Oleh: Ratna Mufidah, SE
Penobatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam meraih penghargaan sebagai Kantor Pengelola Utang Terbaik se-Asia Timur dan Pasifik 2020 dari majalah Global Markets tentu tak serta-merta membuat seluruh rakyat Indonesia bangga. Bahkan dalam berbagai media terdapat berbagai pendapat para ekonomi yang berupaya mengingatkan kondisi perekonomian Indonesia akibat hutang.
Salah satunya adalah ekonom Indef Bhima Yudistira menilai utang luar negeri (ULN) yang terus meningkat akan mengganggu sektor keuangan Indonesia. karena situasi memaksa swasta untuk menambah pembiayaan utang agar produksi dapat dipertahankan. Jadi utang baru lebih kepada refinancing saat bunga mengalami penurunan dan upaya bertahan dari gelombang kebangkrutan. Jika pemulihan ekonomi lambat, maka utang swasta bisa menjadi bencana karena resiko default nya naik.
Dia menilai, di tengah situasi pandemi Covid-19, pemerintah justru terus menambah utang dalam bentuk penerbitan utang valas, langkah itu rentan membengkak jika ada guncangan dari kurs rupiah. Di mana, pada tahun ini pemerintah telah menerbitkan global bond sebesar USD4,3 miliar dan jatuh tempo pada 2050 atau tenor 30,5 tahun. Dengan demikian, pemerintah sedang mewarisi utang pada generasi kedepan (eksbis.sindonews.com, 20/10/2020).
Demikian pula halnya bagi rakyat, tetap yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana mereka memebuhi kebutuhan pokok sehari-hari, disamping kebutuhan lain seperti pendidikan dan kesehatan. Apalah artinya penghargaan ini-itu bila semakin banyak saja yang kesulitan mencari nafkah dan kelaparan.
Apalagi di sisi lain, Indonesia menempati urutan ketujuh dari sepuluh negara berpendapatan kecil-menengah yang memiliki utang luar negeri terbesar selama 2019 dari daftar yang dirilis oleh Bank Dunia. Besarannya mencapai 402,08 miliar dolar AS atau sekitar Rp 5.900 triliun dengan nilai tukar Rp 14.732 per dolar AS. Sebagian besar utang luar negeri berjangka panjang dan mayoritas dimiliki oleh pemerintah, sisanya oleh entitas publik (www.harianterbit.com/15/10/2020).
Dalam rumus sistem ekonomi kapitalis, utang merupakan sumber penerimaan negara selain pajak. Tak heran, bukan cuma negara berkembang, negara-negara maju pun juga mempunyai utang, seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman dan lain-lain. Namun, tentu saja imbas dari utang tersebut akan berbeda bila negara pengutang adalah negara berkembang, akan sangat mudah bagi terjadinya debt-trap atau jebakan utang dimana negara pendonor akan mendikte negata pengutang. Hal inilah yang menyebabkan ketidak-mandirian negara pengutang dalam beberapa hal apakah itu dalam mengurusi urusan-urusan publik/rakyat maupun kebijakan politik dalam dan luar-negeri. Bisa dibilang, debt-trap merupakan alat penjajahan era kini untuk menguasai suatu negara.
Hal tersebut berbeda dengan sistel ekonomi Islam yang justru mengharamkan utang kepada musuh, dalam hal ini adalah negara pendonor yang jelas-jelas menunjukkan permusuhannya kepada Islam. Jika sistem ekonomi Islam ini diterapkan dalam negara yang berasaskan Islam , debt-trap tidak akan terjadi, karena menjadi pintu masuk negara asing menguasai negara Islam.
Sistem Ekonomi Islm yang digali dari nash-nash syara telah menunjukkan pos-pos pebdapatan negara baik itu dari pengelolaan kekayaan alam, harta rampasan perang, maupun pungutan-pungutan yang diatur oleh syara'. Dengan demikian, negara pun akan memiliki kewibawaan serta tidak bisa dikendalikan negara lain.[]