Oleh : Risma Aprilia (Aktivis Muslimah Majalengka)
Masa pandemi yang belum berakhir memaksa masyarakat kalangan menengah ke bawah memutar seribu cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk para ibu rumah tangga, harus pandai-pandai dalam mengelola keuangan keluarga.
Selama 3 bulan kemarin Pemerintah berusaha untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang terkena dampak ekonomi dari terjadinya pandemi Covid-19 ini, berupa sembako, maupun uang tunai. Namun karena kurangnya pengawasan dan kurang tepatnya pemberian bantuan, akhirnya banyak dari kalangan masyarakat yang protes dan tidak terima.
Baru-baru ini Pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan untuk memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai) untuk pekerja swasta yang bergaji di bawah 5 juta dan peserta BPJS. Tujuannya agar mendongkrak konsumsi dan menggerakkan ekonomi riil.
Bantuan Rp 600 ribu per bulan buat pegawai swasta dengan gaji di bawah Rp 5 juta/bulan akan cair dua bulan sekali. Artinya, pegawai swasta akan memperoleh Rp 1,2 juta dalam 1 kali pencairan.
Syarat untuk memperoleh subsidi gaji tersebut harus pekerja yang aktif terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan dengan iuran di bawah Rp 150.000/bulan atau setara dengan gaji di bawah Rp 5 juta/bulan.
"Penerima subsidi gaji (bantuan Rp 600 ribu) adalah pekerja yang membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini sebagai apresiasi bagi para pekerja yang terdaftar dan membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan," pungkas Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam keterangan resminya, Jumat (7/8/2020). (www.finance.detik.com, 7/7/2020).
Namun kebijakan ini salah sasaran dan hanya menegaskan bahwa Pemerintah tidak serius mencari jalan keluar atas persoalan yg dihadapi rakyat. Karena yang membutuhkan bantuan konsumsi harian adalah korban PHK dan pekerja harian, dimana mereka tidak punya penghasilan tetap.
Dari sini bisa dilihat Pemerintah diskriminatif karena memberikan BLT pada peserta BPJS dan tidak peduli pada pekerja honorer K2 yg sudah mengabdi bagi rakyat sepanjang 16 tahun lebih.
Serta target untuk menaikkan konsumsi agar mendongkrak pertumbuhan tidak akan tercapai karena secara teori pekerja kelas ini akan menggunakan BLT untuk simpanan, yang perlu dilakukan para pekerja swasta seperti ini cukup dengan mengelola keuangannya dengan baik selama pandemi berlangsung.
Beginilah jika sistem yang diterapkan negara bukan sistem Islam, pasti akan ditemukan banyak kecacatan, niat hati memperbaiki ekonomi masyarakatnya, namun pada pelaksanaannya justru banyak masyarakat yang tidak mendapatkan pelayanan dan bantuan.
Selain salah sasaran, cacatnya dari sistem Kapitalis Demokrasi ini ialah adanya berbagai macam syarat dalam penerima bantuan, artinya jika masyarakat ingin mendapat bantuan harus memenuhi berbagai syarat sesuai kehendak Pemerintah. Padahal bukan seperti itu karakter seorang penguasa dalam mensejahterakan rakyatnya.
Tidak seperti dalam Islam, dimana masyarakat yang hidup dalam naungan Islam, akan terpenuhi segala kebutuhan hidupnya, terutama dimasa-masa sulit seperti saat ini. Bahkan tidak dimasa sulit pun negara membebaskan biaya kesehatan, pendidikan, tentunya dengan fasilitas yang terbaik.
Negara dengan sukarela memberi bantuan pada rakyatnya yang membutuhkan tanpa ada syarat yang memberatkan, karena kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat ialah hal penting yang harus diutamakan, karena kepemimpinan seorang penguasa akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah kelak. Wallahu'alam bishawab.[]