Oleh: Heni Satika (Praktisi Pendidikan)
Pemerintah merencanakan vaksinasi massal di awal tahun 2021 untuk mengatasi wabah corona. Tercatat data per Kamis, 7 Oktober 2020 pukul 16.00 terjadi penambahan 4.538 kasus baru. Penambahan itu menyebabkan total kasus covid-19 menjadi 321ribu kasus. Mengingat terus bertambahnya kasus baru covid-19 pemerintah melalui Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PCPEN) sekaligus Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan akan mempercepat vaksinasi di akhir tahun 2020.
Pihak yang digandeng untuk menyediakan vaksin tersebut adalah BUMN Indonesia PT Bio Farma dan beberapa perusahan internasional dari Cina seperti Sinovac Biotech dan perusahaan dari UEA (Uni Emirat Arab). Bekerjasama dengan berbagai pihak seperti Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI) dan The Global Alliance for Vaccines and Immunizations (GAVI).
Dilansir dari laman www.unicef.org. Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan dan Kepala Perwakilan UNICEF di Indonesia menandatangani perjanjian kerjasama yang memungkinkan untuk melakukan pengadaan vaksin dengan harga terjangkau pada Rabu (16/9) di Auditorium Siwabessy, Kemenkes, Jakarta .
“Kemitraan ini akan memungkinkan Indonesia membeli vaksin baru seperti pneumococcal conjugate vaksin (PCV) dengan harga 1/3 dari harga pasar saat ini. Jika diukur secara nasional, hal ini dapat mencegah hampir 10.000 kematian anak setiap tahun,” kata Debora Comini, Perwakilan UNICEF Indonesia.
Vaksinasi yang diperkirakan menelan biaya sebesar 21,8 Triliun digelontorkan untuk tahun anggaran 2020/2021. Vaksin tersebut akan tersedia dalam dua versi, yaitu subsidi dan non subsidi. Khusus untuk vaksin non subsidi harganya akan tergantung pada dinamika pasar.
Menurut ketua komisi pengkajian dan pengembangan badan Perlindungan Konsumen Nasional Arief Safari menyatakan rencana pemerintah untuk melepaskan vaksin Covid-19 untuk dibeli masyarakat dengan mekanisme harga pasar. Akan menyebabkan kenaikan harga yang gila-gilaan seperti harga masker dan hand sanitizer di awal pandemi.
Faktanya yang terjadi sekarang sebenarnya adalah komersialisasi vaksin. Mengimpor vaksin dari Negara lain belum tentu akan sesuai dengan situasi yang ada di Indonesia. Mengingat mereka membuat vaksin sesuai dengan virus yang terdapat di Negara mereka. Jadi efektivitas vaksin masih diragukan sampai sekarang ini.
Sebenarnya langkah efektif pernah dilakukan Khilafah pada masa Khalifah Umar bin Khattab yaitu memisahkan antara yang sakit dengan yang tidak. Bagi yang sakit Negara harus mengurus pengobatannya secara tuntas dengan mekanisme pembiayaan dari Negara. Sehingga tidak terjadi komersialisasi vaksin oleh pihak swasta.
Kemudian menutup wilayah sumber penyakit sehingga tidak menyebar ke daerah lain. Dan pemerintah menanggung kebutuhan pokok masyarakat yang terinfeksi virus. Sarana kesehatan harus cukup dan memadai sehingga tenaga medis tidak terdzalimi. Khalifah mendukung sepenuhnya upaya untuk melakukan riset penanggulangan wabah. Riset yang dilakukan sesuai wilayah terdampak sehinggga keefektifan vaksin akan terjadi.
Semua mekanisme ini didukung oleh sistem keuangan yang berbasis baitul maal, bukan ribawi atau hutang luar negeri. Pembiayaan berasal dari sumber daya alam milik umat dan dikelola oleh Negara. Kemudian dari Ghanimah, Fa’I dan kharaj.
Jika itu semua belum mencukupi maka mekanisme terakhir dengan menarik pajak hanya dari orang kaya saja. Khalifah akan menyerukan masyarakat untuk membantu dengan infaq dan shadaqah dimulai dari para pejabatnya. Sebagaimana Khalifah Umar hidup sederhana dengan makanan paling sederhana yang dimakan warganya. Contoh demikian tidak akan pernah terjadi pada sistem demokrasi. Di mana pemerintahnya mencari untung di tengah pandemi dengan komersialisasi vaksin dan berbagai test pandemi covid-19.[]