Oleh: Ummu Aman
(Komunitas Setajam Pena)
Rancangan Undang Undang Halauan Ideologi Pancasila (RUU HIP) belakangan ini telah menjadi pembicaraan di tengah masyarakat yang masih dilanda pandemi. RUU HIP yang diharapkan menjadi pedoman bagi penyelenggara negara, dalam menyusun kebijakan pembangunan diberbagai bidang, dinilai banyak pihak tidak memiliki urgensi untuk dibahas, karena seharusnya pemerintah dan DPR fokus menangani pandemi Corona.
RUU ini memuat banyak polemik, mulai dari makna Pancasila sebagai ideologi, apa saja yang bertentangan dengan ideologi, juga bagaimana mewujudkan integrasi, hingga polemik soal implementasi diberbagai bidang, termasuk bidang ekonomi. Disatu sisi menetapkan peran negara yang harus lebih dominan dalam menjaga ekonomi rakyat, namun juga mendorong kebijakan hutang luar negeri dengan alasan memperkuat ekonomi.
Seperti yang dilansir dari CNNIndonesia (15/6/2020), draf Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) memuat ketentuan mengenai demokrasi ekonomi Pancasila, yang di antaranya mencegah pemusatan kekuatan ekonomi pada seseorang atau kelompok tertentu. Tapi di sisi lain, draf yang telah disetujui DPR sebagai inisiatif lembaga tersebut juga mencantumkan poin yang membolehkan negara berutang demi memperkuat perekonomian nasional.
Disini terdapat kontradiksi antara tujuan untuk menetapkan peran negara yang dominan dalam menjaga ekonomi rakyat, dan kebijakan yang diambil yaitu mendorong hutang luar negeri. Seperti yang lazim terjadi, hutang luar negeri akan mengikat suatu negara untuk tunduk pada aturan perjanjian piutang, yang akan sangat mempengaruhi haluan kebijakan negara terhadap negara yang memberi hutang. Kebijakan negara akan banyak ditentukan bahkan ditekan oleh negara pemberi hutang, aset-aset produktif negara akan menjadi jaminan dan tergadai sehingga alih-alih menjadikan negara dominan dalam mengatur ekonomi rakyat, namun justru akan terperosok pada penjajahan ekonomi gaya baru melalui jeratan hutang luar negeri. Dengan kondisi ini, maka kedaulatan negara akan menjadi rendah dimata negara lain. Bagaimana mungkin dengan hutang luar negeri ini akan memperkuat ekonomi negara.
RUU ini juga mengundang polemik dan penolakan dari berbagai kalangan umat, salah satu yang mengemuka karena adanya celah keterbukaan terhadap berkembangnya komunisme. Seperti yang dilansir dari republika.co.id (14/6/2020), Pengamat Politik, Siti Zuhro mengatakan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) telah memunculkan perdebatan dan resistensi yang meluas. Bahkan juga telah menuai penolakan dari berbagai kalangan. Menurut Siti Zuhro, penolakan tersebut bukan hanya dari kalangan akademisi dan mahasiswa, tapi juga purnawirawan TNI dan aktivis menolak RUU. Bahkan Fraksi Partai Demokrat pun mencabut diri untuk tidak ikut dalam pembahasan RUU HIP di Baleg.
"Menurut hemat saya, penolakan civil society dan kelompok-kelompok strategis lainnya merupakan petunjuk yang jelas bahwa RUU HIP patut ditolak," kata Zuhro dalam pesan tertulis yang diterima Republika, Ahad (14/6).
Dengan memeras Pancasila menjadi Trisila kemudian diperas lagi menjadi Ekasila yaitu 'gotong royong' akan mengaburkan Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa ini. Artinya menyingkirkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga membuka peluang untuk hidupnya kembali ajaran Komunisme.
Bangkitnya kembali ajaran Komunisme harus diwaspadai oleh seluruh elemen bangsa, karena sejarah telah menorehkan peristiwa memilukan dan terkutuk yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI). Terutama peristiwa sadis dan memilukan yang mereka lakukan tahun 1948 dan 1945.
Adalah hal yang logis jika pada RUU HIP kontradiksi antar bagiannya, karena RUU tersebut bersumber dari manusia yang sifatnya terbatas. Maka, aturan yang dihasilkan juga terbatas dan memiliki banyak kelemahan. Tidak sesuai fitrah manusia, dan tidak memuaskan akal. Sehingga, memicu pertentangan ditengah masyarakat dan menjauhkan dari persatuan.
Dengan maraknya penolakan dari berbagai kalangan, pemerintah mengambil kebijakan untuk menunda pembahasan RUU HIP dengan alasan pemerintah akan fokus pada penanganan Covid-19. Namun begitu, seluruh elemen bangsa harus tetap waspada agar bangsa ini tidak terjerumus lagi dalam kehidupan kelam masa lalu. Karena esensinya, penundaan ini tidak berarti selesai pembahasan aspek ideologi ini.
Selain ancaman dari Komunisme ada bahaya yang tidak kalah besar yang harus diwaspadai oleh seluruh komponen bangsa. Yaitu yang bersumber dari Kapitalisme dan Liberalisme yang semakin mengakar disektor-sektor strategis umat. Jangan sampai hanya fokus mewaspadai munculnya Komunisme, justru umat akan masuk dalam Kapitalisme dan Liberalisme yang akan menjajah umat dengan lebih rakus.
Inilah saatnya umat dikenalkan dengan sistem Islam yang menjadi solusi tuntas terhadap segala permasalahan yang melanda umat dalam tatanan berbangsa dan bernegara. Menjadi agenda yang urgen untuk mengenalkan Islam sebagai ideologi. Yang telah sangat komprehensif dan terintegrasi menjelaskan penyelenggaraan negara mulai aspek filosofi hingga sistem. Memberi identifikasi yang sangat jelas tentang apa yang bertentangan, tidak ada saling kontradiksi antar bagiannya dan sistemnya secara integral mewujudkan keutuhan, keadilan, dan kesejahteraan.
Hal ini karena sistem Islam bersumber dari Dzat Yang Maha Sempurna, yang menciptakan manusia. Sehingga aturan yang dihasilkan sempurna, tidak ada cacat, tidak berubah-ubah, selalu relevan dengan persoalan umat, sesuai dengan fitrah manusia, dan memuaskan akal.
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasikfasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? ” [Al- Ma'idah: 49-50].
Berdasar seruan Allah SWT diatas, selayaknyalah umat kembali pada hukum Islam dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah. Maka tumpang tindih, karut marut dalam pengaturan penyelenggaraan negara akan terselesaikan. Dan akan mendatangkan keberkahan dan kemuliaan hidup, serta menjauhkan pertentangan antar komponen umat yang mewujudkan keutuhan. Sehingga terciptanya umat yang kuat dan berpengaruh dalam percaturan dunia akan terwujud.
Wallahu a'lam bishshowab.[]