Oleh. Tety kurniawati (Aktivis Muslimah)
Pandemi corona tidak hanya mengancam kesehatan dan nyawa manusia. Namun turut juga memberi tekanan sosial dan ekonomi. Kebijakan pembatasan sosial memaksa banyak orang untuk bekerja dari rumah atau bahkan kehilangan pekerjaannya. Tekanan kebutuhan ekonomi dan stress yang tinggi jamak menghinggapi masyarakat. Akibatnya, rawan memunculkan terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT ) hingga berujung perceraian.
Dilansir dari BBC News Indonesia (19/5/2020), kerentanan perempuan terhadap kekerasan terutama KDRT dalam masa pandemi covid-19 meningkat. Terbukti dengan melonjaknya laporan kekerasan terhadap perempuan pada medio Maret - April di sejumlah daerah di Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( PPPA ) mencatat per 2 Maret - 25 April 2020. Terdapat 275 kasus kekerasan yang dialami perempuan dewasa, dengan korban 277 orang.
Maraknya perceraian terjadi diberbagai daerah. Indramayu menjadi daerah yang mencatatkan angka perceraian tertinggi di Jawa Barat, disusul Bandung. Rata-rata ada 12 ribu pasangan bercerai setiap tahun (Tribunnews.com 26/8/2020 ). Sementara, Pengadilan Agama kelas 1A Semarang mencatat kenaikan drastis kasus perceraian hingga tiga kali lipat ( cnnindonesia.com 24/6/2020 ). Hal senada terjadi di Jambi. Hingga Agustus 2020 terdapat 308 gugatan cerai dan 112 permohonan cerai (republika.co.id 26/8/2020).
/Akar Masalah Rapuhnya Ketahanan Keluarga/
Deretan kasus tersebut menjadi bukti tak terbantahkan atas rapuhnya ketahanan keluarga di negeri dengan muslim terbesar ini. Penerapan sistem sekuler kapitalisme telah menimbulkan krisis multidimensi. Mengacaukan pola hubungan antar anggota keluarga dan mengoyak bangunan keluarga hingga rentan mengalami perpecahan.
Patron negara kapitalistik yang tidak menghadirkan diri dengan konsep pelayanan. Namun justru senantiasa berhitung untung-rugi kala melaksanakan pelayanan kebutuhan rakyat. Meniscayakan terprivatisasinya layanan kesehatan dan pendidikan. Efeknya, kesehatan dan pendidikan menjadi pos yang membebani belanja keluarga.
Kapitalisme menanamkan pemikiran beracun kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kontribusinya mendukung pendapatan keluarga. Alhasil negara yang berperan sebagai regulator mendorong perempuan untuk ikut aktif menyokong perekonomian keluarga. Lewat serangkaian kebijakan yang digulirkannya.
Dilain sisi, penerapan sistem sekuler-Kapitalisme pelan namun pasti telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat. Islam dipahami sebatas ritual. Halal-haram tak lagi menjadi rambu dalam menjalani kehidupan. Paham bathil liberalime dan pluralime mengeliminasi peran agama. Hingga memicu munculnya berbagai kasus dekadensi moral generasi.
Momen perang melawan pandemi juga telah menyingkap borok kapitalisme yang eksploitatif. Kontradiksi antara profit versus nyawa manusia terpapar jelas dan membuat geram pekerja. Paceklik ekonomi ala kapitalis telah memproduksi kemiskinan, badai pemutusan hubungan kerja (PHK), pajak selangit dan harga kebutuhan yang kian jauh dari jangkauan. Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat lagi-lagi dipaksa menanggung derita.
/Khilafah Menjaga Ketahanan Keluarga/
Islam sebagai agama yang sempurna memiliki konsep dalam menjaga ketahanan keluarga, masyarakat dan negaranya lewat penerapan syariat Islam secara kaffah. Tata kelola pemerintahanya berlandaskan atas akidah Islam. Dalam bingkai institusi politik Khilafah Islamiyyah.
Khilafah memastikan bangunan keluarga dibangun atas dasar ketakwaan. Kondisi ini meniscayakan tiap individu dalam keluarga menjalankan peran dan tanggungjawabnya, dengan motivasi ibadah dan mengejar ridho Allah. Seperangkat mekanisme kebijakan yang lahir dari syariat menjamin realisasinya.
Jaminan kesejahteraan diwujudkan dengan memastikan setiap kepala keluarga memiliki mata pencaharian. Perempuan dan anak-anak dipenuhi hak-haknya secara makruf oleh pihak-pihak yang bertanggungjawab atasnya, termasuk negara.
Islam menetapkan kewajiban mencari nafkah kepada para suami dan wali. Sementara negara berkewajiban menyediakan lapangan kerja bagi para laki-laki. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan bagi yang membutuhkan. Bahkan memberi modal usaha jika diperlukan.
Penerapan syariah kaffah oleh negara meniscayakan kaum ibu akan terbebas dari kesempitan ekonomi, beban ganda, tindak kekerasan serta pengaruh buruk lingkungan yang dapat merusaknya iman serta akhlak diri dan anak dalam asuhan. Ketahanan keluarga terwujud seiring sakinah, mawadah warohmah yang melingkupi tiap keluarga.
Sejarah menjadi saksi. Penerapan Islam secara kaffah yang dicontohkan oleh Rasulullah, dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan Khalifah setelahnya. Menghadirkan keluarga-keluarga bervisi ukhrawi yang melahirkan generasi emas peradaban. Maka bukanlah utopis jika umat menghendaki kembalinya kemuliaan Islam dan umatnya. Semua bisa terwujud dengan tegaknya khilafah.
Wallahu’ alam bish shawab.[]