POP Didominasi Kepentingan Korporasi


Oleh : Tyas Ummu Amira

Akhir - akhir ini dunia pendidikan selalu memberikan program yang ambigu dan tak jelas visi misinya. Terlihat dari kebijkan POP yang diluncurkan seakan menuai kontroversi dalam berbagai pihak khusunya tenaga pendidik serta berbagai ormas. Program penggerak pendidikan yang disinyalir mampu memberikan kontribusi nyata untuk meningkatkan kualitas guru dan peserta didik, akan tetapi justru membuat APBN menelan dana begitu fantastis.

Dilansir dari laman Tr.com, Jakarta. Mundurnya Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Lembaga Pendidikan Ma'arif PBNU, serta Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI),dari Program Organisasi Penggerak (POP) milik Kemendikbud diminta jadi perhatian serius oleh Presiden Joko Widodo.

Anggota DPR RI fraksi Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan, mundurnya tiga organisasi itu telah mendelegitimasi program POP.
Program ini bertujuan memberikan pelatihan dan pendampingan bagi para guru penggerak untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan peserta didik.

 "Di atas kertas, konsepnya kelihatan bagus. Namun, konsep yang bagus saja terbukti tidaklah cukup. Ada banyak aspek lain yang harus dipertimbangkan," kata Fadli, Sabtu (25/7/2020).

Dari fakta yang terjadi diatas, bahwa program - program yang dirancang Mendikbud membuat masyarakat bingung, sebab tujuan di adakanya POP untuk meningkatkan kualitas guru akan tetapi proses seleksi dan payung badan hukumnya kurang jelas. Dilain sisi juga mengabiskan dana begitu besar. Seperti dijelaskan pihak Komisi X DPR RI, ternyata memakan biaya APBN senilai Rp. 595 miliar. Belakangan, program penggerak inilah yang menimbulkan polemik (detiknews,24/7/2020).

Di tengah pandemi  seharusnya banyak anggaran dana yang dapat diprioritaskan untuk kepentingan mendesak dan urgent, misalkan menyediakan fasilitas belajar daring dimana masih banyak anak - anak yang terkendala akan hal itu. Apalagi yang berada di daerah 3T ( Terluar, Terdepan, Tertinggal).

Jika disoroti lebih dalam memang POP ini dilatarbelakangi oleh kepentingan perusahan besar dibaliknya. Dikutip dari laman Masuknya Sampoerna Fondation dan Tanoto Foundation ke dalam daftar penerimaan hibah dari Kemendikbud merupakan langkah yang tidak etis. Dua lembaga ini dinilai terafiliasi dengan korporasi yang dinilai tidak dibutuhkan hibah APBN, ujar Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda (kompas.com, 23/7/2020).

Memang sudah dapat di lihat bahwa program ini patut untuk dihentikan, sebab hanya menguntungkan para korporasi dan sekutunya. Di sisi lain masyarakat sudah terhimpit dengan kehidupan kapitalistik yang sudah merampasl hak - hak kaum pri bumi. Hidup di sistem ini bagaikan "ikan hidup di padang pasir" yang tidak bisa bernafas, dan akhirnya mati pelan - pelan karena memang memang bukan habitat aslinya hidup di daratan yang kering kerontang.

Sama halnya seperti umat islam saat ini yang hidup dalam sistem kapitalis, semua serba sulit dan butuh uang, mulai dari kebutuhan pokok yang harga semakin melejit, tarif listrik, dan biaya pendidikan pun juga mahal. Apalagi di musim pandemi saat ini, seakan guncangan datang bertubi - tubi tanpa ada solusi yang pasti.

Seyogjanya pemangku kebijakan negeri ini memprioritas masalah yang lebih urgent seperti sekarang ini, daripada menggalakan POP yang sama sekali tak ada hasil konkrit, justru menghabiskan dana yang begitu besarnya. Dengan lolosnya 2 korporasi raksasa yaitu, Sampoerna Fondation dan Tanoto Foundation ke dalam daftar penerimaan hibah dari Kemendikbud, ini disinyalir akan mengkokohkan para kaum kapitalis.

Dari sini terbukti bawah arah regulasi ini menguntungkan para koorporasi yang notabene mereka adalah perusahan besar. Alhasil jika POP ini terus berlanjut bisa dipastikan bahwa tenaga pengajar dan peserta didik semakin terhinakan. Lantaran sistem pendidikan yang beralih fungsi sebagai ajang bisnis, yang memihak pemilik modal. Belum selesai masalah itu output yang dihasilkan juga ada bermental matrealistik dan kapitalistik serta jauh dari norma agama.

Dengan ini begitu jelas sistem kapitalis ini merusak semua lini kehidupan, khususnya dunia pendidikan yang semakin terpuruk dan kaburnya visi misi untuk mencetak generasi penerus bangsa.

Maka dari itu butuh sistem yang mampu untuk mengatasi semua problematika ini.
Sistem yang mumpuni dan layak hanyalah sistem Islam.
Kenapa harus memakai sistem Islam?
Sebab sistem Islam memiliki berbagai cara mengatasi solusi atas promblematika umat.

Salah satunya dalam bidang pendidikan, Islam sangat memuliahkan tugas guru sebagai  pendidik generasi masa depan.
Sebagaimana dalam hadist Rasulullah SAW berikut ini:
"Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama.” (HR Ahmad dan disahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami).

 Peranya sangat dihormati dan dihargai, sampai sampai gaji yang diberikan, pada masa Khalifah Umar Bin Khaththab  adalah sebesar 15 dinar.Nurman Kholis, peneliti Pulitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, menyatakan di laman Wakala Induk Nusantara bahwa gaji guru sebesar 15 dinar itu setara dengan 4,25 gram emas/dinarnya. Di tahun 2011, satu dinar senilai dengan Rp2.285.000,-. Artinya gaji guru saat itu berkisar Rp33.870.000,-.

Demikianlah Islam memandang tenaga pendidik ini memberikan sumbangsih yang luar biasa, dari ilmu yang diberikan untuk para peserta didiknya. Sehingga harkat dan martabatnya di hargai sebagai imbal jasa yang diberikan kepada negara sebab telah menunaikan tugasnya dengan amanah. Serta melahirkan generasi unggul untuk unjung tombak peradaban Islam.

Waallahu'alam bhisowab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama