Dilanda Krisis Depopulasi, Masa Depan Jepang Di Ujung Tanduk

 


Oleh : Ummu Syam 

(Aktivis Muslimah Majalengka)


Apa yang pertama kali terlintas dalam benak jika mendengar nama Jepang? Negara maju, teknologi terbarukan, otomotif, negara dengan lingkungan yang bersih, tata kota yang super rapih, dan negara dengan penduduk yang sangat menjaga kedisiplinan. Itulah beberapa hal yang pertama kali terlintas dalam benak kita jika mendengar nama Jepang. Memang tidak bisa dipungkiri, jika negara yang dijuluki Negara Matahari Terbit ini menjadi salah satu negara primadona di Asia Timur.


Pertahanan Jepang diuji pada bulan Agustus 1945 ketika dua kota di Jepang yaitu Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh pasukan militer Amerika Serikat. Menyerahnya Jepang kepada pasukan sekutu menjadi akhir dari Perang Dunia kedua. 


Lima tahun pasca dibom atom, Jepang perlahan bangkit, pembangunan di dua kota dilakukan secara bertahap. Dengan tetap bertumpu pada karakter bangsa yang ulet, rajin belajar, dan memiliki semangat tinggi, Jepang berhasil membuktikan kepada dunia internasional bahwa Jepang mampu bersaing dengan negara lain. Terbukti, Jepang masuk ke dalam dunia ketiga yang ditakuti Amerika Serikat karena persaingan globalisasi salah satunya di bidang ekonomi. 


Namun, kini Jepang kembali menghadapi sebuah krisis. Krisis ini disebut lebih berbahaya dari serangan brutal bom atom. Jika Jepang mampu bangkit pasca dua kotanya dihujami bom atom, pada krisis ini Jepang justru diprediksi akan mengalami kesulitan untuk mengatasinya. 


Krisis tersebut adalah depopulasi atau penurunan jumlah penduduk. Bagaimana tidak, pada tahun 2019 hanya sekitar 860.000 bayi yang lahir, ini angka kelahiran terendah Jepang sejak 1899. (VOA Indonesia, 27/9/2020) 


Dilansir dari brainly.co.id alasan utama mengapa Jepang mengalami penurunan jumlah penduduk adalah:

1. Biaya hidup di negara maju sangatlah tinggi, sehingga memaksa para generasi muda lebih mementingkan karir dan menunda-nunda pernikahan.

2. Penduduk Jepang sangat sibuk sehingga mengurangi keinginan memiliki anak.

3. Penduduk Jepang memiliki tingkat kesuburan yang rendah.

4. Penduduk Jepang sering melakukan aborsi.


Karena itulah Universitas Tohoku merilis sebuah studi pada tahun 2012, bahwa penduduk Negeri Sakura akan punah seribu tahun mendatang, dengan anak terakhir yang lahir pada tahun 3011. Selain itu, juga diprediksi sekitar 39,6 persen penduduk Jepang akan pensiun pada 2050.


'Beruntungnya' Jepang tidak sendirian dalam menghadapi krisis depopulasi ini. Ada Korea Selatan yang juga tengah berjuang menghadapi krisis ini. Badan Penelitian Korea Selatan (NARS) merilis sebuah penelitian bahwa penduduk Korea Selatan berpotensi mengalami kepunahan lantaran angka kelahiran yang merosot drastis ke angka terendah yakni pada angka 1,19 tiap perempuan. Simulasi penelitian menunjukkan populasi penduduk akan menyusut dari 50 juta pada saat ini menjadi 40 juta pada 2056 dan 10 juta saja pada 2136. Kemudian orang Korea Selatan terakhir yang tersisa akan hidup sampai 2750. Hingga akhirnya bangsa Korea Selatan punah.


Selain Jepang dan Korea Selatan, Taiwan dan Singapura pun tengah berjuang keras membiayai beban tunjangan sosial untuk penduduk berusia senja yang jumlahnya kian banyak, bahkan lebih banyak dari penduduk berusia muda. 


Dalam masalah ini pemerintah Jepang memberikan beberapa solusi. Dilansir dari VOA Indonesia (27/9/2020), pemerintah Jepang memberikan insentif hingga ¥600.000 atau setara dengan 85 juta rupiah ke pasangan yang baru menikah. Ini adalah usaha untuk meningkatkan angka kelahiran yang terus menurun. Namun, pemberian uang insentif ini dengan syarat: pasangan berusia di bawah 34 tahun, dan pendapatan gabungan mereka dibawah ¥4.8 juta (Rp.680 juta) per tahun. 


