Oleh: Siti Nur Rahma
Indonesia agaknya santai saja menapaki hidupnya di awal badai covid-19. Tak ada kekhawatiran akan bertambahnya jumlah korban yang angkanya kian hari kian melangit. Seakan menjadi negeri yang berkah -jauh dari paparan virus corona ataupun resesi ekonomi- solusi lock down pun tak dilirik.
Februari 2020, paparan virus semakin menampakkan serangannya di Ibu kota negara. Ya! Jakarta! Disana pandemi ini tumbuh pesat.
Virus corona tak hanya melumpuhkan ekonomi di Cina dan Amerika. Indonesiapun terseret. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa kebutuhan anggaran penanganan Covid-19 membengkak dari Rp 677,2 trilliun menadi 695,2 trilliun. Penyebabnya yaitu melonjaknya kebutuhan korporasi hingga kementerian/ lembaga dan pemerintahan daerah dalam memulihkan ekonomi pasca pandemi. Sri Mulyani memaparkan anggaran pembiayaan korporasi sebesar Rp 53,57 trilliun. Sedangkan anggaran sektoral kementerian/lembaga dan pemda naik dari Rp 97,11 trilliun menjadi Rp 106,11 trilliun. https://katadata.co.id
Meningkatnya penyebaran virus, menambah perputaran ekonomi menjadi lambat. Perdagangan internasionalpun melambat. Industri pariwisata anjlok. Bursa saham di berbagai Negara juga runtuh. Kondisi ekonomi global yang memburuk memberikan dampak negatif pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Indonesia secara struktur ekonomi merupakan Negara yang lemah. Misal dari struktur industrinya yang bergantung pada bahan baku impor. Maka barang tentu Indonesia mengalami giliran gejala sesak napas .Dan lagi- lagi Indonesia tak luput dari dampak krisis ekonomi global.
Dengan dalih penanganan yang serius membutuhkan pembiayaan yang lebih besar agar segera terobati. Seakan tak dapat dihindari, utang luar negeri menjadi solusi klasik di negeri seribu pulau ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pemerintah telah menarik utang untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Mei 2020 sebesar Rp356,1 triliun. Pembiayaan utang itu terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) yang secara neto mencapai Rp369 triliun atau naik 98,3 persen dari catatan Mei 2019, serta pinjaman yang negatif Rp8,3 triliun atau turun 65,8 persen dari catatan Mei 2019. https://www.vivanews.comkonomi
Wabah penyakit menular bukan satu-satunya penyebab krisis ekonomi global, melainkan ada banyak faktor pendukung krisis semakin parah. Perilaku serakah, individualis, hedonisme, spekulasi, gharar, dan curang menjadi tabiat buruk pelaku ekonomi. Ciri hedonisme ialah menumpuk-numpuk harta kekayaan. Demi hal ini manusia tanpa iman mampu memperoleh kekayaannya bisa dengan berbagai jalan, bahkan jalan haram yakni korupsi. Dalam al-Qur’an QS At Takasur {102}: 1-8 telah diperingatkan tentang gaya hidup hedonisme ini. Maka wajib mengubah perilaku buruk pelaku ekonomi agar menjadi pribadi yang beradab.
Ketidakstabilan sistem moneter, yakni sistem bunga ribawi, uang kertas , sistem perbankan cadangan fraksional, juga merupakan beberapa hal yang memicu krisis berkelanjutan. Sistem keuangan yang berbau riba, telah dilarang dalam islam. Dalam hadis rosul juga diperingatkan, “Ketika zina dan riba telah meluas di sebuah komunitas, maka mereka (penduduk) telah membiarkan hukuman Allah bagi diri mereka sendiri. (HR ath-Thabarani dan al-Hakim).
Pemungutan pajak , pengeluaran Negara dan hutang yang berlebihan juga menjadi akar krisis keuangan. Dalam QS an-Nisa ayat 9 tentang pemerintahan yang berlebihan hutang untuk generasi berikutnya juga telah dipaparkan. “ Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” QS an-Nisa ayat 9.
Secara garis besar, berikut upaya mencegah krisis ekonomi global,yakni pertama mengubah perilaku buruk pelaku menjadi insan beriman dan bertakwa. Kedua menata kelola pemerintahan sesuai syariah. Ketiga menstabilkan sosial dan politik. Dengan terpenuhinya kebutuhan primer setiap warga negara yang meliputi sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Keempat menstabilkan sistem keuangan. Hal ini dilakukan dengan dua cara, yakni mengganti sistem moneter dengan basis dinar dirham dan mengganti perputaran kekayaan di sektor non-riil yang menjadikan uang sebagai komoditas berubah menuju kearah sektor riil. Kelima menstabilkan sistem fiskal.
Islam memberikan solusi tuntas untuk setiap problematika umat. Bukan solusi parsial, melainkan menyeluruh. Termasuk krisis ekonmi global ini, dapat disolusi dengan sistem ekonomi islam. Dalam sistem ekonomi islam dikenal dengan pembagian kepemilikan. Hal ini untuk mencegah adanya hegemoni kepemilikan. Yakni yang kuat mengalahkan pihak yang lemah. Tiga poin kepemilikan itu ialah kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan Negara.
Jika pembagian kepemilikan ekonomi ini sudah dilaksanakan dengan tegas, kemudian bertumpu pada pembangunan sektor ekonomi rill akan didapat napas lega kehidupan ekonomi rakyat. Kemudian pilar terakhir dalam sistem ekonomi islam adalah pendistribusian harta kekayaan oleh individu, masyarakat dan negara dilaksanakan sesuai syariah.
Sehingga jika diprediksi kondisi negeri kita pasca krisis ada dua kemungkinan. Yakni akan tidak jauh beda dengan kondisi pasca krisis moneter tahun 1997-1998. Halini disebabkan jika solusi yang dipakai hanya bersifat parsial. Atau kemungkinan lain adalah keinginan kuat dari rakyat untuk perubahan yang menyeluruh secara sistemik, yang menjamin kesejahteraan untuk semua lapisan masyarakat.
Tak urung, napas kritis pun akan berubah menjadi helaan segar hingga ke relung jiwa, membawa berkah dan bahagia.[]