Oleh: Saptaningtyas
Anggota DPRD Kota Palembang bersama lima tersangka lainnya tertangkap Tim Gabungan BNN Pusat dan BNNP Sumsel yang di-backup Polda Sumsel (22/9). Petugas mengamankannya dengan barang bukti 5 kilogram sabu dan ribuan pil ekstasi.
Fakta mengejutkan pun terungkap. Tersangka D, seorang anggota termuda periode 2019-2024 dari fraksi Partai Golkar terlibat jaringan narkoba antarprovinsi. Ia menyuplai narkoba untuk wilayah Sumatera Selatan. Bahkan residivis kasus narkoba.
Sontak saja kasus ini menuai polemik publik. Bagaimana bisa seorang residivis dan bandar narkoba melenggang menduduki kursi wakil rakyat? Menyikapi hal itu, Komisioner KPU Palembang Divisi Teknis Penyelenggaraan, M. Joni mengatakan bahwa masa tahanan D kala itu kurang dari 5 tahun (masa tahanan). Sementara tentang bagaimana bisa mendapatkan surat bebas narkoba ia beralasan, ketika pencalonan D di Pileg 2019 lalu, dirinya belum menjabat. Pihaknya (Komisioner) baru dilantik 6 Desember 2019 (kompas.com, 25/9/2020).
Demokrasi Sistem Cacat
Kenyataan ini kian menunjukkan betapa sistem demokrasi yang diterapkan ialah sistem yang cacat. Pejabat yang lahir dari sistem ini ada yang terlibat narkoba, korupsi atau tindakan tak patut lainnya. Padahal pejabat ialah pemimpin. Mereka teladan, mendapat amanah besar untuk mengurusi rakyat. Karenanya, pejabat baik di jajaran legislatif, eksekutif maupun yudikatif semestinya orang-orang pilihan, yang terbaik iman dan amal perbuatannya.
Dapat dibayangkan, mengerikan bila petingginya justru menjadi pihak pelaku kejahatan. Bagaimana tidak, madat (narkoba) ialah ancaman bangsa yang tak terbantahkan. Jika jajaran penguasa justru menjadi pengguna bahkan pengedarnya, maka perang melawan narkoba omong kosong belaka. Alih-alih menyelamatkan, pejabat malah menjerumuskan. Naudzubillahi mindzalik.
Kecacatan demokrasi ini lantaran berasaskan sekularisme dan berpilarkan kebebasan. Sekularisme menempatkan rakyat (manusia) sebagai pemegang kedaulatan. Alhasil, segala peraturan dibuat berdasarkan sudut pandang manusia. Ditambah dengan pilar kebebasan yang dijunjung tinggi, menjadikan aturan dibuat berdasar kehendak manusia.
Manusia pun ramai melanggar aturan. Bukan rahasia bila pada akhirnya aturan dibuat berdasarkan kepentingan yang terkuat modalnya. Tidak heran seleksi dan pemilihan pemimpin bergantung modal, bukan kualitas dan kapasitas.
Islam Berantas Madat
Sistem demokrasi ini bertentangan dengan sistem pemerintahan Islam. Dalam Islam, khilafah berasaskan akidah Islam, kedaulatan bukan di tangan manusia (rakyat), melainkan milik Allah semata. Allah berfirman,
"... sesungguhnya menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah..." (QS. Yusuf:40)
Akidah Islam memandang manusia hidup untuk taat kepada Allah. Katenanya, sistem Islam tidak tegak dengan pilar kebebasan. Khilafah tegak dengan syariat. Karenanya, aturan-aturan dibuat berlandaskan syariat. Hal ini menutup peluang kecacatan hukum. Sebab syariat Islam sempurna dan paripurna, berasal dari Allah Yang Maha Sempurna.
Dalam hal pemilihan penguasa dan pejabat negara, ketentuan Islam tidaklah sembarangan. Benar-benar selektif sesuai standar syariat. Penguasa dalam Islam harus memenuhi syarat: muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu. Adil bermakna menyelesaikan persoalan umat dengan syariat. Mampu berarti mempunyai kapasitas dan kapabilitas.
Ketika khilafah bermisi menegakkan hukum Allah di muka bumi, maka penguasa, pejabat dan pegawai pemerintahan Islam pun diangkat demi tujuan tersebut. Ketika akal menjadi suatu hal yang harus dijaga, maka khilafah akan serius memberantas narkoba yang merusak akal manusia.
Dengan demikian, ketakwaaan dan komitmen kuat mengurusi urusan umat dengan syariat menjadi hal utama memilih pemimpin dalam Islam. Nabi Saw. bersabda,
"Imam adalah pengurus dan bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya." (HR Muslim dan Ahmad)
Dengan demikian, pemimpin umat yang dipilih terbaik ketakwaannya, memberi teladan taat, bukan maksiat. Dengan penerapan syariat Islam yang menyeluruh oleh khilafah, kecil peluang bagi siapa pun termasuk pejabat untuk berbuat maksiat, apalagi menyesatkan umat. Karena penerapan Islam secara kafah mewujudkan suasana ketakwaan masyarakat.[]