PENGESAHAN UU CIPTAKER MENGUAK WAJAH ASLI DEMOKRASI

 


Oleh : Ns.Novia Sina S.Kep

(Aktivis Muslimah)


Ramai di demo rakyat Indonesia tidak membuat RUU ciptakerja dibatalkan. Rakyat memprotes terkait hukum-hukum baru yang tertuang di RUU cipta kerja yang cenderung pro pengusaha -pemilik modal dan merugikan khususnya para buruh atau pekerja. RUU Cipta Kerja rampung dibahas pada Sabtu (3/10) malam. Badan Legislasi DPR dan pemerintah setuju membawa RUU tersebut untuk pengesahan di paripurna. Timbul rasa curiga dari rakyat sebab sebelumnya beredar informasi rapat paripurna DPR RI itu dijadwalkan Kamis tanggal 8 Oktober 2020. Namun pada Senin (5/10), muncul kabar bahwa paripurna RUU Cipta Kerja dilangsungkan di hari tersebut. DPR lalu menggelar rapat konsultasi pengganti Bamus hingga akhirnya bersepakat paripurna diselenggarakan siang itu juga. Para menteri yang mewakili pemerintah berdatangan ke gedung DPR. Paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja yang sekaligus penutupan masa sidang langsung digelar. Pengesahan yang terburu-buru tanpa mendengar suara jerit rakyat membuat kita bertanya-tanya ada apa dengan aturan tersebut, dan mulai kita sadari inikah wajah asli dari demokrasi itu?


Sebenarnya tanpa banyak belajarpun rakyat telah mampu memahami isi RUU Ciptaker yang memang tidak pro pada buruh/pekerja, maka wajar seluruh elemen masyarkat memprotesnya, mulai dari kalangan  pelajar, mahasiswa hingga emak-emak. Mulai dari aturan yang makin ketat untuk jam kerja dan libur buruh, diperberat dengan gaji yang dihitung per jam sampai kelonggaran yang diberikan pada para investor, seperti pemberlakuan PHK, penghapusan pesangon hingga dipermudahnya TKA dan investor asing masuk negeri. Alasan pemerintah men sahkan UU omnibus law ciptaker tersebut karena menilai bnyak UU yang mengahambat investasi ternyata tidak bisa sepenuhnya diterima, sebab faktanya Indonesia merupakan negara di Asean dengan jumlah pertumbuhan investasi sangat tinggi bahkan mengalahkan afrika selatan, malaysia dan brazil, namun nyatanya tidak berefek signifikan bagi kesejahteraan ekonomi masyarakat, sebelum adanya omnibus law saja tercatat bahwa data pertumbuhan investasi tertinggi diIndonesia terjadi diera jokowi yakni tembus 30% (tertinggi di Asean).  Daya tarik investor Indonesia menempati no 3 setelah china dan India, 48,1% perusahaan asing telah disurvei akan melakukan expansi di indonesia. Indonesia juga masuk bagian 20 besar negara didunia sebagai negara penerima investasi asing terbesar di dunia. Namun di Indonesia yang terjadi investasi cukup besar namun faktanya justru hasilnya sangat sedikit disebabkan kualitas pengaturan investasi yang buruk (faisalbasri, cokrotv2019). Tapi anehnya saat masyarakat menyadari buruknya aturan tersebut dan berusaha mengkoreksi pemerintah, masyarakat justru diabaikan bahkan berusaha dibungkam. Sebagian pendemo juga diperlakukan seolah mereka kriminal ditangkap dan digiring ke kantor polisi, bahkan PJS Wali kota Depok dikabarkan mengancam kalangan mahasiswa yang mengikuti demo dengan sanksi Drop Out (DO) dan Sulit mendapatkan SKCK dari pihak kepolisian(Inews.id,2020). Bahkan Melalui menteri koordinator perekonomian Airlangga Hartanto dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV mengatakan pemerintah telah mengetahui adanya pengaruh elite Intelektual yang menjadi dalang di balik aksi penolakan demo.


Secara konsepsi sistem demokrasi sejak lahir memang memberikan kedaulatan hukum kepada rakyat untuk membuat hukum sesuai kehendak mereka berdasarkan suara mayoritas, menentukan halal dan haram, juga penetuan standar terpuji dan tercela. Namun jika semua rakyat harus berkumpul untuk menyusun kebijakan polis untuk mereka tentu itu hal yang mustahil oleh sebab itu rakyat memilih sebagian dari mereka untuk menjadi wakil yang kemudian memberinya mandat untuk memutuskan kepentingan umum. Sayangnya untuk menjadi wakil rakyat sangat mahal di sistem buatan manusia ini, karena mereka harus merebut suara mayoritas rakyat yang menjadi legalitas kekuasaan, disinilah mereka melakukan interaksi simbiosis mutualisme dengan para pemilik modal untuk meraih kekuasaan. Senada seperti yang dikatakan oleh Jeffry A Winters (Winters,2012) ia menegaskan bekerjanya oligarki yang terdiri dari kekuatan pemerintah dan legislator yang memiliki otoritas dalam memberikan izin serta ditopang dengan investasi yang rakus dengan tujuan mendapatkan keuntungan sebesar besarnya tanpa keberpihakan pada penjagaan kelestarian lingkungan, kemudahan investasi dan perlindungan hak hak warga negara bahkan jika mengahruskan dilegalka secara perundang undangan. Maka akibatnya kita saksikan sekalipun rakyat memprotes omnibus law UU cipta kerja  namun akhirnya peraturan itu tetap disahkan. 

Telah nampak wajah asli demokrasi yang selama ini sangat lantang mengatakan tentang kebebasan bicara dan berpendapat, mengatakan hukum tertinggi berada ditangan rakyat, ternyata itu hanya tipuan belaka untuk menipu rakyat agar mau menerima Ide Kebebasan ala demokrasi tersebut. Nyatanya dalam aplikatifnya rakyat terus menerus diancam agar bungkam dan diminta untuk tidak banyak protes atas kedzaliman.

Berkaitan dengan buruh, konflik abadi yang terjadi pada para buruh disebabkan kesalahan besar yang terus dipelihara di negeri ini dengan berhukum pada hukum buatan manusia yakni sistem demokarai-kapitalisme yang gagal dalam menyejahterakan buruh. Buruh dipandang hanya sebagai komponen produksi yang harus ditekan biayanya seminimal mungkin agar ongkos produk bisa murah.

Padahal dalam sistem Islam buruh adalah sumber daya manusia yang punya kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Bukan hanya bagi dirinya, tapi juga keluarganya. Sehingga tuntutan upah layak selalu didengungkan. Akibatnya buruh dan pengusaha ibarat dua kutub magnet yang selalu berlawanan. Buruh ingin kesejahteraan, pengusaha ingin ongkos produksi murah. Selamanya tak akan ketemu. Mirisnya, penguasa justru menjelma menjadi korporatokrasi yang mengabdi pada kepentingan pengusaha korporasi.

Kesejahteran hanya  bagaikan mimpi bagi rakyat kecil dan sejahtera itu justru dirasakan beberapa kalangan saja, standar atau nilai yang dibuat oleh manusia tak akan pernah benar-benar mensejahterakan masyarakat secara menyeluruh. Oleh sebab itu kini arah perubahan itu perlu kita rubah, bahwa sampai kapanpun hukum manusia penuh dengan kecacatan dan tidak mampu memberi solusi bagi setiap linie masalah manusia, inilah ciri-ciri manausia yang lemah dan terbatas, sudah seharusnya kita meninggalkan segala penghambaan selain dari hukum Allah SWT yakni dengan menerapkan Sistem Khilafah Islamiyyah yang didalamnya diatur dengan adil.


Rasulullah Saw. menyampaikan tentang pentingnya kelayakan upah dalam sebuah hadis:


 “Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu, sehingga barangsiapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri), dan tidak membebankan pada mereka tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR Muslim)


Di dalam Khilafah kesejahteraan pekerja adalah tanggung jawab negara, Negara menyediakan secara gratis dan berkualitas layanan kesehatan dan pendidikan untuk semua warga negara, baik kaum buruh atau pengusaha itu sendiri. Sedangkan layanan transportasi, perumahan, BBM, dan listrik tidak akan dikapitalisasi karena dikelola negara dengan prinsip riayah/pelayanan. Negara juga dilarang menjadi tukang palak yang banyak memungut pajak dan retribusi di segala lini. Negara dalam Islam adalah daulah riayah bukan daulah jibayah.  Demikianlah sistem khilafah hadir memberi solusi bagi buruh dan pengusaha sehingga keduanya bisa hidup sejahtera.[]



*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama