Mengharap Lockdown pada Demokrasi Adalah Kemustahilan

 



Penulis : Heni Satika 

(Praktisi Pendidikan)


Virus corona yang masuk ke Indonesia sejak awal Maret lalu, hingga kini belum menampakkan tanda berakhir. Bahkan daerah yang dikabarkan berwarna kuning, kini memerah lagi. Kota dengan zona merah bertambah menjadi 43 daerah. Total daerah kota atau kabupaten yang berwarna merah menjad 65 kabupaten kota. 


Selain itu terjadi pula kenaikan pada zona resiko sedang atau zona oranye dari 222 kabupaten kota menjadi 230 kabupaten kota. Sementara daerah risiko rendah alias zona kuning menurun dari 189 kabupaten kota menjadi 151 kabupaten kota. Zona hijau tidak terdampak juga makin menurun dari 30 menjadi 26 kabupaten kota.


Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan telah terjadi penambahan daerah zona merah sebanyak 43 kabupaten kota per 31 Agustus 2020. "Terlihat di sini bahwa daerah resiko tinggi (zona merah) ini terakhir naik cukup pesat dari 6,32 persen, menjadi 12,65 persen kabupaten kota yang ada di Indonesia," kata Wiku dalam konferensi pers dari Istana Negara, Selasa (1/9/2020).


Pertambahan orang yang positif corona juga mengalami penambahan, per Rabu (9/9) terjadi penambahan sebanyak 3.307 sehingga angka akumlasinya mencapai 203.342 orang. Dari jumlah akumulasi tersebut, sebanyak 145.200 (71,4 persen) sembuh dan 8.336 (4,1 persen) meninggal dunia. 


Menarik sekali menyimak komentar dari bapak Presiden, kalau penanganan di sektor kesehatan menjadi kunci agar perekonomian negara bisa kembali pulih. Hal itu disampaikan saat membuka Sidang Kabinet Paripurna untuk Penanganan Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi Tahun 2021.


Masalahnya adalah penanganan kedua sektor tersebut tidak berjalan harmonis. Penanganan masalah ekonomi juga berdampak pada bidang kesehatan. Masalah urgen adalah pola penyebaran virus. Artinya dimana orang berkumpul, kemungkinan penularannya semakin besar.


Ketika sektor perekonomian dibuka, di tempat kerja, kendaraan umum, pusat perbelanjaan dan tempat umum lainnya, akan berkumpul banyak orang dan penyebaran virus akan semakin sulit dideteksi. Ini terbukti setelah kebijakan normal life diterapkan. Penyebaran virus semakin menggila. 


Hal senada diucapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan peningkatan kasus positif Covid-19 saat ini merupakan konsekuensi dari aktivitas sektor ekonomi yang dibuka.


Mengapa tidak ditutup saja dulu sektor perekonomian, walaupun konsekuensinya roda perekonomian akan melambat ? Toh, jika virus bisa diatasi geliat ekonomi akan terlihat lagi. Kenapa pilihan pemerintah bukan melakukan lockdown ?


Jawabannya, di negara Demokrasi tidak akan mungkin pemerintah mengambil kebijakan lockdown. Karena penguasa yang sebenarnya dalam demokrasi adalah para kapital (pemilik modal).


 Lihatlah betapa banyak perusahaan yang gulung tikar akibat virus corona. Deretan perusahan besar seperti Dunkin’ Donuts akan menutup 450 gerainya. Pizza hut mengalami pailit karena terlilit utang US$1. J.Crew, perusahaan ritel asal AS, perusahaan minyak asal AS, Diamond Offshore. mengajukan pailit karena utang sekitar US$2 miliar. Brooks Brothers, ritel pakaian pria asal AS mengajukan pailit dan memecat hampir 700 pekerja di tiga negara bagian pada Juni 2020. Muji, perusahaan ritel asal Jepang. Perusahaan dekorasi rumah tangga, alat tulis, hingga pakaian itu mengajukan kebangkrutan karena terbeban utang sebesar US$50 juta hingga US$100 juta.


Maka penguasa akan didorong terus oleh pengusaha untuk tidak melockdown-kan situasi. Lockdown artinya mati surinya pengusaha, dan mereka akan menuntut tanggung jawab para penguasa. Karena yang menjadikan mereka berkuasa saat ini adalah para pengusaha. Ini menjadi sinyal lenyapnya kekuasaan mereka jika tidak didukung pengusaha.


Tidak ada yang gratis dalam  Demokrasi. Kampanye Demokrasi berbiaya besar dan membutuhkan sokongan pengusaha. Kejadian ini seperti lingkaran setan. Maka tidak mungkin berharap lockdown pada Demokrasi. Untuk menyelesaikan masalah pandemi corona.


Berbeda dengan sistem Islam, yang penguasanya tidak dipilih berdasarkan kesepakatan saja. Melainkan ada syarat-syarat syar’i yang harus dipenuhi. Tidak bisa para pengusaha berkuasa karena kedaulatan ada di tangan syara’ yang mewajibkan penguasa untuk berpegang teguh dengan syariat Islam dalam mengatur urusan masyarakat.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama