Oleh: NH Nugroho
(Anggota Komunitas Setajam Pena)
Sejak museum Hagia Sophia di Turki dikembalikan fungsinya menjadi masjid oleh Presiden Edorgan, umat Islam di seluruh dunia merasakan kegembiraan yang luar biasa. Memori kaum muslimin kembali pada sejarah 5,5 abad silam, tepatnya pada tahun 1453 M, dimana seorang al Fatih muda dengan pasukan terbaiknya telah menakhlukkan kota Konstantinopel dan menjadikan simbol kota tersebut menjadi tempat bersujud, masjid Aya Sofia (Hagia Sophia).
Umat Muhammad SAW berharap ini adalah awal dari sebuah kebangkitan untuk Islam, dan berharap tonggak sejarah peradaban Islam yang pernah jaya akan kembali terulang.
Kejayaan peradaban Islam “Khilafah” yang agung. Peradaban yang membawa umat Islam menjadi pemimpin dan mercusuar dunia hampir 13 abad lamanya. Pada saat ini, kita bisa melihat dan mendengar, semakin banyak orang berani mengatakan, sebentar lagi “era itu” akan datang. Era Khilafah yang ditunggu dan dirindu oleh seluruh kaum muslimin.
Sebuah majalah Turki “Gercek Hayat” (kehidupan sejati) menyerukan pendirian Kekhalifahan Islam. Di sampul depan majalah tersebut tertulis “Kini Hagia Sophia dan Turki sudah independen”. Mari bersama membangun Kekhalifahan. Jika bukan sekarang maka kapan lagi. Kalau bukan Anda lalu siapa? Sebagian kalangan menyebut “Anda” dalam kalimat itu adalah seruan bagi Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (Duniaekspress. com, 29 Juli 2020).
Tetapi kenyataannya harapan umat yang disampaikan oleh majalah tersebut justru mendapat penolakan dari partai yang membawa Erdogan ke tampuk kepresidenan. Partai yang saat ini berkuasa menolak seruan untuk kembali ke khilafahan. Mereka meyakinkan kaum skeptis bahwa Turki akan tetap menjadi sebuah negara dengan sistem republik. Turki tetap menjadi negara sekuler, meskipun Erdogan sering membuat kebijakan yang membuat senang umat islam di dunia. Meskipun Turki adalah Negara Eropa yang dipimpin seorang muslim, tetapi ia lahir dari partai sekuler. Lantas bagaimana mungkin sebuah partai sekuler akan mewujudkan berdirinya sebuah sistem yang akan menghapus sekulerisme itu sendiri.
Inilah wajah asli dari demokrasi-sekuler, wajah hipokrit. Mereka menyampaikan pada dunia bahwa Museum Hagia Sophia telah berhasil dikembalikan menjadi masjid, akan tetapi ajakan agung untuk menegakkan kembali Khilafah yang akan menerapkan Islam kaffah ditampik. Walaupun telah terdengar adzan di Masjid itu, tapi ia tidak berani untuk menerima Islam secara seutuhnya. Turki masih sebagai negera sekuler seperti awal saat Mustafa Kamal menghilangkan kekhilafahan Usmani. Mengubah negara Islam menjadi Negara sekuler.
Turki masih menjalin hubungan mesra dengan Israel, sebuah “ koloni” yang merampas tanah yang dibebaskan oleh Khalifah Umar bin Khathab. Hingga umat Islam Palestina, yang hidup di negerinya terusir dari tanahnya sendiri. Tanah yang selamanya menjadi milik kaum muslim. Dalam hal ini Turki hanya ingin memberitahu dunia ini, “Aku” dengan kesekuleranku bisa membawa kemajuan bagi dunia. Dengan sekuler bisa mengubah arah dunia padaku. Turki ingin bernostalgia dengan kejayaan itu.
Apalagi negara-negara Eropa yang selama ini identik dengan pengusung demokrasi tidak akan pernah rela apabila Islam yang menjadi pemimpin peradaban. Karena disaat agama ini telah menjadi Idiolagi berarti segala hal yang bertentangan dengan aqidah Islam akan hilang. Segala hal yang bertentangan dengan Islam itu saat ini yang dibawa dan disuarakan oleh demokerasi-sekuler. Sebab merekalah yang menikmati hasil dari kondisi ini. Kondisi yang menghalalkan segala cara dalam hidupnya. Justru mereka akan terus berusaha menghalangi terwujudnya Negara adidaya ini tegak.
Layakkah kaum muslim berharap pada Negara berpandangan sekuler? Masihkah berharap pada Erdogan untuk mewujudkkannya?
Yang bisa mewujudkan Khilafah hanya kita sendiri, kaum muslim yang mau menjadikan Islam sebagai agama ruhiyah dan dan agama siyasi (politik). Tanpa kita menggunakan keduanya kita tidak akan bisa menuju ke arah sana. Di saat agama hanya digunakan sebagai agama ruhiyah, kita tak ubahnya seperti umat beragama lain. Tuhan hanya ada saat kita beribadah saja. Tetapi di saat kita menjadikan Islam sebagai agama siyasi, kita meyakini bahwa Islam adalah agama yang diturunkan oleh Sang Pencipta melalui Muhammad Rusululloh untuk mengatur manusia di dunia agar berjalan sesuai syariat-Nya. Di sinilah akhirnya kita sebagai manusia diminta tunduk pada semua aturan Alloh SWT yang dibawa Kekasih-Nya, Rasululloh SAW.
Saat manusia bisa menerima ketundukkan itulah, dalam jiwanya sudah terpatri “Islam of My Life“. Bersama dengannya akan mengalir mabda, dan orang yang bermabda inilah yang bisa mewujudkan cita-cita agung itu. Khilafah alaa minhaj Nubuwah.
Allohu’alam bisshowab.[]