Oleh: Sherly Agustina, M.Ag
(Alumni santri dan pegiat literasi)
Allah berfirman, “Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk. “(Q.S.Al Kahfi :13)
Dilansir dari tirto.id, Hari Santri dirayakan pada 22 Oktober, penetapan tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 yang ditandatangani pada 15 Oktober 2015 di Mesjid Istiqlal Jakarta. Hari Santri Nasional yang ditetapkan pada tanggal 22 Oktober merujuk pada satu peristiwa bersejarah yakni seruan yang dibacakan oleh pahlawan nasional KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945. Seruan ini berisikan perintah kepada umat Islam untuk berperang (jihad) melawan tentara sekutu yang ingin menjajah kembali wilayah Republik Indonesia pasca Proklamasi kemerdekaan. Sekutu ini maksudnya adalah Inggris sebagai pemenang perang dunia II untuk mengambil alih tanah jajahan Jepang (21/10/20).
Momen 22 Oktober 1945 dianggap sebagai resolusi jihad di mana santri dan ulama bersatu serta berkorban untuk mempertahankan Indonesia. Saat itu Hasyim Asy’ari yang menjabat sebagai Rais Akbar Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) menetapkan resolusi jihad melawan pasukan kolonial di Surabaya, Jawa Timur. Dan kondisi tersebut terlihat pada 21 dan 22 Oktober 1945 di saat pengurus NU Jawa dan Madura menggelar pertemuan di Surabaya. Pertemuan tersebut dilakukan untuk menyatakan sikap setelah mendengar tentara Belanda berupaya kembali menguasai Indonesia dengan membonceng sekutu.
Lewat Resolusi Jihad, kaum santri memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia agar menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan, agama dan Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki-tangannya. Bagi NU, baik Belanda maupun Jepang telah berbuat kezaliman di Indonesia dan resolusi ini membawa pengaruh yang besar. Bahkan, ada dampak besar setelah Hasyim Asy'ari menyerukan resolusi ini.
Hal ini kemudian membuat rakyat dan santri melakukan perlawanan sengit dalam pertempuran di Surabaya. Banyak santri dan massa yang aktif terlibat dalam pertempuran ini. Perlawanan rakyat dan kalangan santri ini kemudian membuat semangat pemuda Surabaya dan Bung Tomo turut terbakar. Hingga akhirnya perjuangan tersebut menewaskan pemimpin Sekutu Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby. Mallaby tewas dalam pertempuran yang berlangsung pada 27-29 Oktober 1945. Hal inilah yang memicu pertempuran 10 November 1945.
Begitu heroiknya perjuangan para ulama dan santri dalam mempertahankan negeri ini dari para penjajah. Hal yang patut diteladani oleh santri pada masa kini dan generasi muda umumnya terutama di era milenial. Santri menjadi simbol perjuangan di negeri ini, dimana kekuatan akidah dan agama sebagai pondasi tak bisa dilepaskan. Karena seruan jihad adalah dorongan akidah Islam bukan yang lain, maka Islam bagian yang tak terpisahkan bagi bangsa ini.
Sayangnya, masih ada upaya mengkerdilkan ajaran Islam. Memahami dan mengopinikan pemahaman jihad dengan sangat sempit yaitu bersungguh-sungguh dalam belajar. Memang benar, jihad maknanya sungguh-sungguh tapi makna secara bahasa. Makna secara istilah dalam Islam adalah perang, bisa dilihat jika ulama besar KH. Hasyim Asy'Ari memahami jihad hanya sungguh-sungguh bukan perang maka tak akan ada sejarah resolusi jihad melawan dan mengusir penjajah oleh para ulama dan santri.
Santri pada masa kini hanya didorong dan dicukupkan untuk belajar dan belajar serta dipersiapkan agar bisa bekerja menghadapi tantangan zaman industri dan teknologi. Padahal dari mereka ada modal yang luar biasa, para orang tua ingin anak-anaknya memiliki modal dan pondasi agama yang kuat. Karena agama adalah modal dalam mengarungi kehidupan di dunia dan bekal di akhirat. Tentu modal agama ini sangat penting dalam menjaga bangsa ini dari serangan penjajah.
Jika dulu serangan penjajah berupa fisik, maka serangan yang dihadapi para santri dan generasi muda saat ini adalah non fisik yaitu pemikiran. Pemikiran ini masuk ke berbagai lini, merusak generasi dan para pejabat pemerintahan. Hingga memiliki mental menyerah, berutang dan pasrah pada keadaaan. Di sini peran santri sangat besar dalam menghadapi penjajahan berupa pemikiran, melawan pemikiran yang tidak sesuai dengan Islam. Kemudian menggantinya dengan pemikiran yang Islami, yang hanya berstandar pada aturan Illahi.
Santri harusnya tidak terbawa arus pemikiran yang sudah terkontaminasi, justru santri harus menjadi dokter yang mampu menyelamatkan pemikiran generasi muda di negeri ini. Dari penyakit yang menyerang generasi muda di antaranya meniru life style kafir, liberalisme, hedonisme, permisifisme, free sex, legebete, aborsi, dan sebagianya. Jika santri faham akar seluruh masalah yang terjadi maka kebangkitan negeri ini di depan mata.
Sejarah akan terulang kembali, seperti dulu santri dan para ulama berjuang mempertahankan dan menyelamatkan negeri. Dari pemikiran yang rusak menuju pemikiran yang shahih yaitu Islam. Hingga nanti bangsa ini hanya menjadikan Islam sebagai aturan hidup bukan yang lain. Terlepas dan terbebas dari penjajahan dalam bentuk apapun, sebagai negara yang berdaulat memiliki harga diri. Tanpa utang dan bergantung pada negara kafir yang menjerat dan menjajah ingin menguasai negeri-negeri kaum Muslim.
Oleh karena itu, wahai para santri dan generasi muda mari bangun dari tidur panjang. Di perayaan Hari Santri ini jangan hanya dijadikan sebatas ceremonial dan mengenang sejarah an sich. Tapi sebagai teladan dan motivasi dalam membangun dan menyelamatkan negeri saat ini. Agar lebih baik dan hanya baik jika menjadikan aturan Allah sebagai satu-satunya aturan dalam kehidupan.
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara :
waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, dan hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir)
Allahu A'lam Bi Ash Shawab.[]