Peraturan ini sudah diberlakukan di 281 kota Jepang sejak Juli lalu. Pengantin baru menerima ¥300.000 (Rp.42,5 juta) sebagai insentif. Mulai April 2021 insentif akan naik menjadi ¥600.000 (Rp.85 juta). Berlaku bagi pasangan di atas 39 tahun dan berpenghasilan di bawah ¥5.4 juta (Rp.768 juta) per tahun.


Upaya lain yang dilakukan pemerintah Jepang untuk meningkatkan angka kelahiran yaitu dengan menggratiskan pendidikan TK dan keseimbangan hidup pribadi dan kerja. Pertanyaannya, efektifkah solusi tersebut?


Adalah sebuah ironi dan menjadi paradoks ketika negara-negara yang dijuluki "Keajaiban Asia Timur" yang notabene mengalami kemajuan dari segi ekonomi, kini menghadapi krisis yang mengancam eksistensi penduduk. Seorang profesor Malaysia bernama Prof. Dr. Mohd. Kamal Hasan menyebut fenomena tersebut dengan julukan Sindrom Chicago yaitu ketika sebuah negara "mencapai kemajuan ekonomi namun mengalami kerusakan peradaban".


Inilah buah dari penerapan sistem Kapitalisme yang menjadikan Sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) sebagai asas untuk menjalani kehidupan. Tuhan dipercayai keberadaannya namun diperkosa tugasnya untuk mengatur kehidupan ini.


Sistem Kapitalisme menawarkan kepada masyarakatnya kehidupan yang hedonis (bersenang-senang) sehingga tolak ukur kebahagiaan dihitung dari banyaknya harta yang dimiliki. Hal tersebut membuat masyarakatnya lebih menghargai materi dan kesenangan fisik. Sistem ini juga membuat masyarakatnya mengalami penyakit individualistik, dimana masyarakat abai terhadap masalah kemanusiaan dan pelestarian ras manusia. Maka tak ayal, masyarakatnya menggadaikan kebahagiaan dalam berkeluarga, tidak percaya pada komitmen pernikahan, menunda memiliki anak atau memandang anak sebagai beban karena tidak memiliki keyakinan bahwa setiap anak sudah memiliki rizkinya masing-masing.


Ditambah kebijakan womenomics ala Kapitalisme yang menciptakan gelombang massal pekerja perempuan dan dihembuskannya isu standar ganda perempuan berdaya, mandiri dan gender equality membuat angka pernikahan dan kelahiran di negara-negara maju sangat rendah, namun di sisi lain angka perceraian sangat tinggi. Selain itu, yang membuat angka pernikahan rendah adalah pemerintah di negara-negara maju sangat perhatian, mendukung orientasi seksual yang menyimpang seperti LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender).


// Islam dan Peradabannya yang Luhur //


Sayyid Qutbh pernah mengatakan: 

"Jika Amerika menghabiskan ratusan juta dolar untuk penelitian dalam mengatasi problem sosial di masyarakatnya, maka Islam melenyapkan kebiasaan yang telah mengakar di masyarakat jahiliyah hanya dengan beberapa lembar ayat Al-qur'an"


Kiranya perkataan tersebut benar adanya. Islam memiliki solusi tuntas dalam semua permasalahan. Risalahnya yang luhur mampu menjaga bangunan masyarakat dengan penjagaan yang sempurna. Syariat Islam yang sempurna mampu menjaga akidah, negara, keamanan, kekayaan, keturunan, kemuliaan, akal, dan nyawa masyarakat.


Dan syariat Islam yang berperan menjaga masyarakatnya dari segala aspek tidak akan mungkin bisa menjaga tanpa berdirinya institusi pelindung umat, yaitu Negara Khilafah Islam. Seorang khalifah (pemimpin negara) yang memiliki visi politik, ekonomi dan sosial akan menjaga masyarakatnya dari ketimpangan ekonomi secara komprehensif, dan di sisi lain khalifah akan menolak semua pemahaman yang berasal dari Barat. Sehingga, dari sinilah Khilafah dengan syariat Islamnya mampu membentuk masyarakat yang bertakwa. Dimana pemahaman Islam melebur ke dalam pikiran dan perasaan masyarakat.


Dari masyarakat yang bertakwa maka akan lahir sebuah peradaban yang luhur. Yang tidak menghilangkan peran perempuan sebagai ibu, pengurus rumah tangga dan pendidik generasi. Yang membuat para perempuan tidak khawatir untuk melahirkan jumlah anak yang banyak karena pendidikan, kesehatan dibiayai oleh negara. Yang membuat para generasi tidak berfikir dan bertindak dengan hawa nafsu mereka.


Itulah Islam dan keluhurannya. Keluhuran yang tidak mungkin didapatkan oleh sistem Kapitalisme. Seperti pada sabda Nabi SAW, "Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya." (HR. Daruqthni)


Wallahu a'lam bi ash-shawab. []

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama