Kebijakan Sekolah Tatap Muka, Risiko Mengintai Siswa

 

Oleh : Watini Alfadiyah, S. Pd. 

(Praktisi Pendidikan)


Sekolah tatap muka kini menjadi tuntutan dan harapan bagi sebagian kalangan masyarakat dalam rangka untuk mencapai target pembelajaran serta mengurai kendala belajar jarak jauh. Mendikbud Nadiem Makarim mengumumkan bahwa  SMK dan perguruan tinggi di seluruh zona sudah diperbolehkan untuk melakukan sekolah secara tatap muka. Namun Nadiem tetap menegaskan bahwa protokol kesehatan harus tetap dilakukan secara ketat. Hal tersebut ia ungkapkan dalam konferensi pers secara virtual pada Jumat (7/8/2020).


Untuk SMK maupun perguruan tinggi di semua tempat boleh melakukan praktik di sekolah, yaitu pembelajaran produktif yang menetapkan protokol. Yang harus menggunakan mesin, laboratorium ini bisa untuk melaksanakan praktik tersebut, kata Nadiem "Ini untuk kelulusan SMK (dan) perguruan tinggi kita ini terjaga. Semua mata pelajaran yang bersifat teori masih harus dilakukan dengan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh)," tuturnya.


Sementara untuk jenjang lain seperti SD, SMP, dan SMA yang berada di zona kuning dan zona hijau, pembelajaran tatap muka juga dapat dilakukan. Namun pembelajaran tersebut menggunakan ketentuan maksimal peserta didik yang hadir sebanyak 18 anak. Sementara sebagian siswa di waktu selanjutnya. Sistem ini harus dilakukan dan wajib menggunakan sistem rotasi.


Perilaku wajib yang harus dilakukan semua wajib menggunakan masker, mencuci tangan, hand sanitizer, menjaga jarak 1,5 meter, dan tidak melakukan kontak," jelasnya.


Kepala sekolah wajib melaksanakan daftar ceklis, kesiapan melakukan pembelajaran tatap muka, pertama kebersihan, akses fasilitas kesehatan, memiliki thermal gun, pemetaan warga satuan pendidikan, kesepakatan satuan pendidikan dengan orang tua bahwa mereka akan melakukan pembelajaran tatap muka," tuturnya. (Jum'at, 07/08/2020/GridHITS.id).


Dilain sisi, Ketua Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Arist Merdeka Sirait memberikan tanggapan terkait adanya rencana pembelajaran tatap muka di sekolah. Arist Sirait menilai bahwa keputusan dari Kemendikbud tersebut belum tepat waktunya, mengingat risiko untuk tertular masih ada, terlebih untuk zona kuning. Dirinya menegaskan bukan karena tidak percaya dengan protokol kesehatan yang digalakkan oleh pemerintah dan pihak sekolah. Namun menurutnya, lebih melihat dari sudut pandang siswa, khususnya untuk sekolah dasar yang memiliki sifat masih kekanak-kanakkan.


"Siapa yang menjamin ini? Sekali lagi pertimbangannya adalah dunia anak adalah dunia bermain," ujar Sirait, dalam acara Kabar Siang, Sabtu (8/8/2020). Sirait lantas mempertanyakan sikap dan peran dari pemerintah yang justru terkesan memaksakan dan lebih memilih mempertaruhkan risiko.


Menurutnya, seharusnya peran pemerintah di bidang pendidikan dalam kondisi saat ini adalah memikirkan bagaiman cara untuk memudahkan pembelajaran jarak jauh atau pembelajaran online yang tentunya memiliki risiko tertular terbilang rendah.(Sabtu, 08/08/2020/TRIBUNNEWS.COM).


Dari wacana diatas terlihat bahwasanya pemerintah telah merespon tuntutan dan harapan dari sebagian kalangan masyarakat dengan membuat kebijakan yang sporadis, tidak terarah, dan sebatas memenuhi desakan publik tanpa diiringi dengan adanya persiapan yang memadai sehingga risiko bahaya bisa diminimalisir.


Kalaupun, pemerintah membuat kebijakan mengijinkan penggunaan dana BOS untuk keperluan kuota internet sedangkan masalah ketidakadaannya  jaringan internet tidak dicarikan solusi.


Bahkan, pemerintah mengijinkan semua SMK dan PT disemua zona untuk belajar dengan tatap muka agar bisa praktik namun tidak diimbangi dengan penyiapan protokol kesehatan.


Bahkan, terlihat kebijakan pemerintah berubah-ubah tentang kebijakan kebolehan tatap muka di zona kuning-hijau sampai ada wacana membuat kurikulum darurat selama BDR.


Semua fakta kebijakan tersebut telah menunjukkan lemahnya pemerintah sekuler dalam mengatasi masalah pendidikan, dimana semua itu terjadi akibat tersandranya kebijakan dengan kepentingan ekonomi.  Sementara, tidak ada jaminan pendidikan sebagai suatu kebutuhan publik yang wajib dijamin pemenuhan dan penyelenggaraannya oleh negara.


Lantas bagaimana gambaran sistem Islam yang sangat berbeda dengan sistem kapitalis, dalam sistem Islam (Khilafah), kepala negara (Khalifah) adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua warga negara. Negara hadir sebagai pelaksana (operator, bukan regulator atau fisilitator) dalam pelayanan pendidikan.


Hal ini karena Islam telah memandatkan kepada negara berupa tanggung jawab pengurusan seluruh urusan umat. Sebagaimana dalam hadis dinyatakan:


“Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)


Adapun gambaran sistem pendidikan Islam  bisa kita lirik sebagai solusi tepat dimasa pandemi kini. Pertama, pendidikan haruslah diselenggarakan dengan landasan akidah Islam. Sekolah dan guru bahkan orang tua haruslah mendidik karena dorongan iman, yaitu melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa ta’ala. Pendidikan pun harus ditujukan untuk menghasilkan output pendidikan yang berkepribadian Islam (pola pikir dan pola sikapnya sesuai dengan Islam). Artinya, peserta didik dipahamkan tsaqafah (ilmu-ilmu) ke-Islaman, di samping diajarkan ilmu-ilmu terapan (kimia, fisika, teknik, kedokteran, dan lain-lain) serta kecakapan hidup.


Di masa pandemi, landasan dan tujuan ini harus tetap dikuatkan. Terlebih, sejatinya manusia amat lemah untuk bisa mendapatkan jalan keluar dari pandemi, melainkan jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala berkenan memberi kemudahan. Maka pendidikan haruslah menguatkan taqwa berupa ketundukan kepada Allah Swt secara totalitas.


Kedua, kurikulum haruslah disusun mengikuti tujuan tersebut. Negara disini harus menyusun materi pengajaran secara lengkap dan efektif sesuai jenjang usia. Bobot materi tsaqafah Islam dan ilmu-ilmu terapan (umum) harus seimbang. Ilmu-ilmu yang mengasah kecakapan hidup pun harus selalu menyertai dalam rangka membentuk kepribadian Islam.


Apalagi di masa pandemi. Belajar, baik dengan tatap muka maupun jarak jauh, tetaplah akan dilakukan dengan senang hati. Guru akan berusaha kreatif menyajikan kurikulum secara baik. Siswa pun siap menerima ilmu. Inilah yang membedakan dengan proses pembelajaran selama ini. Kurikulum yang sangat padat serta nihil dari aspek ruhiyah tentu dirasa sebagai beban yang berat oleh semua.


Ketiga, metode pengajarannya harus shahih. Sejatinya, pendidikan tidak diselenggarakan untuk kemewahan (kekayaan) intelektual semata. Namun, untuk membentuk perilaku. Hal ini tentu sangat tergantung pada metode penyampaian ilmu.


Dalam Islam, metode pengajaran yang shahih berupa proses penyampaian pemikiran oleh guru dan penerimaan oleh siswa. Di dalamnya terjadi proses berpikir. Yakni, adanya penggambaran atas fakta (ilmu yang disampaikan) yang diberikan guru kepada siswa. Inilah yang dimaksud dengan proses penerimaan yang disertai proses berpikir (talqiyan fikriyan) yang berhasil memengaruhi perilaku.

Jadi, standar keberhasilan belajar bukanlah nilai. Namun, perilaku dan kemampuan memahami ilmu untuk diamalkan. Ini pula yang membedakan asesmen belajar dalam sistem pendidikan saat ini. Sehingga, setiap guru harus memiliki kecakapan dalam metode pengajaran tersebut. Dalam kondisi pandemi prinsip ini tetap harus menjadi perhatian.


Keempat, menggunakan teknik dan sarana pengajaran yang shahih. Belajar tatap muka tentu berbeda tekniknya dengan jarak jauh. Teknologi informasi bisa dimanfaatkan untuk merealisasikan target pendidikan. Yang penting, teknik apa pun tidak boleh mengabaikan metode talqiyan fikriyan. Karenanya, yang dibutuhkan adalah kesabaran dan ketekunan guru dalam proses pengajaran, baik tatap muka maupun jarak jauh. Ketika tanggung jawab selalu diemban oleh setiap pendidik, maka proses pendidikan akan tetap produktif dengan segala dinamikanya.


Kelima, dukungan langsung dan sepenuhnya dari negara pada semua aspek termasuk anggaran. Hal ini agar setiap individu masyarakat terjamin hak pendidikannya pada semua kegiatan pembelajaran. Situasi pandemi memang lebih menguras tenaga dan biaya. Karenanya, harus diantisipasi oleh negara dengan memberikan model pembiayaan berbasis baitulmal. Baitulmal didesain untuk memiliki kemampuan finansial terbaik bagi berjalannya fungsi negara pada kondisi apapun.


Demikianlah, pendidikan di masa pandemi jelas membutuhkan perlakuan dan perhatian serius dari negara. Sebab, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Jika negara tidak menyiapkan segala yang dibutuhkan maka negara telah berlaku zalim, karena mengabaikan hak warga negaranya.


Semua prinsip di atas merupakan bagian integral dari penerapan syariah Islam secara kaffah. Karenanya, penerapannya membutuhkan kehadiran Khilafah. Sebab, Khilafah merupakan satu-satunya metode penerapan Islam.


Walhasil, meskipun dimasa pandemi pendidikan akan tetap berjalan bahkan walaupun tatap muka risiko tidak akan mengintai siswa, karena negara  menerapkan sistem pendidikan Islam dan menerapkan hukum Islam secara kaffah. Wallahu a’lam bi-ashowab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama