Oleh : Nindira Aryudhani, S. Pi, M. Si
(Koordinator LENTERA)
Beberapa waktu belakangan, terjadi gelombang normalisasi sejumlah negara di kawasan jazirah Arab dengan Israel. Terlebih setelah Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain mengambil langkah berani mengibarkan bendera putih dan berjabat tangan dengan negeri Ariel Sharon itu. Ditambah lagi dengan diamnya Arab Saudi, seolah memberi restu “persahabatan baru” negara-negara tersebut.
Namun demikian, Turki dengan arus baru Pan Islamisme-nya, tampil memantapkan langkah politik nasional dan internasional bagi negaranya. Erdogan terlihat bergeming dengan perselingkuhan politik UEA-Bahrain-Israel. Meski secara ekonomi menjalin hubungan dagang dengan Israel, Turki mengklaim bahwa hal itu dilakukan demi dapat membantu kaum muslimin Palestina. Bahkan langkah tersebut diharapkan dapat berlanjut menjadi jalan untuk memberikan kemerdekaan bagi Palestina.
NEO-OTTOMANISME TURKI
Ketika rezimnya membangun spirit neo-ottomanisme, langkah Erdogan ini juga dinilai cukup menyegarkan dunia Islam. Melalui spirit ini, Turki mencoba menempatkan diri sebagai inspirasi kontemporer paling berharga. Karena sejak dulu Turki memang dikenal sebagai bangsa petarung ulung. Terlebih jika tersambung pada kegigihan dan inovasi Fetih Sultan Mehmet dalam penaklukan Konstantinopel.
Yang mana, identitas politik Erdogan dalam konteks neo-ottomanisme ini memang berbanding terbalik dengan ideologi Kemalisme yang memilih memperkuat nasionalisme serta menerapkan sekularisme dengan tegas.
Tapi bagaimana pun, koridor neo-ottomanisme telah dilegitimasi tidak menyerukan kembali untuk melembagakan sistem hukum Islam. Spiritnya justru cenderung menyukai versi sekularisme yang lebih moderat. Imbasnya, Ankara menggunakan lebih banyak ‘kekuatan lunak’, yakni politik, ekonomi, diplomatik, dan pengaruh budaya. Mereka juga merangkul Barat, mengingat di masa lalu Ottoman pernah menguasai Eropa.
Karena itu, di sini tentu perlu dianalisis secara presisi, sejauh mana neo-ottomanisme ini dapat memblokade posisi dan reputasi (a.k.a menghancurkan) Israel di tengah pekatnya gelombang normalisasi Israel dan dunia Islam?
SOLUSI KUNCI KRISIS PALESTINA
Sejatinya, untuk menyolusi krisis Israel dan Palestina, hanya ada satu kunci. Yaitu dengan merunut sejarah, akan hal apa yang paling ditakuti Israel? Jika pertanyaan ini terjawab, maka usai sudah krisis tersebut.
Sudah sangat masyhur, kisah Sultan Abdul Hamid II dari Khilafah Turki Utsmaniy saat menolak permintaan tokoh pendiri negara Zionis Israel, Theodore Herzl, agar memberikan sebagian wilayahnya di Palestina untuk bangsa Yahudi.
Berulang kali upaya itu dilakukan, namun Sultan Abdul Hamid II tak berubah pikiran. Sampai pada upaya lobi yang terakhir dari pihak Yahudi, Sultan mengirim pesan, “Nasihati Herzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina) karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam.” (Buku Catatan Harian: Sultan Abdul Hamid II, Muhammad Harb 2004).
Sultan juga menyatakan, umat Islam telah berjihad demi kepentingan Palestina. Mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi dipersilakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat Khilafah Turki Utsmaniy runtuh, kemungkinan besar Yahudi akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Namun, kata Sultan, selama dirinya masih hidup, dia lebih rela menusukkan pedang ke tubuhnya sendiri daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah.
Sejak saat itu, kaum Yahudi dengan gerakan Zionisme-nya melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Sultan pun menyadari nasibnya semakin terancam. Meski demikian, dirinya adalah khalifah yang bertanggung jawab atas umat. Karena itu, beliau tetap bertahan mengurusi urusan umat, apa pun risikonya.
Berkaca dari sejarah Sultan Abdul Hamid II, Turki Utsmaniy saat itu adalah eksistensi format negara bersistem Khilafah. Jelas sekali bahwa yang paling ditakuti Israel adalah Khilafah. Herzl, pendiri Israel, tak berkutik ketika Khilafah dengan tegas menolak permintaannya. Dan meski ini sejarah, namun relevansinya tetap dapat dipertanggungjawabkan kendati saat ini sudah era digital.
Ketika neo-ottomanisme dilancarkan oleh rezim Erdogan pun, itu tak lantas membuat Israel takut dan melangkah mundur dari pendudukannya terhadap tanah Palestina. Karena spirit sekulerisme yang secara parsial masih menjiwai neo-ottomanisme, toh tidak menjadikan Turki makin bergigi. Dengan tetap mengemban sekulerisme, mustahil Turki berubah menjadi Khilafah. Karenanya, eksistensi politik Turki yang kendati nampak garang, saat ini belum menjadi sosok yang ditakuti Israel dan dunia sekular Barat.
Asal bukan Khilafah, bagi Israel dan dunia Barat, itu tetap bukan lawan yang sebanding. Ingat, apa pun halal dalam atmosfer sekulerisme. Jadi neo-ottomanisme juga sah-sah saja digaungkan.
SEKILAS KONSPIRASI INGGRIS MENGHANCURKAN KHILAFAH
Sungguh, Inggris memainkan peran utama untuk menghancurkan Khilafah. Tentu kita juga tak dapat melupakan pernyataan pongah Lord Allenby pasca-Perang Dunia I dengan kemenangan di pihak Sekutu. Allenby selaku panglima perang Sekutu ketika menaklukkan Baitul Maqdis berkata, “Sekarang berakhirlah perang Salib.” Agar kemenangan ini abadi, maka sejak saat itu pula para penjajah kafir mulai menerapkan berbagai peraturan sekular di dunia Islam hingga ke seluruh sendi kehidupan.
Inggris melakukan berbagai upaya agar kekuasaan negara dipisahkan dari Khilafah. Yang dengan kata lain, ini adalah jalan untuk sekularisasi Negara Islam. Upaya ini terus disuasanakan di dunia Islam sejak beberapa tahun sebelum momentum resmi keruntuhan Khilafah.
Pada akhir tahun 1922, Menteri Luar Negeri Inggris Lord Curzon menetapkan empat syarat demi pengakuan atas kemerdekaan Turki. Yakni penghapusan Khilafah secara total, pengusiran Khalifah sampai keluar batas-batas negara, penyitaan kekayaan Khalifah, dan penyataan sekularisasi negara.
Hal ini diperkuat dengan balutan ideologi kapitalisme dalam rangka menjaga tegaknya sistem sekular, hingga tersebar ke pelosok negeri-negeri muslim. Langkah ini terus dilakukan hingga Khilafah resmi diruntuhkan pada 3 Maret 1924 melalui tangan Mustafa Kemal.
STRATEGI JANGKA PENDEK DAN JANGKA PANJANG MENGATASI KRISIS ISRAEL-PALESTINA
Mencermati uraian di atas, betapa keji kaum kafir penjajah itu menghancurkan institusi Khilafah. Padahal melalui Khilafah itulah upaya busuk Israel merampas tanah Palestina, bisa diblokade. Lantas, apa kita tidak boleh menyebut Israel sebagai musuh abadi?
Terlebih, sudah menjadi karakternya, Israel bukanlah bangsa yang bisa diajak bicara dengan perundingan atau perjanjian. Melainkan dengan bahasa perang. Pendudukannya atas tanah milik kaum muslimin Palestina berikut cara-cara brutalnya membantai kaum muslimin di sana, menyebabkan Israel berstatus sebagai negara kafir harbi fi’lan. Artinya halal untuk diperangi.
Karena itu, apa pun alasannya, ketika suatu negeri Muslim menjalin hubungan kerjasama ekonomi dengan Israel, tanpa banyak komentar pun sudah menegaskan bahwa hubungan kerjasama itu adalah pengkhianatan terhadap Islam.
Berkaca dari sini, lantas bagaimana solusi berikutnya? Jelas, jika dunia Islam berada dalam satu visi yang sama, maka mereka bisa mengirimkan militernya untuk memerangi Israel. Tak terkecuali Turki, yang ketangguhan militernya sudah melegenda sejak Khilafah masih tegak. Inilah sejatinya solusi jangka pendek untuk mengatasi Israel.
Sementara solusi jangka panjangnya tentu dengan tegaknya Khilafah kembali. Karena terbukti, bagaimana politik luar negeri Islam yang diemban Khilafah menjadikan kaum muslimin benar-benar punya taring untuk menghadapi tipu muslihat bangsa Yahudi. Dengan ini, maka kunci memblokade Israel dapat ditunaikan.
KHATIMAH
Dan nyata, bukanlah neo-ottomanisme yang kemudian hanya akan dianggap angin lalu oleh Israel. Melainkan dengan institusi penegak syariah Islam kaffah, yakni Khilafah. Allah SWT berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 30-33:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَٰلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ (٣٠) اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا لَّا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ (٣١) يُرِيدُونَ أَن يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَن يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ (٣٢) هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ (٣٣)
Artinya:
Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling? (30). Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan (31). Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai (32). Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai (33). []