Omnibus Law: Pengusaha Berpesta Rakyat Menderita

 



Fitria Zakiyatul Fauziyah Ch

Mahasiswi STEI Hamfara Yogyakarta


Di tengah lantangnya yang menyuarakan penolakan dari berbagai elemen masyarakat sipil, omnibus law RUU Cipta Kerja resmi disahkan menjadi undang-undang melalui rapat paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020).


Pengesahan tersebut dilakukan dalam Rapat Paripurna ke-7 masa persidangan I 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Pengesahan RUU Cipta Kerja ini bersamaan dengan penutupan masa sidang pertama yang dipercepat dari yang direncanakan, pada 8 Oktober 2020 menjadi 5 Oktober 2020.


UU Cipta Kerja terdiri atas 15 bab dan 174 pasal. Di dalamnya mengatur mengenai ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup. Pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, RUU Cipta Kerja diperlukan untuk meningkatkan efektivitas birokrasi dan memperbanyak lapangan kerja. Menurut dia, RUU Cipta Kerja akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah.(kompas.com, 6/10/2020)


Terdapat 11 kluster yang menjadi pembahasan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Yaitu penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendalian lahan, kemudahan proyek pemerintah, kawasan Ekonomi Khusus (KEK).


Seruan-seruan para pejabat dengan hadirnya Omnibus Law diharapkan akan mempercepat kedatangan investor yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan baru serta meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Karena menurut mereka Undang-Undang yang ada terlalu kaku dan menghambat investasi.


RUU ini menuai gelombang kecaman masyarakat. Di antaranya yang paling menohok ialah RUU Cipta Kerja. RUU ini dinilai banyak merugikan buruh dan pekerja. Terdapat beberapa pasal-pasal bermasalah dan kontroversial dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja yang berbeda dengan UU Ketenagakerjaan.


Pertama, kontrak tanpa batas (Pasal 59). UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.


Kedua, hari libur dipangkas (Pasal 79). Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, dipangkas. Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan. Pasal 79 juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.


Ketiga, aturan soal pengupahan diganti (Pasal 88). Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan. Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah".


Keempat, pembayaran upah bagi pekerja yang berhalangan tak lagi disebutkan dalam Omnibus Law. Padahal, dalam UU Ketenagakerjaan, pekerja masih mendapat upah sebesar 25-100 persen jika ia sakit, cuti menikah atau melahirkan, atau ada anggota keluarga yang meninggal.


Kelima, hak memohon PHK dihapus (Pasal 169). UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/ buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan. Pasal 169 ayat (3) menyebut, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja. Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta Kerja.


Padahal buruh merupakan sumber daya manusia yang punya kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarganya. Sehingga tuntutan upah layak selalu digaungkan. Akibatnya buruh dan pengusaha menuai konflik dan perseteruan hingga saat ini. Buruh ingin kesejahteraan, pengusaha ingin biaya produksi murah.


Perseteruan abadi antara buruh dan pengusaha merupakan bukti kegagalan sistem ekonomi kapitalisme. Bahkan negara justru mengabdi bagi korporasi. Tak aneh bila tudingan ini benar. Sebab, diketahui bahwa dalam penyusunan draf RUU Omnibus Law, satuan tugas yang menggarap RUU ini mayoritas dari kalangan pengusaha, pemilik modal, dan investor.


Pemerintah memenuhi tuntutan pengusaha agar keuntungan mereka maksimal. Sebaliknya, bila tidak maka pengusaha dan investor akan menarik langkah usaha ke luar negeri. Sementara kaum buruh dan pekerja makin tercekik, dengan harga-harga melambung akibat inflasi, bersaing dengan tenaga kerja asing di lapangan kerja yang semakin sempit, dan semakin sulit untuk menjangkau kebutuhan pokok.


Problem situasi saat ini sesungguhnya mengingatkan bahwa kita membutuhkan untuk kembali pada sistem Islam karena ternyata penyelesaian atau langkah-langkah yang selama ini diambil yang tidak secara komprehensif mengadopsi Islam atau bahkan meniadakan atau menafikan berlakunya Islam justru memunculkan persoalan-persoalan baru yang lebih besar pada umat.


Sistem Islam, Solusi Kesejahteraan


Hadirnya peradaban Islam selama rentang waktu 1.300 tahun dalam sejarahnya dengan wilayah yang hampir dua pertiga dunia. Negara dan penguasanya menjalankan amanah sebagai penjaga dan pelindung umat dengan menerapkan seluruh syariat-Nya. Maka dari itu, inilah mekanisme ekonomi syariah dalam tata ulang kebijakan makro dan mikro ekonomi.


Pertama, mengatur ulang sistem keuangan negara. Sistem keuangan kapitalis yang menjadikan pajak salah satu pemasukan utama bagi negara. Berbeda halnya dengan sistem keuangan Islam memiliki pemasukan utama sekaligus mandiri tanpa ketergantungan kepada negara atau organisasi lain.


Kedua, mengubah dominasi dolar dengan sistem moneter berbasis dinar dan dirham, karena memiliki nilai hakiki. Dalam sistem ekonomi Islam, pendapatan masyarakat dipastikan cukup sehingga tidak masuk dalam kubangan kemiskinan dan kelaparan.


Ketiga, mengatur ulang sistem kepemilikan aset di permukaan bumi. Kepemilikan umum adalah aset publik yang tidak boleh di privatisasi, SDA yang jumlahnya melimpah sebagaimana hari ini yang dimiliki oleh swasta bahkan dimiliki oleh asing tidak akan berjalan kembali. Sumber perekonomian negara harus bertumpu pada empat sektor, yakni pertanian, perdagangan, industri, dan jasa. Ditambah harta milik umum yang dikelola negara maupun harta milik negara itu sendiri.


Keempat, menata ulang kebijakan mikro ekonomi. Negara Khilafah akan membumihanguskan praktik ekonomi ribawi, menghilangkan praktik penimbunan dan transaksi lain yang melanggar syariat.


Inilah sistem yang dibutuhkan kaum buruh dan pekerja. Negara hadir dengan peran secara utuh untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar yang layak, sehingga buruh dan pekerja hidup sejahtera dalam Khilafah. Negara bukan hanya menampakkan diri untuk mengatur hubungan yang simetris tanpa konflik antara buruh dan pengusaha. 


Wallaahu a'lam bish-shawwab



*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama