Oleh: Yuyun Rumiwati
Pendemi yang masih menguji kondisi negeri ini. Dengan berbagai dampak di tiap lini. Kondisi ini membuat pemerintah berkerut kening memikirkan nomalisasi aset pemasukan. Termasuk dari jalur pariwisata.
Pemerintah masih belum membuka pintu bagi turis asing dan mengandalkan turis domestik untuk memulihkan sektor pariwisata yang ambrol akibat pandemi covid-19.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan salah satu upaya yang akan dilakukan adalah mendorong umat Islam yang tak bisa umrah tahun ini untuk berwisata di dalam negeri (CNNIndonesia, 13/8/2020)
Mencermati kebijakan pemerintah terkait peningkatan aset pariwisata dengan menjadi jama'ah batal umroh, ada beberapa catatan penting, diantaranya:
Pertama: Jama'ah batal Umrah berniat Ibadah bukan Sekedar Melancong.
Menjadikan jama'ah gagal umrah sebagai aset untuk memperkuat wisatawan domestik sungguh sangat menggelikan. Pandangan ini menunjukkan kurang cermatnya memandang apa motivasi jama'ah umroh.
Misi jama'ah Umroh untuk ibadah. Untuk taqorub pada Allah Bukan melancong. Meski di lapangan pihak travel umroh menyediakan paket kunjungan ke beberapa negara yang memiliki daya tarik wisata bagus, semisal. Mesir dan lainnya. Itu hanya tambahan. Bukan misi utama.
Bahkan pilihan kunjungan jama'ah Umroh pun yang tentu masih berkait dengan jejak wisata agama. Tentu ini berbeda dengan tawaran wisata di nusantara. Meski beberapa tempat yang menyajikan wisata religius ada di sini ada.
Karenanya kurang tepatlah menjadikan jama'ah gagal umroh sebagai aset wisatawan domestik.
Kedua: Mempertanyakan Empati penguasa
Melihat jama'ah gagal berangkat umroh yang tentu kecewa. Seharusnya penguasa hadir untuk empati dan menguatkan. Bukan, sebaliknya malah memanfaatkan untuk kepentingan bisnis pariwisata.
Ketiga: Aroma Pemanfaatan Umat Untuk Bisnis Konglomerat
Diakui atau tidak lahan pariwisata yang ada di negeri ini tak lepas dari pengelolaan para konglomerat. Meski ada uang dalam pengelolaan kota atau negara. Namun, jumlah dan kualitasnya jauh dari yang dikelola swasta.
Ketajaman bisnis menkomarves cukup tajam melihat potensi umat Islam amat besar. Terlebih antisipasi dalam berumrah. Tentu pembacaan peluang ini kurang pas untuk kalangan pejabat negara.
Pejabat negara dan penguasa dipilih oleh rakyat bentuk memudahkan terpenuhinya kebutuhan rakyatnya. Bukan, memanfaatkan rakyat ya terlebih kaum muslimin
Kondisi tersebut kian memperkuat indikasi dan persepsi di tengah umat. Bahwa umat Islam dianggap ketika menguntungkan negara dan kroninya dari sisi ekonomi atau vinansial.
Berbeda ketika potensi umat untuk memperkuat kecerdasan pemikiran dan penguasa lebih terhadap agamanya. Justru untuk aspek ini umat Islam justru dianggap sebagai biang pemicu kekacauan dan keradikalan.
Karenanya pihak penguasa butuh lebih peka melihat kebutuhan rakyat terlebih umat Islam dengan populasi terbesar di negeri ini. Tak layak memanfaatkan potensi mereka terhadap usaha yang kurang jelas kemanfaatannya.
Keempat: Lemahnya skala prioritas dalam kebijakan.
Pengambil kebijakan untuk genjot pariwisata dengan peningkatan wisatawan domestik. Menunjukkan cara pengambilan kebijakan yang belum memenuhi skala prioritas berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Aspek kestabilan pangan, harga tarif listrik, air dan kesehatan butuh lebih didahulukan mengingat ini urgen untuk kelangsungan hidup rakyat. Sedang aspek pariwisata sebagai kebutuhan sekunder bahkan tersier bagi umat bisa ditangguhkan lebih dulu.
Kelima: Islam cara beradab
Islam telah menuntut baik secara metode baku untuk menyelesaikan permasalahan umat termasuk terhentinya beberapa roda ekonomi.
Islam pun mengajarkan fikrul ulawiyat (skala prioritas) dalam beramal. Terlebih amal besar tugas kepemimpinan dalam mengambil kebijakan.
Penguasa Islam dalam kebijakan akan mendahulukan aspek kesehatan menjadi priory utama. Kemudian pengamanan kondisi ekonomi, pendidikan dan aspek pelayanan umum lainnya.
Negara khilafah tidak akan dibingungkan dengan anggaran yang akan ditanggung negara untuk pemenuhan hak rakyat. Karena aset strategis SDA milik umat benar difungsikan sebagaimana haknya. Bukan dijual atau diinvestasikan ke pihak swasta baik asing maupun luar negeri.
Dan Kebijakan ini tentu tidak bisa terlepas dari kebijakan Penerapan totak syariat Islam secara Kaffah. Tanpa penerapan yang komperhensif akan membuka peluang gambling di sisi lain. Misal dilaksanakan syariah di dunia ekonomi, tapi politiknya madih sistem kapitalis. Tentu penerapan ekonomi Islam hanya sekedar harapan. Karena hak ini akan bertolak belakang dengan Kebijakan politik ekonomi Kapitalisme global.
Karenanya kebutuhan untuk kebangkitan kesadaran umat untuk kembali pada solusi Islam yang amat dibutuhkan. Karenanya inilah potensi besar yang berpeluang untuk mengembalikan keberkahan dan Rahmad kembali hadir di bumi ini. Sebagaimana dalam firman Allah QS. Al- A'rof 96
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ
_"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya."_
[]