New Normal Efektifkah?



Oleh: Siti Mutmainah

Sudah jatuh tertimpa tangga. Tampaknya demikian yang tengah dialami rakyat negeri ini. Ditengah pandemi dengan grafik penderita yang terus menanjak naik, justru pemerintah mengeluarkan wacana agar masyarakat mempersiapkan diri untuk menghadapi new normal life , hidup di era normal baru.  Apakah benar ini akan efektif mengatasi berbagai persoalan akibat pandemi?

Beberapa bulan wabah cofid-19 melanda dunia termasuk Indonesia. Pemerintah mengajak masyarakat untuk bersama-sama memerangi virus yang telah menyebar dengan cepat. Kebijakan demi kebijakan ditetapkan oleh pemerintah untuk mengantisipasi persebaran virus. menetapkan  social distancing, yang kemudian berubah lagi menjadi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Tempat ibadah, sekolah-sekolah, ditutup, perkantoran, dan  berbagai moda transportasi dihentikan operasianya, acara-acara yang mengumpulkan orang banyak ditiadakan, dan diganti melalui daring,  untuk meminimalkan pergerakan virus.

Belum lagi kurva penderita covid-19 melandai, pada akhir bulan Mei Presiden menyampaikan agar masyarakat berdamai dengan virus. Hal yang bertolak belakang dengan pernyataan sebelumnya yang mengajak untuk memerangi virus. Tak lama kemudian PSBB mulai dilonggarkan, moda transportasi mulai dioperasikan lagi, tempat-tempat pusat ekonomi beroperasi kembali.

Tak sampai di situ, masih dengan pandemi yang kian manyabarluas, Presiden mengajak masyarakat untuk bersiap diri menghadapi new normal life,  hidup normal yang baru. Dalam Hidup normal di era baru ini, masyarakat diajak beraktifits normal seperti sediakala di tengah-tengah wabah. Alasannya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan meski kurva kasus positif Covid-19 menurun, namun virus Corona tidak akan hilang.

/Desakan Pengusaha/

Istilah New Normal yang diwacanakan pemerintah sebenarnya bukan semata-mata perubahan gaya hidup masyarakat akibat pandemi Covid-19, seperti menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Namun, ia merupakan jargon untuk melegitimasi pembukaan kembali kegiatan bisnis-bisnis besar di tengah wabah Covid-19, seperti pusat perbelanjaan, transportasi umum, restoran dan pariwisata. Buktinya, kawasan yang ditujukan untuk New Normal adalah kawasan-kawasan yang masih berstatus merah seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Jika ditelusuri, kebijakan New Normal tersebut merupakan bagian dari hasil lobi-lobi yang dilakukan pengusaha kepada pemerintah. Kamar Dagang Industri (KADIN), payung organisasi pengusaha di Indonesia, telah melakukan lobi-lobi intensif kepada Presiden dan sejumlah menteri agar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilonggarkan. Ketua Umum Kadin, Rosan P Roeslani, berpendapat bahwa Kamar Dagang dan Industri mendukung pengkajian pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) agar industri bergerak kembali. Menurutnya, daya tahan industri sudah semakin melemah selama pandemi virus corona (Kontan, 11/5/2020). Sementara itu, Ketua APINDO yang sebelumnya mengeluhkan jika arus kas pengusaha hanya bertahan sampai Juni, berpendapat pelonggaran PSBB memang tidak dapat dihindari mengingat daya tahan perusahaan dan masyarakat sudah sangat terbatas (Tempo.co, 13 Mei 2020).

Kebijakan pemerintah untuk melakukan relaksasi pembatasan sosial, yang selama ini sebenarnya masih sangat longgar, justru berpotensi memicu peningkatan kasus baru penderita Covid-19 di Indonesia. Pasalnya, dari perspektif epidemologi, saat ini Indonesia belum layak untuk melakukan pelonggaran sosial. Penilaian yang dilakukan WHO per 2 Juni 2020, membuktikan hal tersebut. Menurut lembaga tersebut, ada tiga syarat pelonggaran pembatasan sosial, yaitu: terjadi penurunan kasus baru secara terus menerus setidaknya 50% selama periode tiga minggu sejak puncak; jumlah sampel tes yang positif untuk COVID-19 kurang dari 5%, setidaknya selama dua minggu terakhir; penurunan jumlah kematian di antara kasus yang dikonfirmasi dan yang mungkin terkena setidaknya selama 3 minggu terakhir.

Namun, dari penilaian WHO selama April dan Mei, seluruh provinsi di Jawa tidak memenuhi syarat tersebut. Lebih dari itu, kriteria tersebut tidak dapat diterapkan kecuali di Jakarta, lantaran tes minimal yang diperlukan adalah 1 per 1000 dalam seminggu. Dengan demikian, dua kriteria pertama tidak dapat diterapkan secara ideal. Jumlah kematian yang diumumkan pemerintah juga tidak dapat diterapkan secara ideal, sebab hanya pada pasien yang terkonfirmasi yang dihitung, sementara Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang meninggal tidak masuk dalam perhitungan tersebut.

Di samping itu, berdasarkan pendapat para ahli epidemiologi, pelaksanaan new normal ini baru boleh ketika angka penularan  (basic reproduction number [R0] dan effective reproduction number [RT]) di bawah 1 dan hal itu harus stabil selama dua minggu. Jika angkanya masih di atas 1 maka potensi penularan masih ada sehingga berbahaya jika dilakukan new normal. Sayangnya, wacana new normal yang digaungkan Presiden Jokowi belum memenuhi kriteria tersebut. Angkanya masih naik turun sehingga berpotensi mengalami gelombang kedua yang lebih tinggi.

/Kebijakan Zalim/

Pemerintah juga semestinya mengambil pelajaran dari negara-negara lain bahwa terburu-buru melakukan relaksasi hanya akan meningkatkan jumlah korban. Negara-negara yang melakukan relaksasi pembatasan sosial adalah negara-negara yang menunjukkan kurva kasus baru yang telah menurun secara persisten dari posisi puncak, seperti Cina, Taiwan, New Zealand, Jerman, dan beberapa negara Eropa lainnya. Sebaliknya, beberapa negara berkembang yang mencoba melakukan pelonggaran di saat pandemi masih berkecamuk alias kurvanya masih bergerak naik, justru mengalami nasib yang tragis. Brazil, misalnya, mulanya bertindak cepat untuk melakukan lockdown untuk mencegah penularan virus Covid-19, namun keputusan pemerintah yang gegabah untuk melakukan pelonggaran membuat jumlah kasus baru di negara ini naik tajam. Hal serupa terjadi di Meksiko, dua hari setelah pemerintah mengumumkan normalisasi kegiatan ekonomi pada 1 Juni, jumlah penderita baru melonjak menjadi 3.891 kasus baru dari angka tertinggi bulan Mei sebesar 3.463.

Pelonggaran kebijakan pembatasan sosial dengan alasan untuk memulihkan sendi-sendi ekonomi yang lumpuh meskipun menjadikan keselamatan rakyat sebagai taruhannya jelas sangat naif. Pasalnya, menjadi tugas negara untuk melindungi rakyatnya dari bahaya. Dan cara yang paling efektif adalah memutus mata rantai penyebaran virus melalui pembatasan sosial. Memang, beban fiskal yang ditanggung pemerintah semakin besar, namun hal ini tidak berlangsung lama jika dilakukan dengan ketat. Negara-negara lain yang telah berhasil melewati masa puncak virus ini hanya membutuhkan waktu sekitar dua bulan.

Sebaliknya, jika pemerintah menerapkan pelonggaran yang berdampak pada meningkatkan kasus Covid-19, maka dampak ekonomi yang ditanggung pemerintah dan masyarakat secara luas akan semakin besar. Di samping itu, potensi terjadinya gelombang kedua yang lebih besar akan menyebabkan kenaikan permintaan fasilitas kesehatan untuk menangani pasien baru. Padahal, beban tenaga medis dan fasilitas kesehatan saat ini sudah overload. Apalagi, tingkat kesadaran masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan, seperti menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, masih cukup rendah sehingga potensi penularan akan cukup tinggi. Karena itu, mereka dibiarkan mengatur diri mereka sendiri, maka sama saja membiarkan mereka untuk tertular virus tersebut.

Selain itu, lemahnya dukungan pemerintah dalam membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, terutama masyarakat menengah bawah, berdampak pada tidak tertibnya masyarakat mematuhi protokol kesehatan yang diterapkan pemerintah. Nilai Bantuan Sosial (Bansos) yang diberikan pemerintah sangat tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup layak per keluarga, tidak berkesinambungan, dan hanya pada sebagian masyarakat yang kurang mampu. Akibatnya, rakyat terpaksa keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri dengan menanggung dua risiko: risiko lapar dan risiko tertular virus.

Dengan demikian, regulasi pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19 dengan istilah New Normal yang dilandasi oleh motif ekonomi, sebagaimana desakan para pengusaha, merupakan tindakan yang zalim. Sebab, kebijakan ini berpotensi meningkatkan jumlah rakyat yang terpapar virus ini. Sementara pada saat yang sama, pemerintah memberikan dukungan yang minim kepada tenaga medis yang bertarung di front terdepan penanganan Covid-19.

Kebijakan tersebut jelas sangat membahayakan rakyat negara ini. Nabi saw bersabda:

“tidak boleh melakukan tindakan bahaya (mudarat) dan tidak boleh menyebabkan bahaya bagi orang lain.”

Selain itu, mengedepankan kepentingan pengusaha dibandingkan dengan nasib rakyat banyak juga sangat tidak adil. Risiko paling besar penularan akibat dibukanya kegiatan bisnis para pengusaha adalah para karyawan mereka dan para konsumen, sementara para pemilik bisnis dapat tetap aman terhindar risiko. Sikap pemerintah tersebut jelas bertolak belakang dengan konsep Islam yang mengatur bahwa tugas pemerintah adalah melakukan pelayanan terbaik pada seluruh rakyatnya termasuk dalam aspek kesehatan, tanpa pandang bulu, baik kaya ataupun miskin, pengusaha ataupun pekerja.

Oleh karena itu, dalam konteks ini, semestinya pemerintah memperkuat implementasi kebijakan yang bertujuan memutus mata rantai virus; meningkatkan kemampuan tenaga medis untuk melakukan tes, menelusuri (tracing) pihak yang berhubungan dengan penderita hingga beberapa lapis, dan melakukan tindakan yang optimal kepada penderita. Bukan seperti saat ini, anggaran untuk penanggulangan Covid-19 hanya Rp87 triliun, sementara insentif untuk dunia usaha mencapai Rp121 triliun. Selain itu, pemerintah semestinya memberikan bantuan kebutuhan pokok dalam jumlah yang memadai kepada rakyat secara merata dalam jumlah yang layak hingga wabah ini dapat dikendalikan. Nabi saw bersabda:

“Pemimpin itu adalah pelayanan. Dan dia bertanggungjawab atas seluruh rakyatnya.”
Walhasil, kebijakan pemerintah melakukan kebijakan pelonggaran pembatasan sosial dengan jargon New Normal, di saat kasus baru penderita Covid-19 masih tinggi, merupakan tindakan yang zalim yang bertentangan dengan syariat Islam. Jika pemerintah tetap memberlakukan kebijakan tersebut, maka ini menjadi bukti kesekian kalinya bahwa penguasa dalam sistem kapitalis lebih tunduk pada kepentingan para pebisnis dibandingkan mengurusi rakyatnya secara umum.

Hal ini bertolak belakang dengan kepemimpinan yang ada dalam Islam. Sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas, seorang pemimpin adalah penanggung jawab atas rakyatnya. Maka Khalifah akan sedemikian rupa mengatasi seluruh persoalan rakyat tanpa memandang status sosialnya di tengah masyarakat apakah rakyat jelata ataukan pengusaha, kaya ataupun miskin. Khalifah hanya tunduk terhadap hukum syara yang wajib dijalankan atas rakyatnya.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama