pengusaha dibangun dengan pondasi materi, maka problematika ketenagakerjaan ini akan terus muncul. Walau akhirnya direvisi, yakinlah hal itu bukanlah solusi mendasar untuk menyelesaikan masalah ini.


Lain halnya jika Islam memandang permasalahan ini bukan dengan cara pandang kebebasan kepemilikan. Islam justru mengharamkan kebebasan kepemilikan. Kepemilikan atau Milkiyah dalam islam pada prinsipnya adalah di tangan Allah Swt, artinya Allah pemilik segala sesuatu. Firman Allah Swt dalam QS.an-nur [24] 33 :


أَيْمانُكُمْ فَكاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فيهِمْ وَ آتُوهُمْ مِنْ مالِ اللهِ الَّذي آتاكُمْ ....


dan berikanlah kepada mereka sebagian daripada harta Allah yang telah dianugerahkan Tuhan kepadamu ....


Dalam ayat lain Allah berfirman dalam QS. Al-Hadid [57] : 7 :


آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ ۖفَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ


Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar. Karena itu Kepemilikan dalam islam memiliki pengertian:


“izin dari Asy Syari’ untuk memanfaatkan suatu benda.”(M. Husain Abdullah, Dirasat fi Al Fikr Al Islami, hlm. 54).


Jika konsep kebebasan kepemilikan ala kapitalisme ini membebaskan manusia untuk bisa memiliki apapun tanpa melihat halal dan haram, maka konsep Islam jelas tidak. Karena justru faktor halal dan haramlah yang menentukan status kepemilikan seseorang, apakah boleh atau tidak. Sebab, kepemilikan adalah bagian dari aktivitas manusia, dan hukumnya mubah. Setiap Muslim bisa saja memiliki, tetapi caranya harus terikat dengan cara yang ditentukan oleh syariah. 


Sebagaimana penjelasan ust Hafidz Abdurrahman, "Islam pun menentapkan cara tertentu yang bisa digunakan untuk mengembangkan harta tersebut, seperti jual beli, sewa menyewa, dan sebagainya. Karena itu, dalam pandangan Islam, tidak ada kebebasan bagi seseorang untuk memiliki apa saja, dengan cara apapun. Sebaliknya, setiap orang harus terikat dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Islam untuknya. Jika apa yang hendak dia miliki diizinkan oleh Islam, dan diperoleh dengan cara yang juga dibenarkan oleh Islam, maka berarti itu menjadi izin baginya. Inilah konsep Ibahatu al-Milkiyyah". Selain itu Kapitalisme memperbolehkan setiap orang memiliki apapun dengan cara apapun. Tanpa melihat sebab kepemilikan tersebut halal atau haram. 


Tiap Muslim boleh bekerja, entah sebagai buruh atau pengusaha, tetapi ketika dia melakukan pekerjaan tersebut harus terikat dengan hukum syariah. Karena itu, dia tidak boleh memproduksi dan menjual minuman keras, melakukan jual beli babi, atau bekerja di bank riba, prostitusi, dan sebagainya. Karena jelas hukum pekerjaan tersebut diharamkan oleh Islam.


/Lalu bagaimana solusi darii Islam: ubah standar upah buruh!/


Standar yang digunakan oleh Islam adalah asas manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh, bukan living cost terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para pengusaha, karena buruh telah mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sesuai yang berlaku di tengah masyarakat. 


Maka sangat tepatlah jika Prof Fahmi Amhar mengatakan "Buruh tanpa syariah, tertindas. Pengusaha tanpa syariah, menindas. Maka terapkanlah syariah, maka mereka akan bebaskan dunia daei penindasan". Rasionalitas yang diajarkan Islam adalah wujud sempurnanya aturan yang Allah buat untuk kita. Tanpa cacat sedikitpun Allah mengatur seluk beluk kehidupan kita. Termasuk persoalan ketenagakerjaan. Sadarkah kita selama ini bahwa hukum yang diterapkan kini sangat mudah dikoreksi dan direvisi kembali? Tak cukupkah kita merasakan sakit dan kecewa karena berharap pada hukum yang hanya sebagai penawar rasa sakit saja? Marilah kita kembali pada hukum Allah, yang terbukti selama 1400 tahun menyejahterakan kehidupan semesta raya. Ialah hukum yang hanya mungkin diterapkan dalam sistem Khilafah Islamiyah, yang sesuai manhaj kenabian. Khilafah yang akan mendatangkan ampunan dan ridho dari Sang Pencipta kita, Allah SWT. Wallahua'lam.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama