Kasus Novel Baswedan, Keadilan yang Mati Rasa



Oleh: Umi Hanifah (Aktivis Muslimah Peduli Negeri dan Generasi).

Keadilan memang barang langka di negeri ini. Sebagaimana kasus yang dialami oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Hal ini terbukti dari tuntutan satu tahun penjara terhadap dua orang terdakwa yang melakukan penyiraman air keras. Padahal tindakan tersebut adalah pelanggaran berat karena menyebabkan salah satu mata korban mengalami buta permanen.

Korban sebagai penyidik punya kewenangan agar sebuah kasus bisa terungkap dengan jelas. Diduga karena ada pihak yang merasa tergangggu maka terjadilah peristiwa tersebut. Setingkat penyidik saja masih mengalami tindakan yang kejam. Sebagai rakyat yang tidak punya bergaining tentu akan semakin kuatir jika berhadapan dengan hukum.

Tuntutan ini dinilai rendah bahkan rekayasa karena dinilai tidak memberi keadillan apalagi keamanan bagi siapa saja yang mengungkap kebenaran. Seperti yang disampaikan oleh Hari Azhar pegiat hak asasi manusia (HAM). “Jadi, tuntutan rendah ini aneh tapi wajar. Aneh karena kejahatan yang kejam hanya dituntut rendah jika diyakini mereka pelaku. Wajar, ya karena memang sekedar boneka saja.” Ujarnya. Republika.co.id (12 juni 2020).

Mahalnya keamanan dan keadilan jika yang mengungkap kebenaran adalah masyarakat bawah yang tidak punya akses kekuasaan. Sebaliknya semua itu hanya bisa dirasakan oleh kalangan yang dekat dengan penguasa dan para pemodal besar, mereka seakan tak tersentuh hukum. Inilah konsekuensi dari peradilan dalam sistem sekulerisme demokrasi. Dalam sistem ini, jabatan dan uanglah yang berkuasa. Maka wajar keadilan seakan mati rasa.

Banyak kasus besar lain menguap jika berkaitan dengan para Petinggi negeri. Sudah menjadi rahasia umum, berbagai kasus berat yang tidak berujung, seperti kasus bank Century, BLBI, e-ktp dan yang lain, padahal merugikan trilyunan uang negara. Pelaku aman padahal bukti sudah memberatkan, masyarakat pasrah serta kecewa dengan keadilan yang tak berpihak pada mereka.

Kepercayaan masyarakat terhadap peradilan menjadi sangat rendah. Adanya sumpah pocong dan main hakim sendiri dimasyarakat adalah fakta bahwa peradilan sudah tidak bisa memberikan keadilan ditingkat bawah. Masyarakat memakai cara mereka sendiri dalam membuktikan keadilan yang ingin mereka capai. Inilah wajah pengadilan dalam sistem sekulerisme demokrasi carut marut, jauh dari kata adil apalagi aman.

Disisi lain, lslam ketika diterapkan 13 abad silam, lembaga pengadilan menjadi tempat yang aman bagi siapa saja dalam mencari keadilan. Islam memandang manusia semua sama dihadapan hukum, baik pejabat atau rakyat tidak ada yang dilebihkan.

Bisa kita lihat ketika Khalifah Umar bin Khathab sebagai pemimpin tertinggi dalam Negara lslam mendapat aduan dari rakyat yang notabene seorang Yahudi, karena sang Wali/setingkat Gubernur akan menggusur rumahnya yang rencananya ditempat itu akan didirikan masjid. Tatkala terbukti bahwa Wali bersalah karena adanya paksaan, maka Khalifah membatalkan rencana tersebut. Sungguh luar biasa islam menjamin keadilan dan keamanan tanpa memandang agama, strata, kaya atau miskin hal itulah yang menjadikan siapapun yang menjadi warga negara Khilafah hidup tenang.

Jika terbukti seseorang bersalah maka hukum lslam akan memberikan sanksi yang tegas. Dalam kasus Novel Baswedan maka sanksi yang diberikan adalah jinayat yaitu sanksi yang diberikan pada pelaku penganiayaan terhadap badan, atau jiwa. Dalam jinayat mewajibkan didalamnya qishah/balasan yang setimpal, misal penganiyaan hidung dibalas dengan perlakuan yang sama,luka yang dalam, jari kaki dan tangan, pematahan tulang dan lain-lain ada qishah yang sama. Jika korban atau keluarga memaafkan pelaku maka ada diyat (harta) sebagai tebusan dari tindak penganiayaannya.

Kasus yang dialami Novel yaitu hilangnya penglihatan wajib dikenakan qishah atau diyat. Diyat penghilangan satu biji mata adalah 50 ekor unta, sebagaimana sabda Rosulullah saw. (Abdurrahman al-Maliki. Nidzamul al-Uqubat . 1441H/1990M).

Ada dua fungsi diterapkannya sanksi dalam islam, yang pertama sebagai zawajir (pencegah), artinya beratnya hukuman akan menjadikan yang lain takut melakukannya. Sekaligus juga sebagai jawabir (penebus) diakhirat karena hukuman sudah dilaksanakan didunia. Sanksi didunia dilaksanakan oleh lmam (Khalifah) atau orang yang mewakilinya artinya negara yang punya kewenangan malaksanakan sanksi.

Dalam menjalankan peradilan dilandasi ketaqwaan bahwa semua itu dalam rangka memenuhi perintah-Nya. Sanksi jinayat telah ditetapkan spesifik oleh syariat, jadi sanksinya bersifat mengikat, tidak boleh diganti, ditambah atau dikurangi. Sanksi/uqubat disyariatkan untuk mencegah manusia berbuat kejahatan serta menjaga kelangsungan hidup. Sebagaimana firman Allah: “Dan dalam (hukum) qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” (TQS al Baqarah [2] 179).

Inilah gambaran keadilan yang sesuai dengan fitrah dan memuaskan akal, sehingga islam bisa diterima semua ras, suku, bahasa, agama apapun didunia. Keadilan dan keamanan bukan hanya mimpi tapi kenyataan. Negeri ini akan bisa memberikan keadilan jika lslam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan.
Allahu a’lam. []

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama