FENOMENA POLITIK OLIGARKI DAN DINASTI POLITIK DEMOKRASI



Oleh : Lia Eviyanti, S.I.K
(Pegiat Literasi & Politik)

Indonesia kini diwarnai fenomena politik oligarki oleh partai politik berkuasa dan politik dinasti yang dilakukan individu-individu penguasa. Pilkada tak luput jadi sasaran utama nya. Beberapa tahun yang lalu Indonesia dihebohkan dengan terbongkarnya upaya pembentukan dinasti politik di Banten. Dinasti politik tersebut terbongkar setelah salah satu pejabat daerahnya tersandung kasus korupsi. Begitu kontroversialnya, sederet pejabat daerah yang termasuk kerabat dekatnya pun turut terseret dalam kasusnya.

SEDERET NAMA PENGISI DINASTI

Bukan lagi narasi fiksi namun telah jadi pergerakan pasti. Beberapa penguasa pun mulai berambisi menguasai negeri dengan jalan dinasti. Sebut saja Presiden Joko Widodo yang belakangan santer diberitakan tengah berupaya membangun dinasti politik. Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi tercatat sebagai salah satu calon Wali Kota Solo 2020 dari partai politik PDI-Perjuangan.

Kemudian, Siti Nur Azizah yang tidak lain adalah putri Wakil Presiden Ma'aruf Amin juga maju dalam pemilihan kepala daerah diusung oleh PKS. Selain itu, Rahayu Saraswati, keponakan dari Prabowo Sugianto juga maju sebagai calon Wali Kota Tangerang Selatan 2020. Pilar Saga Ichsan yang tidak lain adalah anak Bupati Serang, Ratu Tatu Chasanah yang telah resmi diusung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga maju dalam Pilkada 2020. (Akurat.co)

PEMIMPIN DALAM DEMOKRASI

Begitu mudahnya sistem kapitalis sekuler memilih pemimpin dalam demokrasi. Tidak ada syarat dan ketentuan khusus untuk maju dalam pemilu. Ijazah bisa seadanya, asal pencitraannya luar biasa. Tidak lupa modal kuat didompetnya. Juga para kapitalis dibelakangnya. Meski pemilu jalan tempuhnya, namun nyatanya hanya formalitas semata.

Partai politik dijadikan tunggangan untuk mencapai kekuasaannya. Kursi kekuasaan pun siap di dudukinya. Dengan bangga berlenggang jabatannya. Bergelimang harta dari kekuasaannya. Memiliki hak mengubah dan membuat kebijakan semaunya. Siapa yang tak mau berada di posisinya. Pemimpin negeri demokrasi! Ya, itulah sebabnya mengapa sistem kapitalis sekuler semakin langgeng menjajahi negeri tercinta ini.

Namun sayangnya, dibalik kemudahan menjadi pemimpin negeri demokrasi, yang sudah jelas menganut sistem kapitalis sekuler, yang selalu mempertimbangkan aspek untung dan rugi, mereka harus membayar mahal tunggangan menuju kursi kekuasaan. Selain berupa materi, balas budi juga dikantongi.

Maka wajar, jika banyak penguasa yang akhirnya banting stir merampok uang negara. Menjual aset-aset berharga negara. Mempermainkan banyak mata dengan kecerdasannya memeras rakyat jelata. Hingga berakhir antri di penjara karena ulah balas jasanya yang tak kuasa. Itu hanya beberapa yang jelas terpampang didepan layar kaca.

KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

Berbeda dengan sistem Islam. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dengan sangat baik. Bukan hanya perkara akidah dan ibadah, namun juga dalam memilih pemimpin (Imam). Dalam al-Qadhi an-Nabhani, baik dalam kitabnya, as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah al-Juz’u at-Tsâni, dan Nidzâm al-Hukmi fî al-Islâm. Pemimpin itu harus memenuhi syarat (Imâmah). Syarat itu adalah, harus Muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, mampu melaksanakan amanat (Imâmah).

Memilih pemimpin dalam sistem Islam betul-betul sesuai dengan tuntunan syariat. Bukan perkara main-main dan asal pilih. Karena menjadi pemimpin pun atas dasar keimanan, bukan hawa nafsu dan kekuasaan belaka. Sedangkan dalam sistem kapitalis sekuler memberikan kebebasan pada siapapun untuk menjadi pemimpin meskipun bukan seorang muslim.
Selain itu, adil yang ada dalam sistem kapitalis sekuler pun sejatinya tidak diperoleh oleh seluruh rakyat, namun hanya para wakil rakyat. Seperti halnya hukum yang tumpul keatas namun tajam kebawah. Maka tak bisa diharapkan lagi keadilan dari sistem kapitalis sekuler yang rusak.

Belum lagi mampu melaksanakan amanat yang seperti apa pemimpin dalam sistem kapitalis ini? Mungkin hanya omong kosong belaka. Bak saat pilkada obral janji, setelah duduki kursi kekuasaan negeri lupa berikan bukti. Berkuasa karena hawa nafsu belaka, bukan wahyu semata.

Sedangkan sistem Islam tegak di atas asas akidah Islam. Oleh karenanya, posisi kepemimpinan dalam sistem Islam sangat penting dalam penerapan hukum-hukum syariat Islam. Pemimpin dalam kepemimpinan Islam menempatkan dirinya sebagai ra'in (pengurus) sekaligus junnah (pelindung) bagi umat. Pemimpin akan bersungguh-sungguh melaksanakan tugasnya tersebut karena memiliki kesadaran akan beratnya pertanggungjawaban di sisi Allah SW.

Sehingga fungsi pengurus dan pelindung umat akan betul-betul tertunaikan secara maksimal. Namun semua itu hanya akan mampu terwujud jika sistem Islam diterapkan secara totalitas. Mengambil seluruh hukum-hukum Islam dan membuang sistem kapitalis sekuler.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama